Home Kesehatan Pengamat Soroti Poin-poin Ini di RUU Kesehatan Baru

Pengamat Soroti Poin-poin Ini di RUU Kesehatan Baru

Jakarta, Gatra.com - Materi dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang baru masih mendapat penolakan dari berbagai pihak. Guru Besar Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Diponegoro, Zainal Muttaqin mengemukakan beberapa poin yang harus dilihat kembali sebelum RUU ini benar-benar disahkan.

"Di dalam RUU, dinyatakan rumah sakit dan dokter harus merawat pasien sampai sembuh. Ini patut dipertanyakan, tidak semua penyakit bisa disembuhkan," ujarnya dalam diskusi yang digelar secara daring, Kamis (18/5).

Baca juga: Tolak RUU Kesehatan, Ahli Sebut Tidak Ada Pelibatan dalam Penyusunannya

Selain tidak semua penyakit bisa disembuhkan, sejauh mana perawatan yang dilakukan harus ditentukan oleh profesi medis. Sebab, profesi medis memahami pasien dan penyakitnya sehingga tidak tepat bila ini diatur secara hukum. Terlebih, tidak adanya definisi kesembuhan yang sama bagi setiap orang membuat poin ini seharusnya tidak disertakan.

Poin soal kompetensi turut dibahas dalan RUU Kesehatan. Pemerintah ingin masa berlaku Surat Tanda Registrasi (STR) untuk dokter dan tenaga kesehatan bisa sampai seumur hidup. Namun, ia menilai hak itu tidak memungkinkan, sebab kompetensi setiap orang bisa berubah.

"Karena kompetensi dinamis. Ada kompetensi tambahan misal mengikuti pelatihan lain. Ada pula misalnya seperti saya yang sudah berumur 65 tahun, bila melakukan operasi rumit di atas 10 jam yang tadinya bisa mandiri sekarang tidak lagi. Kompetensi itu berubah seiring dengan waktu," tegasnya.

Baca juga: Nakes di Kendal Demo Tolak Disahkannya RUU Kesehatan

Saat ini, dokter dan tenaga kesehatan wajib mengurus perpanjangan STR setiap lima tahun sekali. Maka, bila seumur hidup, ia khawatir semakin sulit menilai kompetensi dari masing-masing individu.

Isu STR ini berkaitan dengan biaya yang harus dikeluarkan. Namun, ia membantah tuduhan yang mengatakan bahwa hal itu merupakan pemerasan yang dilakukan organisasi kedokteran.

Ia mengatakan bahwa sebelumnya, Menteri Kesehatan mengatakan ada kepentingan organisasi profesi terkait biaya Rp6 juta untuk satu STR, yang bila dikalikan 77 ribu jumlah dokter spesialis, menghasilkan Rp430 miliar setiap tahun. Menurutnya, fakta di lapangan adalah pengurusan STR berbiaya Rp300 ribu untuk lima tahun, yang dibayarkan kepada negara lewat KKI (sebuah institusi negara yang dilantik oleh Presiden).

"Uang Rp6 juta adalah akumulasi dari iuran keanggotaan organisasi profesi spesialis, tergantung organisasinya yang rata-rata besarannya Rp100 ribu setiap bulan, atau Rp1,2 juta setahun, atau Rp6 juta setiap 5 tahun," terangnya.

Poin mengenai diizinkannya dokter asing untuk masuk dan melakukan praktik di daerah 3T juga menjadi sorotan. Selama ini, banyak dokter yang menolak dipindahkan ke daerah terpencil karena berbagai alasan. Maka, ia menyebut bahwa alasan itulah yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah untuk dibenahi, bukan malah mengambil dokter asing.

"Persoalan distribusi dokter spesialis, itu harus dibenahi pemerintah. Dokter kita saja tidak mau, berarti ada alasannya mengapa, jangan tiba-tiba langsung meminta ada dokter asing," ucapnya.

Baca juga: Ombudsman RI Serahkan DIM RUU Kesehatan kepada Komisi IX DPR RI

Untuk itu, diperlukan waktu lebih lama untuk benar-benar membahas materi RUU Kesehatan yang baru. Ini harus dibahas bersama pihak terkait, terutama stakeholder dalam pelayanan kesehatan masyarakat. Apalagi, jangan sampai terjadi pembungkaman dalam kritik terhadap RUU Kesehatan ini.

"Pembahasan RUU harus dihentikan, ditunda dan didiskusikan debgan seluruh stakeholders secara baik-baik dengan waktu yang tidak boleh terges-gesa. Kalau dipaksakan untuk tetap disahkan, maka harus ditolak demi kebaikan seluruh rakyat terkait sistem pelayanan kesehatan," ujarnya.

279