Home Politik Dosen Magister UMJ Minta Parpol Putus Mata Rantai Politisasi Identitas

Dosen Magister UMJ Minta Parpol Putus Mata Rantai Politisasi Identitas

Jakarta, Gatra.com - Dosen Magister Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (FISIP UMJ), Siti Zuhro, mengatakan, politisasi identitas sangat tidak layak dan tidak perlu dilakukan lagi di Indonesia. Ia menilai, mata rantai politisasi identitas ini harus diputus dan perlu didukung oleh partai politik, tim sukses, bahkan relawan.

Saat ini, Indonesia disebutkan sudah punya landasan yang cukup untuk berpolitik. Siti menyebutkan, ada empat konsensus yang sudah dapat menciptakan lingkungan politik yang baik, yaitu Pancasila, konstitusi dasar 1945, semangat persatuan yang membentuk NKRI, serta semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang melekat pada bangsa.

"Sangat tidak nyaman kalau ada orang nanti dipikir menjual agama. Mas Ganjar menang salah, Anies menang salah," ucap Siti dalam acara diskusi publik yang diadakan di UMJ Jakarta, Rabu (17/5).

Siti mengatakan, politik identitas sebaiknya tidak terjadi lagi, terlebih setelah masyarakat sudah merasakan sendiri dampak negatifnya. ia pun menilai, saat ini tidak ada urgensi atau hal signifikan yang bisa dicapai melalui politisasi identitas, salah satunya agama.

"Haram menjual agama itu, dosa besar menurut saya. Jangan lagi masyarakat dibodohi untuk memilih hanya karena jual agama," ucap Siti dalam acara yang dihadiri perwakilan dari berbagai partai politik ini.

Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) ini juga menjelaskan sistem demokrasi harus ditopang oleh pilar-pilar yang berkualitas, misalnya literasi politik dan budaya politik yang memadai. Tapi, di Indonesia punya ciri penting.

"Dalam konteks di Indonesia, sistem saja tidak cukup, tapi membutuhkan peran pemimpin karena peran pemimpin relatif lebih dominan atau menentukan," katanya.

Oleh sebab itu, ia kembali mendorong agar Pemilu 2024 nanti bisa terbebas dari dilema politisasi identitas dan masyarakat Indonesia bisa menerima siapapun yang menang.

30