Home Hukum MK Nilai Sistem Pemilu Terbuka Tak Kurangi Peran Sentral Partai Politik

MK Nilai Sistem Pemilu Terbuka Tak Kurangi Peran Sentral Partai Politik

Jakarta, Gatra.com - Mahkamah Konstitusi (MK) RI memutuskan untuk menolak gugatan uji materi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017. Dengan kata lain, Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 nanti akan digelar dengan sistem proporsional terbuka.

Dalam persidangan itu, Hakim Konstitusi Saldi Isra pun menilai bahwa dalil para Pemohon gugatan tersebut adalah sesuatu yang berlebihan, dalam batas penalaran yang wajar. Hal itu dinyatakan Hakim Konstitusi berdasarkan ketentuan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 yang menempatkan partai politik sebagai peserta pemilihan umum anggota DPR/DPRD.

"Karena, sampai sejauh ini, partai politik masih dan tetap memiliki peran sentral yang memiliki otoritas penuh dalam proses seleksi dan penentuan bakal calon,” ujar Hakin Konstitusi Saldi Isra dalam pengucapan putusan, di Gedung MK RI, Jakarta Pusat, Kamis (15/6).

Saldi pun menjelaskan bahwa pada gugatan itu, para pemohon mendalilkan penyelenggaraan pemilhan umum yang menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka telah mendistorsi peran partai politik.

“Dalil tersebut hendak menegaskan sejak penyelenggaraan Pemilihan Umum 2009 sampai dengan 2019 partai politik seperti kehilangan peran sentralnya dalam kehidupan berdemokrasi,” ujar Saldi Isra.

Saldi pun mengatakan bahwa peran sentral partai politik tak akan berkurang meski pemilu dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka. Pasalnya, partai politik memiliki kewenangan untuk sewaktu-waktu melakukan evaluasi terhadap anggotanya yang duduk di kursi legislatif melalui mekanisme pergantian antar waktu (PAW) maupun recall. Di samping itu, partai politik juga tetap memiliki peran untuk membentuk fraksi-fraksi di parlemen.

Di samping itu, Saldi juga menyampaikan pandangan pihaknya, bahwa meski dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka, sosok caleg yang banyak terpilih pada Pemilu 2009, 2014, dan 2019 silam secara empirik tetap merupakan calon yang berada pada nomor urut 1 dan nomor urut 2, atau dapat dimaknai sebagai 'nomor urut calon jadi' yang diajukan partai politik.

Hal itu, kata Saldi, tergambar dari Riset Pusat Kajian dan Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI). Di mana, tercatat bahwa pada Pemilu 2009, terdapat 79,1 persen calon terpilih berasal dari nomor urut 1 dan nomor urut 2. Sementara itu, pada Pemilu 2014, terdapat 84,3 persen calon terpilih berasal dari nomor urut 1 dan nomor urut 2, dan pada Pemilu 2019, terdapat 82,44 persen calon terpilih berasal dari nomor urut 1 dan nomor urut 2.

"Artinya, sistem proporsional dengan daftar terbuka tetap memberikan peluang yang lebih besar kepada calon nomor urut 1 dan calon nomor urut 2 yang penentuannya, nomor urut tersebut, merupakan wewenang sepenuhnya partai politik," kata Saldi.

Dengan demikian, kata Saldi, ruang murni yang sebenarnya dapat diperebutkan oleh caleg, dengan menggunakan sistem proporsional terbuka yang mengandalkan perolehan suara terbanyak pada sosok caleg tertentu hanya berada pada kisaran angka 20 persen atau dengan persentase yang lebih kecil.

28