Home Kolom Potensi Chaos: MK Melawan Logika Publik

Potensi Chaos: MK Melawan Logika Publik

Oleh: 
Meilanie Buitenzorgy*


Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait gugatan usia Capres/Cawapres menuai kontroversi berkepanjangan. Dikarenakan, keputusan tersebut mengandung inkonsistensi dan kesalahan berlapis-lapis dari berbagai aspek. Semua hal tersebut telah dibahas panjang lebar oleh para pakar hukum.

Di luar poin-poin pembahasan para ahli hukum, keputusan MK tersebut bertentangan dengan nalar manusia pada umumnya. Padahal, produk hukum seharusnya tidak boleh bertentangan dengan logika publik. Karena produk hukum haruslah dibuat atas dasar logika dan rasa keadilan publik.

Keanehan logika hakim-hakim MK dalam putusan kontroversial tersebut diilustrasikan dalam infografis di bawah ini.

Terhadap gugatan mahasiswa UNSA yang memohonkan Capres/Cawapres dapat berusia kurang dari 40 tahun asal sedang/pernah menjadi Kepala Daerah, konfigurasi sikap sembilan Hakim MK adalah sebagai berikut: 4 hakim menolak gugatan termasuk wakil ketua MK; 3 hakim menerima gugatan termasuk ketua MK; 2 hakim menerima gugatan dengan syarat Kepala Daerah dimaksud minimal Gubernur dan sudah menyelesaikan tugasnya minimal satu periode penuh.

Dengan konfigurasi seperti ini, dimana ada tujuh hakim yang pendapatnya saling menegasikan, maka logikanya, titik temu yang menjadi kesimpulan akhir seharusnya berada di tengah-tengah diantara pendapat yang saling bertolak belakang. Artinya, putusan MK seharusnya mengacu pada sikap dua hakim yang berpendapat Capres/Cawapres boleh berusia kurang dari 40 tahun asalkan pernah menjabat Gubernur minimal satu periode penuh (5 tahun).

Ini kalau pengambilan keputusan di MK memang sesuai dengan cara manusia bernalar pada umumnya.

Berlawanan dengan logika manusia, MK malah menghasilkan keputusan seperti yang sudah kita ketahui bersama. Bukannya mendekat ke titik tengah, kesimpulan MK justru jatuh di luar spektrum pendapat ke-9 hakim; lebih kanan dari titik ekstrem kanan.

Jika penggugat hanya memohon pengecualian untuk Capres/Cawapres usia kurang dari 40 tahun berlaku untuk Kepala Daerah, MK malah memberi bonus: selain Kepala Daerah, pengecualian juga berlaku untuk pejabat yang dipilih melalui pemilihan umum.

Dikaji dengan prinsip minoritas-mayoritas pun keputusan MK tetap bertentangan dengan akal sehat. Karena, hakim yang berpendapat Kepala Daerah usia <40 setingkat Walikota boleh menjadi Capres/Cawapres hanya tiga orang. Selebihnya, enam hakim berpendapat Capres/Cawapres dari Kepala Daerah <40 tahun minimal Gubernur 1 periode atau menolak gugatan sama sekali.

Bagaimana mungkin penarikan kesimpulan untuk perkara gugatan terhadap konstitusi yang berdampak besar pada kehidupan berbangsa dan bernegara malah mengacu pada pendapat minoritas hakim? Apalagi salah satu dari tiga hakim minoritas tersebut adalah paman dari pihak terkait gugatan?

Ada warga yang berseloroh agar logika ngawur MK dimaklumi, karena mereka yang mengambil jurusan hukum memang rata-rata tak pandai matematika.

Apa benar seperti itu? Rasanya tidak mungkin, mengingat para ahli hukum pun ramai-ramai mengkritisi keputusan ngawur MK tersebut.

Kalau demikian, jangan-jangan yang berlogika ngawur memang khusus hanya hakim-hakim MK? Ini pun terpatahkan oleh statemen Wakil Ketua MK, Hakim Saldi Isra dan hakim anggota Arief Hidayat. Keduanya menyatakan keputusan MK “di luar nalar yang bisa diterima dengan penalaran yang wajar”.

Mau tidak mau, telunjuk mengarah ke Ketua MK Anwar Usman sebagai tokoh sentral di balik putusan yang menghina akal sehat publik tersebut.

Sebagai alumni jurusan non-hukum, kita patut merasa kasihan dengan teman-teman alumni jurusan Hukum. Gara-gara Anwar Usman setitik, rusak kredibilitas alumni jurusan Hukum se-Indonesia Raya. Gara-gara putusan ngawur MK, publik menganggap alumni jurusan Hukum identik dengan logika jeblok.

Hal yang membuat publik semakin kesal adalah, ketentuan bahwa sengawur-ngawurnya Putusan MK, jika sudah diputuskan maka sifatnya legally binding. Mengikat secara hukum. Pihak-pihak terkait harus langsung melaksanakan saat itu juga.

Sejak keluarnya putusan kontroversial MK tersebut, hampir setiap hari mahasiswa di berbagai pelosok Tanah Air menggelar demo menentang putusan MK. Termasuk dalam rangkaian demo mahasiswa tersebut adalah: demo Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia di Jakarta (16/10), demo Front Mahasiswa Demokrasi Reformasi di Jakarta (17/10), demo Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) di Jakarta (20/10), demo Aliansi Mahasiwa Jawa Barat di Bandung (20/10), demo serentak para mahasiswa di beberapa daerah Jawa Timur (20/10), demo gabungan mahasiswa Aliansi Rakyat NTB di Mataram (21/10), demo aliansi mahasiswa Sulawesi Tengah di Palu (21/10), demo Aliansi Mahasiswa Peduli Demokrasi di Padang (22/10), demo BEM Nusantara Sulawesi Selatan di Palopo (23/10), hingga demo gabungan mahasiswa 6 kampus se-Kalimantan Timur di Samarinda (23/10).

Blunder MK tidak berakhir di situ saja. Menanggapi pengaduan dari berbagai kalangan terkait dugaan pelanggaran etik oleh Ketua MK Anwar Usman, MK pun membentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Ironisnya, anggota MKMK yang nantinya akan menyelidiki dugaan pelanggaran etik Ketua MK Anwar Usman, justru dilantik oleh Ketua MK Anwar Usman sendiri.

Lebh ironis lagi, MK memutuskan Jimly Asshidiqie sebagai ketua MKMK. Mantan ketua MK Ini telah menyatakan dukungan kepada Prabowo Subianto. Anak Jimly juga merupakan caleg Partai Gerindra. Seperti diketahui publik, Prabowo adalah Capres pasangan Gibran Rakabuming Raka. Gibran (36 tahun), walikota Solo yang baru menjabat 2 tahun, adalah anak Presiden Jokowi sekaligus keponakan Ketua MK Anwar Usman. Gibran lolos menjadi Cawapres berkat putusan MK yang dipercaya publik luas memang dibuat untuk meloloskan Gibran.

Tidak mengherankan jika akun media sosial Jimly Asshiddiqie diserbu netizen yang meminta Jimly mundur karena publik khawatir akan terjadinya, lagi-lagi, konflik kepentingan.

Kita berharap MK berhenti bermain api dengan logika publik dan rasa keadilan publik. Belum pernah dalam sejarah reformasi, MK berada di titik serendah ini. Jika MK masih saja menelurkan keputusan-keputusan yang bertentangan dengan nalar hukum dan nalar publik, tentu rakyat tidak akan tinggal diam. Ini sangat berbahaya. Potensi terjadinya letupan-letupan di masyarakat ada di depan mata.

Bukan cuma berurusan dengan publik tanah air. Kontroversi MK juga berpengaruh negatif terhadap international trust. Ketidakpastian hukum di Indonesia akan mempengaruhi keputusan para investor luar negeri. Dikhawatirkan, masalah terpuruknya rule of law di tanah air ini turut berkontribusi terhadap terus melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Selain tentunya kontribusi faktor utama penguatan dollar AS secara global seperti yang telah dijelaskan Menkeu.

Demo-demo mahasiswa terkait putusan MK berbarengan dengan terus terpuruknya nilai tukar rupiah. Beresonansi pula dengan berbagai protes dan seruan keprihatinan yang dilayangkan oleh para aktivis, akademisi, budayawan, tokoh masyarakat dan masyarakat luas yang sebelumnya menjadi pendukung setia dari Presiden Joko Widodo.

Ini semua seperti mengingatkan kita akan eskalasi situasi dalam negeri jelang jatuhnya Presiden Soeharto di tahun 1998.

Pemerintah harus betul-betul menyadari, kepercayaan publik terhadap pemerintah sedang merosot drastis. Tidak pernah seumur hidup penulis menyaksikan akun media sosial Presiden Joko Widodo dibanjiri ungkapan kekecewaan para pendukungnya. Ungkapan puja-puji nyaris nihil.

Ini semua tidak bisa dianggap remeh. Presiden Jokowi tidak lagi bisa mengandalkan dukungan publik yang selama ini membela mati-matian atas blunder apa pun yang dilakukan Pemerintah.

Pemerintah harus melakukan langkah signifikan untuk mengembalikan kepercayan publik dalam negeri maupun internasional.

Sebelum semuanya telambat.


*Akademisi dan aktivis media sosial