Home Hukum Usai Dicopot dari Kursi Ketua MK, Anwar Usman Klaim Ketahui Ada Skenario Politisasi

Usai Dicopot dari Kursi Ketua MK, Anwar Usman Klaim Ketahui Ada Skenario Politisasi

Jakarta, Gatra.com - Hakim Konstitusi Anwar Usman mengaku telah mengetahui adanya upaya politisasi yang ditujukan pada dirinya melalui berbagai putusan dan pembentukan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Bahkan, ia mengaku telah mengetahui hal itu sejak jauh-jauh hari.

Hal itu Anwar katakan sebagai respons atas keputusan MKMK untuk memberhentikan dirinya dari jabatan Ketua MK. Ia dianggap telah melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim, buntut pengabulan gugatan nomor 90/PUU-XXI/2023 yang dinilai kental akan konflik kepentingan.

"Sesungguhnya, saya mengetahui dan telah mendapatkan kabar, bahwa upaya untuk melakukan politisasi dan menjadikan saya sebagai objek di dalam berbagai Putusan MK dan Putusan MK terakhir, maupun tentang rencana Pembentukan MKMK, telah saya dengar jauh sebelum MKMK terbentuk," ujar Anwar Usman ketika ditemui awak media, di Gedung MK RI, Jakarta Pusat, pada Rabu (8/11).

"Namun, meski saya sudah mendengar ada skenario yang berupaya untuk membunuh karakter saya, tetapi saya tetap berbaik sangka, berhusnuzon, karena memang sudah seharusnya begitulah cara dan karakter seorang muslim berpikir," imbuhnya.

Anwar mengaku yakin bahwa tidak ada satu hal pun dapat terjadi di dunia ini tanpa kehendak Tuhan. Ia pun percaya, keyakinan itu pula terjadi pada dirinya yang sempat diberi kesempatan untuk menjabat sebagai pimpinan di lembaga yudikatif tersebut.

Anwar juga mengaku, skenario yang disebutnya sebagai upaya pembunuhan karakter itu tak serta-merta membuatnya menghindari tanggung jawab untuk membentuk MKMK sebagai lembaga yang kelak memutuskan ujung dari masuknya puluhan laporan terkait dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim yang masuk ke MK.

"Meski saya mengetahui tentang rencana dan adanya skenario terhadap diri saya melalui Pembentukan MKMK, saya tetap memenuhi kewajiban saya sebagai Ketua MK, untuk membentuk Majelis Kehormatan MK, sebagai bentuk tanggung jawab amanah jabatan yang diembankan kepada saya, selaku Ketua MK," ujarnya.

Paman dari Calon wakil presiden (cawapres) Gibran Rakabuming Raka itu mengaku sadar bahwa penanganan perkara pemilu memiliki muatan politis yang sangat kuat, khususnya terkait batas usia capres-cawapres. Namun, menurutnya, ia tetap mematuhi asas-asas dan ketentuan hukum yang berlaku, sebagai seorang hakim konstitusi.

"Sedari awal, sejak menjadi Hakim dan Hakim Konstitusi, saya mengatakan, bahwa, jika seorang Hakim memutus tidak berdasarkan hati nuraninya, maka sesungguhnya, dia sedang menghukum dirinya sendiri, dan pengadilan tertinggi sesungguhnya adalah pengadilan hati nurani," ucap Anwar.

"Oleh karena itu, saya tidak pernah takut dengan tekanan dalam bentuk apapun, dan oleh siapapun dalam memutus sebuah perkara, sesuai dengan keyakinan saya sebagai Hakim yang akan saya pertanggungjawabkan kepada Allah Swt., Tuhan Yang Maha Esa," lanjutnya.

Sebagaimana diketahui, MKMK menganggap Anwar telah terbukti melanggar sejumlah prinsip dalam Sapta Karsa Hutama, yang membuatnya harus mundur dari kursi Ketua MK. Beberapa di antaranya yakni Prinsip Ketidakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, dan Prinsip Kepantasan dan Kesopanan.

Tak hanya itu, Anwar pun dinyatakan tidak berhak lagi untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pimpinan MK sampai masa jabatannya sebagai hakim konstitusi berakhir. Ia juga tidak diperkenankan untuk terlibat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan dalam perkara perselisihan hasil pemilihan umum (pemilu) yang memiliki potensi benturan kepentingan.

Adapun, sederet laporan dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi terus masuk sejak diputuskannya perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru. Anwar pun menjadi hakim konstitusi yang paling banyak dilaporkan, dengan total 15 dari 21 laporan.

Para pelapor menilai, putusan tersebut kental akan muatan konflik kepentingan yang melibatkan Anwar. Di mana, gugatan itu erat kaitannya dengan pengusungan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka, yang merupakan putra Presiden RI Joko Widodo dan keponakan Anwar, yang kini maju sebagai cawapres pendamping Prabowo Subianto pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.

Para pelapor pun menganggap pengabulan gugatan itu telah memuluskan langkah Gibran untuk melenggang sebagai cawapres. Sebab, dengan dikabulkannya gugatan tersebut, maka syarat batas usia capres-cawapres mengalami perubahan, dari yang semula ditetapkan minimal 40 tahun menjadi minimal 40 tahun atau pernah menjabat sebagai kepala daerah di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

29