Home Gaya Hidup Bunga Yuridespita Ubah Ruang Salihara Menjadi Common Sanctum Penuh Ilusi

Bunga Yuridespita Ubah Ruang Salihara Menjadi Common Sanctum Penuh Ilusi

Jakarta, Gatra.com - Memasuki galeri Salihara dalam pameran tunggal Bunga Yuridespita “Common Sanctum” Rabu, 6 Februari 2024 lalu, ruang itu terasa seperti multiplisitas. Apa yang terlihat di sana adalah dimensi yang bersifat optis sekaligus imajiner. Imaji dan ilusi ruang memanglah perkara pengalaman dan pengetahuan. Dan karya-karya Bunga -yang terentang sejak pengunjung memasuki kompleks gedung Salihara- akan membawa kita menikmati dan mengalami alur proses perubahan pengalaman itu: dari ruang konkrit ke ruang imajiner, atau sebaliknya.

“Transfigured Memories” menjadi sajian pertama yang terlihat saat pengunjung memasuki gedung Salihara. Ini adalah karya patung warna-warni yang terbuat dari material resin dan plywood. Karya trimatra ini sebenarnya adalah penggambaran tiga dimensi karya lukis dwimatra Bunga lainnya, “Blocked Shadow”, yang dipajang di dalam ruang galeri. Pada kedua karya ini si Seniman sedang merefleksikan denah gedung dari sudut bird view (tampak atas). Maka lanskap kedalaman ruang itu jadi terlihat lebih tegas melalui garis-garis dan permainan warnanya.

"Ide dari sculpture ini memang berasal dari narasi personal yang aku alami saat masih kecil. Akhirnya di muncul dalam bentuk yang lain dalam hal ini tiga dimensi. Jadi memori spasialnya memang cukup membekas di benakku," kata Bunga di Salihara, Rabu (6/3).

Baca Juga: Kertas yang Tak Hanya Ringan: Pameran “Unbearable Lightness” di ROH Galeri

Bunga Yuridespita memiliki latar belakang pendidikan akademik di bidang arsitektur hingga pernah bekerja sebagai seorang arsitek. Kemudian ia memilih jadi seniman, atau perupa. Latar belakang inilah yang kemudian mungkin secara sadar membentuk karakteristik hampir seluruh karya Bunga yang selalu membayangkan ruang dengan logika arsitektural.

Kurator pameran, Rizki A. Zaelani, mengatakan bahwa Bunga memang tertarik pada kompleksitas permasalahan bentuk yang ia cermati melalui detail-detail atau potongan-potongan ruang. Pengalaman dirinya di bidang arsitektur menjadikannya lebih peka dalam menikmati dan memahami keaneka-ragaman sifat dan permukaan berbagai material: batu, semen, kaca, besi, kaleng, atau plastik. “Bunga memahami bahwa karakter medium adalah elemen penting bagi caranya mengkonstruksi idiom ekspresinya,” kata Rizki.

Karya “Transfigured Memories” (Gatra/Hidayat Adhiningrat P.)

Pameran kali ini diselenggarakan oleh Can's Gallery dan bekerja sama dengan Komunitas Salihara pada 7 Maret sampai 3 April 2024. Gedung Salihara dipilih karena bagi Bunga gedung Salihara bukanlah hasil rancangan gagasan arsitektural biasa. Ada banyak dimensi ruang: lorong, tekukan, bidang dan garis batas, tepian ruang, relung, atau bahkan karakter tekstural dinding bangunan yang terasa bernilai istimewa dan tak biasa. Bunga merespons site-spesific ini dengan melukis dan mengerjakan karya ‘lukisan besar’ atau mural yang dikerjakan di atas permukaan lantai dan dinding ruang,

Di dekat ruang teater Salihara, Bunga melukis mural di dinding dalam figur tangga dan bayangan. Tepat di hadapannya, satu mural dilukis lagi di tembok lainnya. Figur yang tampil kali ini adalah dimensi-dimensi kotak persegi dalam berbagai ukuran yang mengesankan ilusi tiga dimensi. Keduanya dilukis dalam warna monokrom. Satu karakter baru dari kekaryaan Bunga yang sebelumnya lebih sering berekspresi lewat warna-warna non primer.

Karya-karya mural itu menciptakan ‘keadaan ruang dalam ruang’. Susunan karya-karya yang dipresentasikan terasa sebagai cara Bunga menafsirkan keadaan ruang-ruang konkrit di Salihara yang dirancang oleh para arsiteknya.

Bunga Yuridespita di Salihara (Gatra/Hidayat Adhiningrat P.)

Sajian utama dari pameran “Common Sanctum” ada di dalam ruang galeri Salihara. Di dalam ruang ini Bunga kembali membuat “ruang” lain. Di sini ruang imajiner itu mewujud dalam skala gigantik, mengisi setengah luas ruang galeri. Dari tembok hingga lantai. Berdiri di satu sudut -yang sudah ditandai dan konon merupakan titik terbaik untuk menikmati karya- pengunjung bisa merasakan perasaan atas kompleksitas ruang itu.

Masih dalam warna monokrom, lukisan itu, menghasilkan visual ilusif konstruksi arsitektur yang kompleks dengan berbagai ornamen di dalamnya. Ornamen yang ada adalah karya Bunga lainnya, dalam bentuk-bentuk dwimatra namun tidak sepenuhnya datar. Ada kedalaman ruang-ruang geometrik yang menampilkan ilusi tiga dimensi. Beberapa di antaranya adalah “Spectral Solitude”, “Fast Unknown”, dan “Celestial Horizon”.

Karya-karya ini mengkonstruksi bentuk serta efek ruang dengan memanfaatkan kekuatan garis-garis geometris serta logika pertemuan antar bentuk yang bersifat presisi. Efek optis-warna itu kadang menciptakan kedalaman ruang, atau kadang tampak menonjol menciptakan bangunan ruang laiknya denah arsitektur.

Baca Juga: Continuum: Pameran Seni dengan Gagasan Keberlanjutan

Rizki A.Zaelani mengatakan, proyek pameran ini bisa dipahami sebagai upaya untuk menghidupkan kembali sensasi pengalaman ruang. Bukan saja soal menciptakan ilusi ruang tentang dan dalam proyek arsitektur, tapi juga menjadi momen menghidupkan imaji dari publik yang menikmatinya. Pemilihan “Common Sanctum” sebagai tajuk pameran merupakan suatu konteks penghayatan ruang yang sejatinya bermakna ‘sakral,’ atau istimewa bagi setiap orang dengan cara yang tak perlu sama. Perihal pemaknaan ruang saat ini juga semakin terdesak oleh masalah pengalaman hidup masyarakat kontemporer dalam logika percepatan waktu.

Gejala tersebut, menurut Rizki, banyak terjadi di lingkungan urban atau kota-kota besar. Yaitu lewat wujud ruang yang hanya disiapkan untuk kepentingan orang-orang yang akan berada di dalamnya, seperti bekerja, belanja, atau rekreasi. Akhirnya, ruang pun berubah menjadi obyek. Dan Bunga justru ingin menjadikan ruang kembali berlaku sebagai subyek.

Karya lukisan Bunga Yuridespita (Gatra/Hidayat Adhiningrat P.)

Lukisan-lukisan yang dikerjakan juga merepresentasikan karya seni rupa abstrak. Selain itu sang seniman juga tidak menunjukkan gambaran bentuk yang bercerita, atau menggambarkan simbol-simbol yang umumnya dimanfaatkan untuk menjelaskan berbagai kisah milik sang pencipta. Artinya, publik diajak untuk mencerap sendiri visual yang mereka rasakan.

Bagi Bunga, tiap keberadaan (eksistensi) selalu berarti ada dalam ruang sehingga ruang adalah medium menyatakan kompleksitas sang keberadaan, yang selalu ada dalam perubahan dengan makna-makna yang terus berkembang. Ruang semacam itu tak selayaknya jadi obyek dengan batasan kepentingan yang hanya bersifat fungsional serta praktis.

“Ihwal soal ruang adalah perkara pengalaman dan pengetahuan yang tak akan pernah akan usai, sebagaimana juga pokok tentang setiap eksistensi semu,” kata Rizki A. Zaelani.

448