Home Gaya Hidup Kertas yang Tak Hanya Ringan: Pameran “Unbearable Lightness” di ROH Galeri

Kertas yang Tak Hanya Ringan: Pameran “Unbearable Lightness” di ROH Galeri

Jakarta, Gatra.com - ROH Galeri mengadakan pameran “Unbearable Lightness” pada 27 Januari - 25 Februari 2024. Pameran ini merupakan pameran kelompok yang berkonsentrasi pada bagaimana seniman memanfaatkan kertas sebagai media untuk mengekspresikan praktik kekaryaan mereka masing-masing.

Judul pameran mengacu pada “The Unbearable Lightness of Being” karya Milan Kundera. Dalam hal ini, judul itu mengibaratkan sebuah metafora cara di mana kertas yang relatif ringan atau berat diwujudkan dalam karya para seniman. Baik itu dari segi materialitas fundamentalnya maupun landasan konseptual atau naratifnya.

Pameran diikuti oleh 17 seniman dari dalam dan luar negeri. Semua seniman -yang selama proses kekaryaannya selalu menggunakan kertas maupun medium lain- kali ini coba memfokuskan karya mereka menggunakan medium kertas.

Baca Juga: Undesigned! Ketika Sifat Mendesain Direfleksikan sebagai Pemecah Masalah

Irfan Hendrian memamerkan dua karya terbarunya di pameran ini. Karya pertama, “Dodecagon Corrugated Metal Fences”, dipasang di tengah-tengah ruang pamer. Bentuknya seperti seng bekas dengan nuansa kumuh di mana beragam poster dan kliping berita tertempel di badannya. Pada beberapa bagian terlihat bentuk karat dan gosong.

Instalasi yang tampak seperti material seng itu nyatanya terbentuk dari kumpulan kertas. Irfan coba merespons situasi kekinian menjelang pemilihan umum 2024. Poster-poster lusuh yang terpasang di badan seng adalah poster kampanye calon presiden dan wakil presiden saat ini. Adapun kliping berita yang terpasang merupakan kumpulan kliping arsip pemberitaan di media cetak berkaitan dengan pemilu 2024.

Karya Dodecagon Corrugated Metal Fences oleh Irfan Hendrian (Gatra/Hidayat Adhiningrat P.)

Karya Irfan yang kedua makin menegaskan pesan atas wacananya di sekitaran isu kepemiluan. Pada karya berjudul “Presidential Portraits” Irfan menumpuk kertas yang terdiri dari tiga calon presiden dan wakil presiden kemudian membentuknya menjadi semacam pas foto. Figur wajah yang tampil di sana samar, seakan memperlihatkan bahwa proses pemilihan masih berjalan dan belum ada kejelasan mengenai siapa yang akan menjadi presiden dan wakil presiden nanti.

Irfan Hendrian adalah seorang seniman, pembuat grafis industri, dan desainer grafis yang terkenal dengan eksplorasi formalnya dalam abstraksi. Bekerja terutama dengan kertas, minatnya adalah pada pendekatan dan metode Bauhaus: untuk mereduksi, mengurangi, dan menyederhanakan segala sesuatu ke keadaan yang paling luhur, esensial, dan substansial.

Irfan menghargai cara berpikir dan bertindak yang efisien, logis, dan utilitarian yang tercermin langsung dalam karyanya. Dia memanfaatkan kertas sebagai bahan mentah dengan kemampuan pahatan. Ketimbang menciptakan gambar, Irfan meyakini bahwa melalui penataan visual suatu objek, akan muncul nilai estetika tertentu.

Seniman lain yang selama ini kekaryaannya selalu menggunakan material kertas adalah Aurora Arrazi. Pada pameran ini dia mengusung karya “Trikelir” dan “House of card”. Kedua karya ini memanfaatkan kertas kalkir yang dibentuk menjadi bahan dasar berbentuk persegi seperti ubin transparan.

Ubin tersebut kemudian dirakit menjadi sebentuk karya instalasi. Di dalam kertas kalkir itu Aurora menyelipkan beberapa material yang ditemukannya sepanjang pembuatan karya, mulai dari karet gelang hingga bungkus bahan pemanis.

Latar belakang akademis Aurora di bidang seni grafis telah mempengaruhi praktik seninya, terutama prinsip dan tahapan produksi. Dia bekerja dengan kertas, karena kedekatannya dengan media selama dia belajar di studio seni grafis.

Aurora Arrazi dengan karyanya di Roh Galeri (Gatra/Hidayat Adhiningrat P.)

Aurora lulus pada tahun 2020 dari studio seni grafis di Institut Teknologi Bandung. Kemudian ia melanjutkan pendidikan jenjang Magister di universitas yang sama dan berhasil menyelesaikan studinya pada tahun 2022.

Kini ia memandang benda-benda tidak lagi sekedar bentuk, melainkan melihat kembali ke masa ketika benda-benda itu dirancang, dibuat, dan dirakit sehingga menjadi suatu benda utuh yang memiliki nama dan fungsi. Imajinasinya membuatnya membedah bentuk dasar suatu benda utuh menjadi bentuk dua dimensi di atas kertas, kemudian memotong dan merakitnya hingga salinannya muncul di media baru, yaitu kertas.

Baca Juga: ART SG 2024: Penjualan Solid dan Kehadiran Rekor Pengunjung

Kertas merupakan bahan yang ringan, mudah dibentuk, dilipat, dipotong dan lain sebagainya. Warna putih pada kertas beserta sifat material kertas digunakan untuk mengaburkan sifat material aslinya, sehingga menimbulkan adanya ilusi di tengah persepsi manusia ketika mengamati wujud di depan matanya. Dalam hal ini Aurora mencari cara untuk menemukan ruang tengah antara objek sehari-hari dengan persepsi yang selama ini tertanam di kepala kita.

Kemudian ada lagi karya seniman asal Malaysia Chi Too berjudul “95”. Pada karya ini Chi Too membuat 95 pola pada kertas yang diambil dari pola perhitungan matematika sederhana (Tambah, kali, bagi) atas 4 pola garis. Setiap pola memiliki bentuk yang berbeda bergantung dengan formula matematisnya.

Chi Too di depan karyanya di Roh Galeri (Gatra/Hidayat Adhiningrat P.)

Chi Too adalah seniman multidisiplin yang praktiknya menunjukkan eksplorasi humor, sindiran, dan puisi visual yang percaya diri. Kadang-kadang sulit untuk mengatakan dengan tepat apa yang ia lakukan sebagai seorang seniman, terutama karena karya seninya menyentuh spektrum tema dan isu yang luas. Praktiknya terombang-ambing antara yang berpikiran tinggi dan yang sembrono, yang sosial dan yang personal, yang transparan dan yang esoteris.

Musik eksperimentalnya, pertunjukannya, dan proyek seni publik yang dikelola sendiri menunjukkan minat untuk terlibat dengan ruang kota dan penonton yang merupakan bagian dari pendekatan praktiknya yang beragam dan kompleks. Chi juga merupakan anggota kolektif seni The Best Art Show in the Universes yang dibubarkan.

Sejak itu, ia telah mengikuti berbagai pameran dan acara pertunjukan di Malaysia dan luar negeri. Ia bahkan menjadi fellow Nippon Foundation Asian Public Intellectuals (API) pada tahun 2011.

Selain ketiga seniman tadi, pameran Unbearable Lightness memajang karya-karya seniman lain yaitu Agung Kurniawan, Ayesha Sultana, Carmen Ceniga Prado, Davy Linggar, Eko Nugroho, Ipeh Nur, Jiieh G. Hur, Julian Abraham “Togar”, dan Luqi Lukman. Ada juga Maria Taniguchi, Reina Sugihara, Syaiful Aulia Garibaldi, Tiffany Chung, dan Wolfgang Matuschek.

Pameran ini menilik ringan-beratnya kertas yang muncul pada karya-karya di pameran—baik sifat materiilnya, maupun narasi atau konsep yang mendasarinya—melalui berbagai pendekatan yang tak lepas dari kertas sebagai medium kekaryaan. Tentang bagaimana seniman-seniman menambah bobot pada sesuatu yang begitu ringan? Di dalam dunia kertas yang ringan dan rapuh, terdapat sesuatu yang riil dan penuh kemungkinan, sebagaimana dituturkan dalam respon puisi atas pameran karya Solaia Suherman.

220