Home Kolom Sebuah Tantangan: Mewujudkan Ketahanan Pangan

Sebuah Tantangan: Mewujudkan Ketahanan Pangan

Jakarta, Gatra.com - Meskipun yang disebut dengan pangan, di dalamnya temasuk jagung, kedelai, gula, daging, beras dll, dalam tulisan ini, dibatasi bahwa yang di maksud dengan pangan adalah beras, mengingat bahwa saat ini yang sedang menjadi masalah adalah beras. Disamping itu beras juga merupakan makanan pokok utama bagi Masyarakat indonesia, bagi Indonesia.,

Berbicara masalah ketahanan pangan identik dengan berbicara kemampuan produksi beras, kemampuan produksi beras dalam negeri menjadi indikator utama tentang ketahanan pangan di Indonesia, oleh karenanya beras mempunyai nilai yang sangat strategis. Pengalaman telah mengajarkan kepada kita bahwa gangguan pada ketahanan pangan seperti meroketnya kenaikan harga beras yang terjadi pada tahun 1997/1998 telah memicu terjadintya krisis beras yang kemudian telah berkembang menjadu krisis multi dimensi yang pada akhirnya telah memicu terjadinya kerawanan sosial yag telah membahayakan stabilitas ekonomi nasional.

Dengan pertimbangan betapa pentingnya beras tersebut, Pemerintah selalu berupaya untuk meningkatkan ketahanan pangan terutama yang bersumber dari peningkatan produksi dalam negeri. Pertimbangan tersebut menjadi semakin penting bagi Indonesia karena jumlah penduduk yang semakin besar dengan sebaran populasi penduduk yang semakin luas dan cakupan geografis yang tersebar. Untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduknya, Indonesia memerlukan ketersediaan pangan dalam jumlah mencukupi dan tersebar, yang memenuhi kecukupan konsumsi maupun stok nasional yang cukup sesuai persyaratan operasional logistik yang luas dan tersebar.

Pengertian Ketahanan Pangan

Menurut Undang-Undang (UU) No 7 Tahun 1996 tentang Pangan, disebutkan bahwa Ketahanan Pangan adalah “kondisi terpenuhinya pangan dari rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau”. Definisi tersebut telah di sempurnakan dengan UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, bahwa yang dimaksud dengan Ketahanan Pangan adalah “kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan”.

Apabila kita perhatikan dan perbandingkan definisi tentang pangan, definisi ketahanan pangan dalam UU No 18 tahun 2012 di atas telah merupakan penyempurnaan dan “pengkayaan cakupan” dari definisi dalam UU No 7 tahun 1996 yang memasukkan “perorangan” dan “sesuai keyakinan agama” serta “budaya” bangsa. Definisi UU No 18 tahun 2012 secara substantif sejalan dengan definisi ketahanan pangan dari FAO yang menyatakan bahwa ketahanan pangan sebagai suatu kondisi dimana setiap orang sepanjang waktu, baik fisik maupun ekonomi, memiliki akses terhadap pangan yang cukup, aman, dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan gizi sehari-hari sesuai preferensinya.

Di dalam UU Pangan tersebut tidak hanya berbicara tentang ketahanan pangan, namun selain tentang pentingnya pencapaian ketahanan pangan sekaligus dengan mewujudkan kedaulatan pangan (food soveregnity) dengan kemandirian pangan (food resilience) serta keamanan pangan (food safety).

Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Kemandirian Pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi Pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat.

Keamanan Pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah Pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi.

Kemampuan Produksi dan Jumlah Konsumsi Beras di Indonesia

Menurut Institute for development of Economics and Finance (Indef), negara yang tidak memiliki ketahanan pangan yang cukup baik, maka negara tersebut akan kesulitan dalam mengendalikan inflasi. Ketahanan pangan yang kurang baik juga akan menyulitkan negara tersebut untuk memiliki stabilitas yang baik, karena menyangkut angka inflasi yang tinggi.

Masyarakat menghendaki agar pasokan dan harga beras dapat stabil, tersedia sepanjang waktu serta dengan harga yang terjangkau. Dalam rangka memenuhi pasokan hal tersebut, pemerintah bertekad untuk mencapai swasembada beras dengan tingkat harga yang dapat terjangkau masyarakat. Kebijakan pemerintah seperti pembelian gabah petani saat panen raya dan penetapan harga dasar gabah serta pengendalian harga di tingkat konsumen merupakan salah satu upaya agar masyarakat dapat mengkonsumsi beras dengan layak.

Kebijakan yang lainnya seperti program penyaluran beras bagi keluarga yang tidak mampu atau yang dikenal dengan RASTRA (Bantuan Beras Sejahtera), biasanya Bulog menyalurkan 250 ribu ton per bulan, namun mulai tahun 2019 telah diganti menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), sehingga penyaluran beras oleh Bulog makin menurun.

Indonesia terus berusaha mendorong peningkatan produksi beras dalam negeri melalui program pengembangan produksi padi yang merupakan salah satu fokus kegiatan prioritas Kementerian Pertanian tahun 2020-2024 serta pengelolaan stok beras nasional untuk tujuan emergensi dan stabilisasi harga guna melindungi petani dan konsumen. Hal ini terlihat dari makin menurunnya defisit neraca perdagangan beras 2016 – 2020, yaitu dari defisit sebesar USD$530,3 juta setara Rp 7,06 trilyun tahun 2016 menjadi US$ 194 juta setara Rp 2,83 trilyun tahun 2020.

Sementara itu menurut data United States Department of Agriculture (USDA), selama periode 2020-2023 volume produksi beras Indonesia selalu lebih rendah dibanding konsumsinya. Konsumsi beras Indonesia bahkan meningkat pada 2023, meski produksinya kian melemah.

Sepanjang 2023 Indonesia tercatat memproduksi beras giling (milled rice) 34 juta metrik ton, turun 1,2% dibanding 2022 (year-on-year/yoy), sekaligus menjadi rekor terendah dalam empat tahun terakhir. Namun, pada 2023 angka konsumsinya naik 1,1% (yoy) menjadi 35,7 juta metrik ton, seperti terlihat pada grafik.

Berdasarkan data ini, pada 2023 Indonesia mengalami defisit pasokan beras giling (milled rice) sekitar 1,7 juta metrik ton. Angka yang tercatat dalam laporan USDA ini merupakan data produksi dan konsumsi beras giling (milled rice), yakni beras utuh atau beras yang sebagian lapisan kulitnya sudah dipisahkan (beras pecah kulit), dengan kadar kotoran/batu/gabah maksimal 10%.

Pengalaman selama ini, untuk menutupi defisit produksi beras yang terjadi di Indonesia adalah dengan cara menimport beras dari negara lain seperti Thailand, India, Vietnam, China dll. Cara ini memang merupakan cara yang praktis dan singkat untuk menutupi kekurangan pasokan beras dalam negeri. Namun tentu saja cara menutupi defisit beras dengan cara import dari negara lain bukanlah cara yang aman dan dikehendaki oleh kita semua.

Apalagi seperti yang terjadi saat ini, dimana beberapa negara yang selama ini meng-ekspor berasnya ke Indonesia kemudian melakukan restriksi atau pembatasan ekspornya, menjadi sangat menyulitkan kita.

Oleh karena itu cara yang lebih bijaksana adalah dengan berusaha agar kebutuhan beras dalam negeri bisa dipenuhi secara mandiri oleh produksi dalam negeri lewat swa sembada beras. Target swa sembada beras harus menjadi hal yang sangat serius harus untuk bisa dicapai menuju ketahanan pangan yang hakiki. Bukan hal sulit untuk mewujudkan swa sembada beras ini, mengingat negara Indonesia pernah mewujudkannya pada zaman orde baru dahulu dan bahkan mendapatkan apresiasi secara internasional dari FAO.

Tantangan Ketahanan Pangan ke Depan

Jika dilihat sekilas, ketahanan pangan akan mudah diwujudkan di Indonesia. Sebab Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki lahan pertanian luas serta sebagian besar mata pencarian penduduknya adalah sebagai petani. Namun, meskipun merupakan negara agraris yang memiliki lahan pertanian luas serta sebagian besar mata pencarian penduduknya adalah sebagai petani, dalam kenyataannya tetap saja mewujudkan kondisi ketahanan pangan di Indonesia bukan merupakan hal yang mudah. Masih banyak sekali tantangan yang harus dilewati oleh bangsa Indonesia untuk dapat mewujudkan kondisi ketahanan pangan seperti yang diharapkan.

Menurut Dina Casa Maharani, dalam Jurnal “Mencapai Ketahanan Pangan Indonesia Berkelanjutan”, di jelaskan bahwa ada 2 jenis tantangan yang harus di lewati Indonesia demi mewujudkan ketahanan pangan, yaitu tantangan dari sisi penyediaan pasokan/penawaran dan tantangandari sisi pemenuhan kebutuhan/ permintaan.

Penyediaan Pasokan/Penawaran

Ada lima hal yang perlu mendapat perhatian dari sisi pasokan. Pertama, kendala sumber daya alam. Kompetisi pemanfaatan lahan termasuk perairan dan air akan semakin tajam karena adanya sasaran pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan peningkatan penduduk dalam presentase dan jumlah yang besar. Kualitas lahan dan air juga makin terdegradasi karena dampak penggunaan pupuk kimia dan pestisida yang terus menerus digunakan dalam kurun waktu panjang dan limbah industri yang merembes ke lahan pertanian. Selain itu, prasarana pertanian yang sudah ada juga sebagian rusak. Kondisi ini saja sudah akan menurunkan kapasitas produksi pangan nasional, karena produksi pangan Indonesia masih berbasis lahan (land base).

Kedua, dampak perubahan iklim global. Dalam beberapa tahun terakhir, kejadian iklim ekstrem di Indonesia terasa lebih nyata. Masyarakat mengalami kejadian fenomena iklim ekstrem yang frekuensinya makin sering. Pola dan intensitas curah hujan yang berbeda-beda, kenaikan temperature udara, banjir dan kekeringan yang semakin sering terjadi, dan intensitas serangan hama serta penyakit yang semakin tinggi.

Oleh karena itu, diperlukan penyesuaian dalam proses usaha tani pangan, misalnya penyesuaian waktu tanam, pola tanam, penggunaan varietas yang lebih tahan terhadap cekaman iklim, dan pengelolaan air secara efisien.

Ketiga, pertanian Indonesia dicirikan atau didominasi oleh usaha tani skala kecil. Petani-petani kecil Indonesia ini dihadapkan pada persoalan klasik yang belum berhasil diatasi dengan baik, seperti keterbatasan akses terhadap pasar, permodalan, informasi, dan teknologi. Bila tidak ada rekayasa sosial untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka akan sangat berat bagi Indonesia untuk mencapai ketahanan pangan berkelanjutan.

Keempat, adanya ketidakseimbangan produksi pangan antar wilayah. Hampir untuk semua komoditas, proporsi produksi pangan di Jawa lebih dari 50% dari produksi pangan nasional. Ketidakseimbangan ini akan meningkatkan permasalahan upaya pemerataan pangan dan ongkos distribusi pangan hingga mempersulit penyediaan pangan secara spasial merata ke seluruh daerah di Indonesia. Bila tidak dilakukan pembangunan infrastruktur dan sistem logistik pangan antar wilayah, maka akan sulit untuk mengatasi ketidakseimbangan produksi antar wilayah.

Kelima, proporsi kehilangan hasil panen dan pemborosan pangan masih cukup tinggi. Kehilangan pangan (food losses) karena ketidaktepatan penanganan pangan mulai dari saat panen sampai dengan pengolahan dan berlanjut pada pemasaran yang dipercayai masih bergantung pada komoditas, musim, dan teknologi yang digunakan. Sementara itu, pemborosan pangan (food waste) yang terjadi mulai pasar konsumen akhir sampai dibawa dan disimpan di rumah, lalu disajikan di meja makan namun tidak dimakan, jumlahnya diperkirakan mencapai lebih dari 30 persen (sumber FAO)

Pemenuhan Kebutuhan/Permintaan

Ada empat hal yang perlu mendapat perhatian dari sisi permintaan. Pertama, adanya pertumbuhan penduduk yang tinggi beserta dinamika karakteristik demografisnya, diantaranya urbanisasi dan peningkatan proporsi wanita masuk pasar tenaga kerja. Kuantitas atau jumlah kebutuhan pangan setiap tahun akan meningkat selaras dengan pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi. Karena jumlah penduduk yang besar, maka tambahan permintaan pangan per tahun juga akan sangat besar.

Urbanisasi yang merupakan salah satu dinamika kependudukan masih akan terus berlanjut dengan alasan dorongan keluar (push factor) dari sektor pertanian, karena sektor ini tidak dapat menampung angkatan kerja baru atau tidak dapat memenuhi harapan terkait upah yang diterima atau kondisi kerja dinilai tidak nyaman. Selain urbanisasi, perubahan beberapa daerah yang sebelumnya berciri desa bertransformasi menjadi tempat yang mempunyai karakter kota kecil atau kota sedang akan terus berlangsung seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan otonomi daerah.

Kedua faktor inilah yang akan mempercepat peningkatan penduduk kota atau daerah berciri kota. Hal ini akan membawa konsekuensi proporsi pola permintaan pangan berciri preferensi penduduk kota menjadi lebih besar. Hal ini akan memperkuat peningkatan permintaan untuk makanan jadi, baik yang dimakan di luar rumah maupun di dalam rumah.

Kedua, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi diatas rata-rata 5% per tahun. Dalam beberapa tahun mendatang, sasaran pertumbuhan ekonomi tinggi tersebut akan terus dipertahankan karena memang negeri ini perlu mengejar ketertinggalan pembangunan ekonomi dari negara-negara yang sudah maju. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan berdampak pada peningkatan pendapatan per kapita atau daya beli masyarakat, walaupun sebarannya tidak merata ke setiap individu.

Situasi ini akan meningkatan permintaan pangan dari sisi kualitas, keragaman, mutu, dan keamanannya. Salah satu upaya untuk menanganinya dan sekaligus memanfaatkan peluang bisnis pangan olahan adalah melalui penguasaan dan penerapan teknologi pangan agar dapat merespon perubahan permintaan oangan, sehingga mampu menyediakan pangan sesuai dinamika permintaan pasar dan preferensi konsumen dengan baik.

Ketiga, pada saat ini sedang berlangsung perubahan selera konsumsi pangan yang mulai meninggalkan pangan lokal dan makanan tradisional. Pola konsumsi pangan dipengaruhi oleh sumber daya pangan di sekitarnya, daya beli masyarakat, pengetahuan tentang pangan dan gizi, dan selera konsumen. Perubahan selera pangan pada saat ini dibentuk dan dipengaruhi secara kuat oleh perkembangan pesat teknologi informasi media yang dimanfaatkan oleh media promosi / periklanan, termasuk pengiklan yang menjajakan makanan dan minuman yang mencitrakan produknya berlabel tren masa kini, kere, dan global.

Iklan televisi dinilai lebih cenderung menawarkan produk yang mencerminkan budaya konsumerisme dan gaya hidup konsumtif. Dengan semakin tersebarnya jaringan televise sampai ke pelosok negeri dengan isi iklan pangan yang bersifat persuasive untuk menarik minat dan selera pemirsa yang menawarkan pangan bercitra keren dan global, maka pola konsumsi pangan masyarakat secara perlahan akan bergeser kea arah itu.

Makanan berciri global yang disediakan di restoran, konsumsi makanan cepat saji, makan di luar rumah akan semakin diminati. Sebaliknya, makanan yang berlabel atau diidentikkan dengan makanan tradisional atau lokal secara perlahan akan ditinggalkan konsumen. Pemanfaatan teknologi pangan, teknologi informasi, dan kampanye gerakan cinta pangan lokal Nusantara diharapkan dapat mengimbangi tantangan perubahan selera pangan akibat iklan makanan tersebut.

Keempat, persaingan permintaan atas komoditas pangan untuk konsumsi manusia (food), pakan ternak (feed), bahan baku energy bio (biofuel), dan bahan baku industri non-pangan akan terus berlangsung dan semakin ketat dalam tahun tahun mendatang.

Persiangan permintaan ini diturunkan dari peningkatan permintaan untuk produk ternak, semakin tingginya harga energy berbahan baku fosil, dan peningkatan permintaan produk industri yang memanfaatkan bahan pangan dalam proses produksinya. Permasalahan ini harus dapat diantisipasi secara arif melalui peningkatan produksi komoditas pangan yang tinggi dan perlibatan industri pangan.

Dua tantangan yang telah dijelaskan diatas, baik tantangan dari sisi permintaan maupun tantangan dari sisi penawaran harus benar2 bisa di koordinasikan dan di kendalikan dengan sebaik baiknya oleh pemerintah untuk bisa mencapai ketahanan pangan yang stabil. 


Budi Wiyono, Peneliti Berdikari Center

 

 

1640