Home Politik Usai Adu Gagasan 3 Bacapres di UGM, Milenial-Gen Z Tentukan Pilihan atau Tetap Golput?

Usai Adu Gagasan 3 Bacapres di UGM, Milenial-Gen Z Tentukan Pilihan atau Tetap Golput?

Jakarta, Gatra.com – Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 yang dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Juli lalu menunjukkan bahwa kelompok pemilih dari segmentasi milenial dan Generasi Z merupakan jumlah pemilih dominan.

Tercatat bahwa pemilih milenial sebanyak 66.822.389 atau 33,60%, sementara Gen Z sebanyak 46.800.161 atau 22,85%. Jika ditotal, persentasenya mencapai 56,45% atau paling dominan dibanding segmentasi usia lainnya.

Namun, sejumlah petinggi partai politik (parpol) dan pengamat politik masih mengkhawatirkan rendahnya partisipasi politik anak muda milenial dan Generasi Z pada gelaran Pemilu 2024 mendatang. Pasalnya, kelompok masyarakat dari dua generasi tersebut menempati porsi terbesar pemilih pada gelaran pemilu tahun depan.

Ketua DPP Partai NasDem, Effendy Choirie alias Gus Choi, adalah salah satu di antaranya. Ia menyangsikan partisipasi politik anak muda di pemilu mendatang akan tinggi meskipun jumlah total pemilihnya terbilang besar.

“Maaf ya, milenial itu memang besar, tapi milenial itu terus terang tidak konkret. Milenial itu belum tentu ke TPS [Tempat Pemungutan Suara]. Berapa persen milenial yang ke TPS? Karena pagi milenial itu ya tidur, bisa main-main, bisa ngopi, bisa tidak datang, akhirnya bisa golput,” tutur Gus Choi kepada Majalah GATRA beberapa waktu lalu.

Selain itu, pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Para Syndicate, Ari Nurcahyo, mengatakan bahwa suara dari pemilih anak muda ini akan berpengaruh besar terhadap elektabilitas bacapres, terutama usai digelarnya adu gagasan ketiga bacapres di UGM beberapa hari lalu. Namun, menurutnya harus dipastikan juga partisipasi pemilih dari sejumlah 56% pemilih milenial dan Gen Z itu cukup tinggi pada pemilu nanti.

“Dengan jumlah pemilih yang besar itu yang berpengaruh di media sosial, itu pasti berpengaruh [ke perolehan suara bacapres], tapi bagaimana juga dikaitkan dengan tingkat partisipasi mereka di TPS,” kata Ari kepada Gatra.com, Sabtu, (23/92023).

Dengan demikian, Ari mengatakan bahwa upaya mendorong milenial dan Gen Z untuk ikut berpartisipasi dalam memilih akan menjadi tantangan tersendiri. Maka dari itu, menurutnya, ini akan menjadi pekerjaan rumah (PR) yang cukup berat bagi para tim bacapres untuk meyakinkan generasi muda agar memilih bacapres mereka.

“Jadi memang dukungan di media sosial itu harus berkorelasi positif dengan tingkat partisipasi pemilih dari milenial dan Gen Z,” ujar Ari.

Untuk agenda pilpres, Ari tak begitu khawatir. Ini nerbeda halnya dengan pileg. Ia bercermin pada pengalaman di Pemilu 2019 lalu. Menurutnya, kala itu partisipasi anak muda untuk memilih di pilpres terbilang tinggi. Namun, partisipasi mereka untuk memilih di pileg terbilang rendah.

“Jadi jumlahnya besar, tapi tantangannya sekarang adalah bagaimana kampanye atau konten adu gagasan di media sosial yang memang menjadi konsumsi milenial dan Gen Z ini harus mendorong partisipasi mereka untuk memilih,” kata Ari.

Pandangan lain muncul dari pengamat komunikasi politik dari UGM, Nyarwi Ahmad. Ia mengaku tak begitu mengkhawatirkan rendahnya partisipasi politik anak muda pada pesta demokrasi tahun depan. Senada dengan Ari, ia mengatakan bahwa tingkat golongan putih (golput) rendah di pilpres, meski masih cukup tinggi di pileg.

Meski begitu, ia tak menyangkal bahwa kemungkinan golput masih ada. “Ya artinya golput itu potensial bisa terjadi di semua lapis generasi, tidak hanya generasi muda. Kalau kita lihat pilpres periode sebelumnya itu jumlahnya kurang leih 10%-15%. Kalau dicermati di 10 tahun terakhir, golput pilpres itu lebih rendah dari golput pileg. Overall pilpres itu lebih rendah dibanding pileg,” ujar Nyarwi kepada Gatra.com, Sabtu, (23/9//2023).

Di lain sisi, Nyarwi meyakini bahwa parpol atau tim sukses bacapres akan melihat ini sebagai tantangan. Ia percaya tim sukses masing-masing kandidat akan saling sikut untuk memenangkan hati anak-anak muda.

“Tentu program-program kampanye mereka akan dijadikan target untuk mobilisasi suara sehingga saya sendiri tidak terlalu mengkhawatirkan potensi golput itu akan besar di dalam pilpres. Yang mengkhawatirkan mungkin di pileg,” ujar pengamat yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Indonesian Presidential Studies (IPS) itu.

Di samping itu, Nyarwi juga menilai bahwa golput merupakan pilihan yang normal bagi pemilik suara dalam proses demokrasi, terutama apabila alasannya bersifat ideologis.

“Kalau golput itu alasannya ideologis, itu ya hak masyarakat. Itu terserah mereka mau menggunakan hak pilih atau tidak,” ujarnya.

Meski begitu, Nyarwi juga mengatakan ada situasi golput yang terjadi akibat kesalahan teknis, seperti pemilih yang tidak terdaftar sebagai pemilih. “Itu kan alasan teknis yang bisa diminimalisir tapi tidak bisa dikelola oleh penyelenggara. Itu yang saya kira perlu diantisipasi,” ujarnya.

231