Home Hukum MKMK Dinilai Terburu-buru, Jimly Asshiddiqie Bahas Adanya Beda Pendapat karena Kepentingan

MKMK Dinilai Terburu-buru, Jimly Asshiddiqie Bahas Adanya Beda Pendapat karena Kepentingan

Jakarta, Gatra.com - Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie meyakini bahwa semua pihak memiliki kepentingan, baik untuk pribadi maupun golongan. Menurutnya, hal itulah yang kerap kali memicu perbedaan pendapat antar satu sama lain.

Hal itu pula terjadi, tak terkecuali dalam rangkaian persidangan laporan dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi buntut putusan MK atas gugatan terkait batas usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres). Seperti diketahui, sidang tersebut telah berlangsung sejak Kamis (26/10) silam.

"Orang berbeda pendapat itu karena kepentingan. Semua orang. Sudah lah, kita akui saja. Semua pribadi punya kepentingan. Semua keluarga punya kepentingan. Semua golongan, kelompok, apalagi partai. Partai itu kan golongan, punya kepentingannya sendiri-sendiri," kata Jimly dalam sidang pendahuluan pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi, di Gedung MK RI, Jakarta, pada Rabu (1/11).

Dalam hematnya, kepentingan itulah yang kemudian memicu terjadinya perbedaan pendapat pada masing-masing pihak. Ia menyebut, perbedaan pendapat itu merupakan bagian dari bentuk penalaran yang didorong oleh adanya kepentingan.

"Tetapi, kalau [saling] bertemu, dimusyawarahkan, kita bicara tentang kepentingannya lebih besar, lebih luas. Ketemu perbedaan itu," ujar Jimly.

Untuk diketahui, hal tersebut Jimly katakan dalam sidang dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim yang dilaporkan oleh Pergerakan Advokat Nusantara (Perekat Nusantara). Ketika itu, para pelapor mempertanyakan keputusan MKMK untuk memutus cepat belasan laporan dugaan pelanggaran tersebut.

Jimly pun menjelaskan bahwa keputusan itu berasal dari permintaan Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) RI Denny Indrayana yang juga mengajukan laporan terkait jenis pelanggaran yang sama. Seperti diketahui, dalam persidangan Selasa (31/10), Denny meminta agar sidang diputus cepat.

Di mana, permintaan tersebut rupanya bertolak belakang dengan pendapat Perekat Nusantara yang menilai penentuan waktu pembacaan putusan itu terlalu terburu-buru.

Sebagaimana diketahui, sederet laporan dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi terus masuk sejak diputuskannya perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru. Dalam perkara itu, penggugat meminta agar batas usia minimal capres-cawapres tetap pada usia 40 tahun, kecuali apabila seorang figur yang hendak mencalonkan diri pernah menjabat sebagai Kepala Daerah di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.

Adapun, sebelum mengabulkan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023, MK telah lebih dulu menolak tiga perkara dengan gugatan serupa dalam rangkaian sidang yang sama. MK menilai, gugatan yang diajukan dalam tiga perkara itu tidak beralasan menurut hukum.

Salah satunya ialah gugatan yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang meminta batas usia capres-cawapres diturunkan menjadi 35 tahun. Sementara itu, dua gugatan lainnya ialah gugatan yang dilakukan Partai Garuda dan sejumlah pimpinan daerah dengan mengajukan syarat alternatif "pernah menjadi pejabat negara" di samping batas usia minimal.

122