Home Hukum Akademisi Hukum UGM Anggap Putusan MK Bermasalah, Desak Kekuasaan Prabowo-Gibran Dibatasi

Akademisi Hukum UGM Anggap Putusan MK Bermasalah, Desak Kekuasaan Prabowo-Gibran Dibatasi

Yogyakarta, Gatra.com - Pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaina Arifin Mochtar menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa hasil pemilihan umum punya tiga persoalan mendasar. Adapun komunitas mahasiswa hukum mendesak pengesahan RUU Lembaga Kepresidenan.

Hal itu mengemuka di kampus Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), Selasa (23/4), menanggapi putusan MK yang menolak seluruh gugatan pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud, sehingga mengukuhkan kemenangan Prabowo-Gibran di Pilpres 2024.

Pertama, kata Zainal, seperti diakui para hakim, persoalan itu berupa keterbatasan hukum acara yang hanya selama 14 hari. “Dalil banyak sekali tapi jumlah saksi dan ahli dibatasi. Itu yang jadi ribet. Catatan kita, perbaiki konstruksi hukum pemilu di MK. Kalau tidak akan berulang terus,” ujarnya.

Kedua, adanya perbedaan atas paradigma hakim yakni antara hakim yang formalistik dan prosedural dengan hakim progresif dan melakukan aktivisme. “Putusan MK memperlihatkan disparitas itu, seperti saat menanggapi bantuan sosial,” ujarnya.

Menurut Zainal, mayoritas hakim menilai bansos bermasalah tapi tak terbukti secara hukum dan terpulang ke moralitas setiap orang. Namun tiga hakim yang berbeda pendapat menyatakan hal itu bukan terkait moralitas, melainkan perkara konseptual.

Karena itu, menurut Zainal, tak perlu bukti formil seperti adanya perintah presiden ke menteri untuk merekayasa bansos. “Sepanjang sudah dianggarkan di tahun pemilu, dia memilki insentif elektoral kepada presiden dan itu bisa disebut pork barrel,” kata Zainal.

Masalah ketiga, menurut Zainal, MK tidak pernah bisa independen secara baik di hadapan kepentingan politik. “Itu terbukti berkali-kali,” ujarnya.

Dari pengamatannya, Zainal menjelaskan, hakim MK terdiri tiga jenis, yakni hakin yang inginkan perubahan dan jadi pejuang yudisial, hakim yang pengaruh atau terafiliasi politik, dan hakim di posisi tengah.

Menurut Zainal, keputusan MK pun dipengaruhi kemampuan kelompok politik mendekati hakim-hakim tersebut sehingga keputusan tersebut merupakan keputusan titik tengah.

Hal ini seperti terjadi saat keputusan terhadap uji materi UU MD3 untuk angket KPK dan UU Cipta Kerja. “Dugaan saya, keputusan kali ini juga mencari titik tengah. Bukan pembatalan Gibran, tapi ulang di provinsi bermasalah. Ini seperti punya logika sendiri,” ujarnya.

Di kampus FH UGM, komunitas mahasiswa Constitutional Law Society (CLS) juga merespons putusan MK dengan mengajukan enam tuntutan. “Pertama, presiden dan wapres terpilih bersedia kekuasaannya dibatasi melalui peraturan perundang-undangan khusus,” kata coordinator CLS Lintang Nusantara.

RUU tersebut antara lain melarang pemberian kemudahan atau peuang bisnis ke keluarga dan krooni politik dari presiden dan wapres. CLS juga berharap DPR membahas kembali RUU Lembaga Kepresidenan dan memasukkannya ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) RUU Prioritas pada 2024, lantas bersama presiden mengesahkannya sebagai UU.

Para akademisi ilmu hukum dan elemen masyarakat juga diharapkan mengawal dan mendukung langkah tersebut. “Kami berharap melalui gagasan dan aspirasi yang kami sampaikan dapay didengar,” ujar Lintang.

398