Home Kolom Pangan dalam Perspetik HAM, Pesan Bagi Pemimpin Baru

Pangan dalam Perspetik HAM, Pesan Bagi Pemimpin Baru

Jakarta, Gatra.com - Pertempuran antara pasukan Ukraina dan Rusia memang masih terbatas secara geografis namun dampaknya telah menjalar ke seluruh dunia. Kita tak tahu kapan akan berakhir. Jika baku tembak selesai, belum tentu tatanan hubungan antarnegara pulih kembali. Dampaknya sudah secara dahsyat mengguncang tata hubungan antar negara. 

Alih-alih kehidupan warga kembali tentram apa yang dirasakan para pemimpin dunia malah beragam kesulitan. Salah satunya adalah kekhawatiran kemelut pangan. Langkah-langkah para pemimpin dunia untuk melindungi kepentingan nasionalnya

Persoalan pangan bakal semakin buruk sebagaimana dilaporkan berbagai media luar negeri. Orang-orang yang sebelumnya sudah kesulitan memenuhi kebutuhan pangannya bakal makin sulit. Di Indonesia kesulitan orang atas pangan terjadi akibat sederet faktor internal. Artinya tanpa perang di Ukraina kesulitan memenuhi kebutuhan pangan sudah ada.

Kondisi di atas merupakan tantangan besar bagi pemimpin yang akan kita pilih dalam Pemilihan Umum 2024. Sejumlah pokok persoalan agar hak atas pangan terpenuhi harus menjadi perhatian, terutama bagi konstestan Pemilu agar dapat memenuhi janji politiknya kelak. 

Pemimpin yang baik yang kita idealkan adalah seseorang yang sadar bahwa dalam pandangan hak asasi manusia, hak atas pangan merupakan komponen penting untuk memastikan standar kehidupan yang layak dapat terpenuhi. Pangan juga berkait dengan derajat kesehatan dan kesejahteraan manusia. Kedua hal terakhir juga merupakan hak asasi manusia yang mesti dipenuhi oleh negara dan tentu saja menjadi landasan kewajiban konstitusional pemimpin negara.

Seorang pemimpin harus memastikan hak atas pangan ini terpenuhi dengan maksud menjamin pula hak-hak petani, nelayan mau pun penduduk lainnya yang berhubungan dengan ketersediaan, ketahanan dan kedaulatan pangan. Namun, mesti difahami bahwa isu pangan memiliki keterkaitan dengan isu lain. Misalnya dengan issu hak atas tanah yang dikenal sebagai isu agraria.

Sebagai produsen pangan, petani mengalami banyak masalah terkait kepemilikan tanah. Agenda reforma agraria perlu diselesaikan sehingga para petani memiliki jaminan masa depan. Selain itu, penguasaan atas lahan juga menjamin ketersediaan pangan untuk seluruh penduduk.

Saat ini, tanah dan sumber daya alam lainnya justru dikuasai sekelompok elit. Tanah-tanah yang dikuasai tersebut justru dikelola untuk kepentingan bisnis yang tidak menopang kedaulatan pangan, karena digunakan bukan dalam rangka menyediakan pasokan pangan penduduk. Perkebunan-perkebunan besar yang dikuasai sekelompok elit tadi pun tidak diorientasikan kepada kebutuhan pangan nasional, tetapi sebaliknya untuk kepentingan ekspor dan keuntungan bisnis korporasi mereka semata.

Akses Sumber Daya

Isu lain adalah soal akses sumber daya alam lainnya, termasuk sumber daya kelautan. Nelayan tradisional juga mengalami masalah yang sama. Akses dan kemampuan mereka mengelola sumber daya kelautan masih minim. Mereka juga berhadapan dengan kekuatan industri perikanan besar yang dikusai pemodal, yang tidak saja menguasai sebagian besar sumber daya kelautan tetapi juga melakukan perusakan ekologi kelautan yang semakin memiskinkan nelayan trasional.

Keseluruhanya disebut sebagai isu keadilan agraria, dimana ketimpangan distribusinya menyebabkan rakyat yang bekerja dan hidup dari sumber-sumber produksi pangan (termasuk sumber pangan kelautan) tidak mampu menyediakan suplai pangan yang cukup kepada masyarakat luas. Nilai tukar petani dan nelayan tidak sebanding dengan biaya hidup sehari-hari mereka sehingga secara perlahan mereka meninggalkan profesi petani dan nelayan, berganti menjadi buruh atau sektor infortmal di kota.

Ada beberapa instrumen hak asasi manusia menyangkut hak atas pangan yang belum diratifikasi. Bahkan ada satu UN Declaration on the Rights of Peasants and Other People Working in Rural Areas (UNDROP) yang juga belum dijadikan batu sandar untuk merumuskan kebijakan nasional terkait hak atas pangan, hak atas kesejahtaraan dan kesehatan. Semua isu itu bisa dikemas ke dalam isu pokok menyangkut Reforma Agraria dalam rangka Kedaulatan Pangan.

Yang tidak kalah pentingnya adalah panduan yang tercantum di dalam Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan HAM. Panduan ini menjadi pegangan tidak saja bagi penyelenggara negara, tetapi juga termasuk korporasi agar tidak menggangu dan menghalangi pemenuhan hak asasi manusia, termasuk hak atas tanah/agraria, hak atas pangan serta jaminan ekologis.

Kita tahu banyak projek pembangunan, termasuk infrastruktur, pertambangan dan industri perkebunan malah mengancam kepemilikan lahan pertanian, menggusur petani/nelayan serta merusak ekologi yang mengakibatkan menurunnya produksi pertanian/kelautan penduduk. Pemimpin negara mesti memastikan kepatuhan Prinsip Bisnis dan Hak Asasi Manusia sebagaimana telah menjadi kesepakatan Indonesia sebagai negara anggota PBB.

Komnas HAM periode 2017-2022 juga telah mengeluarkan Standar Norma Pengaturan terkait Hak Atas Tanah dan Sumber Daya Alam yang memastikan terjaminnya hak setiap orang di Indonesia untuk memiliki akses sumber daya alam/tanah sehingga bisa hidup Sejahtera dan menyumbang kepada ketersediaan, ketahanan dan kedaulatan pangan rakyat Indonesia.

Yang tidak kalah pentingnya, pemimpin Indonesia juga mesti menjamin diversifikasi pangan karfena secara historis dan kultural, keragaman etnisitas budaya Masyarakat Indonesia telah mengenalkan keragaman pangan yang dikonsumsi rakyat Indonesia. Karena itu indicator pangan tidak bisa disatukan misalnya hanya beras saja, tapi mesti memperkuat keragaman pangan yang memang merupakan bagian dari kekayaan budaya dan alam Indonesia. 


oleh Ahmad Topan Damanik, anggota Dewan Pakar Agenda 45 dan Ketua Komisioner Komnas HAM Periode 2017- 2022

 

31