Home Lingkungan IESR: Implementasi Taksonomi ASEAN Versi Kedua Perlu Didorong Dukung Pembangunan Berkelanjutan

IESR: Implementasi Taksonomi ASEAN Versi Kedua Perlu Didorong Dukung Pembangunan Berkelanjutan

Jakarta, Gatra.com - ASEAN Taxonomy Board (ATB) telah menerbitkan ASEAN Taxonomy for Sustainable Finance (ATSF) versi kedua pada Maret 2023 lalu. 

Dalam Taksonomi versi kedua kali ini merangkum standar bersama ASEAN untuk pembiayaan transisi ke energi hijau. Salah satunya adalah mengakhiri operasional PLTU batubara secara bertahap, untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sesuai target dalam Persetujuan Paris.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengatakan masuknya pendanaan untuk pengakhiran PLTU batubara secara dini, merupakan indikasi bahwa pemerintah di kawasan ini mendukung pencapaian net-zero emission pada pertengahan abad ini. Musababnya, kata Febby lebih dari separuh listrik di ASEAN berasal dari PLTU batubara.

"Sedangkan untuk mencapai target Persetujuan Paris, seluruh PLTU harus dipensiunkan pada 2040," ujar Fabby, Kamis (4/5).

Baca Juga: Potensi Energi Terbarukan Indonesia Mencapai 417 Giga Watt

Fabby membeberkan bahwa 50% PLTU batubara yang beroperasi di kawasan Asia Tenggara masih berusia kurang dari 10 tahun. Dengan demikian, upaya pengakhiran dini PLTU batubara disebut membutuhkan sumber pembiayaan yang tidak sedikit.

"Karena itu perlu dikombinasi dengan pembiayaan untuk pembangunan pembangkit energi terbarukan untuk memastikan keamanan pasokan energi di kawasan yang ekonominya tumbuh pesat. Dalam konteks ini ATSF versi kedua dapat mengakselerasi pengakhiran operasi PLTU di ASEAN melalui pendanaan hijau," jelasnya.

Koordinator Proyek Pembiayaan Berkelanjutan, Ekonomi Hijau, IESR, Fara Vanda mengatakan Indonesia sendiri telah mempunyai sejumlah peluang pendanaan internasional untuk pengembangan energi terbarukan dan pengakhiran operasional PLTU batubara melalui Just Energy Transition Partnership (JETP), Energy Transition Mechanism (ETM), dan Clean Investment Fund-Accelerated Coal Transition (CIF-ACT) dengan total US$24,05 miliar. Namun, kajian IESR menilai setidaknya dibutuhkan biaya US$135 miliar hingga tahun 2030 untuk transisi energi di Indonesia termasuk mengakhiri operasional PLTU batubara.

Adapun berdasarkan analisis IESR, selama lima tahun terakhir, rata-rata investasi energi terbarukan hanya mencapai US$1,6 miliar per tahun atau 20% dari total investasi yang dibutuhkan untuk mencapai target bauran energi terbarukan 23% di 2025.

Baca Juga: Kebijakan Energi Terbarukan Indonesia

Sementara itu, menyoroti dukungan internasional, berdasarkan hitungan IESR, terdapat potensi pendanaan dari internasional sebesar US$ 13,1 miliar atau 35,4% dari total proyeksi kebutuhan pembiayaan sebesar US$36,95 miliar pada tahun 2025 untuk mencapai target bauran energi terbarukan 23%.

Diketahui, dalam ATSF versi kedua ini juga menyertakan kriteria penyaringan teknis (Technical Screening Criteria, TSC) terhadap pembiayaan transisi energi, termasuk pengakhiran operasional PLTU batubara, ke dalam kategori Hijau dan Kuning.

TSC merupakan kriteria kuantitatif atau kualitatif yang menjadi dasar penilaian klasifikasi apakah suatu aktivitas termasuk dalam kegiatan Green (Hijau, berkontribusi sangat penting terhadap tujuan lingkungan), Amber (Kuning, belum memenuhi kriteria untuk Hijau, namun menunjukkan langkah progresif untuk mencapai pembangunan ASEAN yang berkelanjutan) atau Red (Merah, tidak sesuai dengan tujuan lingkungan).

"Masuknya pembiayaan pengakhiran operasional PLTU ke dalam kategori kuning dan hijau akan memperbesar peluang untuk melakukan pendanaan terkait transisi energi atau transition finance," kata Farah.

Sementara itu, Manajer Program Transformasi Energi, IESR, Deon Arinaldo menuturkan bahwa diperlukan akselerasi investasi energi bersih dan terbarukan. Menurutnya, pengembangan teknologi energi terbarukan melalui taksonomi hijau menjadi langkah awal bagi Indonesia.

Baca Juga: Peneliti: Indonesia Belum Siap Penerapan Energi Baru Terbarukan, Ini Masalahnya

Selain itu, Deon menyebut bahwa pemerintah dapat memformulasikan kebijakan jangka panjang yang memberikan kepastian investasi energi terbarukan dan menciptakan kerangka regulasi yang minimal setara antara energi terbarukan dan energi fosil.

"Kedua faktor tersebut menjadi penting untuk mengurangi resiko investasi di energi terbarukan dan menarik pendanaan untuk proyek energi terbarukan," katanya.

104