Home Hukum Sengketa Konsumen dan Toyota Terus Berlanjut, Kali Ini Soal Apa?

Sengketa Konsumen dan Toyota Terus Berlanjut, Kali Ini Soal Apa?

Jakarta, Gatra.com - Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menjadi sorotan dari Konsumen Toyota bernama Elnard Peter. Peter membuat sejumlah catatan selama berupaya mencari keadilan di PN Jakarta Selatan dalam perkara perdata No.491/Pdt.G/2023/PN JKT. SEl. Sengketa tersebut melibatkan PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia, PT. Toyota Astra Motor dan PT. Astra Internasional.

Peter mempertanyakan waktu pengunggahan Putusan tingkat pertama yang bertentangan dengan keterangan dalam Putusan itu sendiri. Bunyi putusan tersebut antara lain: "dalam rapat musyawarah Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada hari Senin, tanggal 15 Januari 2024 oleh kami R. Ari Muladi, SH. sebagai Hakim Ketua, Rika Mona Pandegirot, SH., MH., dan Delta Tamtama, SH., MH., masing- masing sebagai Hakim Anggota Putusan tersebut dibacakan dalam persidangan terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal 7 Februari 2024, dibantu oleh Sri Taslihiyah, SH. sebagai Panitera Pengganti pada pengadilan negeri tersebut serta telah dikirim secara elektronik melalui sistem informasi pengadilan (e-court) pada hari dan tanggal itu juga".

"Mengapa pihak PN Jakarta Selatan menggunggah Putusan tingkat pertama melalui e-court tanggal 26 Maret 2024 atau setelah 48 hari kalender sehingga bertentangan dengan keterangan dalam Putusan yang menyatakan bahwa Putusan telah dibacakan dan diunggah tanggal 7 Februari 2024?" ujar Peter kepada wartawan dalam keterangan yang diterima, Rabu (3/4/2024).

Dikatakan Peter, pihaknya melalui Kuasa Hukum mengajukan salinan Putusan tersebut pada tanggal 15 Februari 2024. Namun putusan tersebut diperoleh dari PN Jakarta Selatan tanggal 20 Februari 2024. Pihaknya pun langsung menyatakan banding setelah menerima Putusan.

Lanjut Peter, hingga tenggat akhir Inzage yang ditetapkan pada tanggal 28 Maret 2023, belum ada pemberitahuan pengiriman berkas banding ke Pengadilan Tinggi.

"Hingga hari ini tanggal 2 April 2024 statusnya belum ada keterangan Tergugat 1, Tergugat 2, dan Tergugat 3 telah melakukan Inzage melalui sistem informasi e-court," jelasnya.

Selain itu kata Peter, Surat Kuasa Tergugat 3 dalam berkas bundel B Inzage tidak menyertai Kontra Memorinya. Sementara Surat Kuasa Banding pihak Tergugat 1 dan Tergugat 2 tidak dapat diakses melalui e-court.

"Hal tersebut kini sudah menjadi catatan Pemohon Banding di dalam proses Inzage melalui system informasi pengadilan e-court," tegasnya.

Lanjut Peter, pihaknya juga tidak menemukan nama saksi ahli otomotif Dr. -Ing. Mohammad Adhitya, S.T., M.Sc., dalam SIPP PN. Jakarta Selatan. Semestinya profil yang bersangkutan melekat bersama saksi-saksi lainnya untuk menjadi arsip serta untuk diketahui publik menunjuk keterangannya dalam memenuhi hukum acara gugatan perdata umum sebagai bukti pihak Tergugat.

Catatan-catatan tersebut kata Peter sudah menjadi bagian dari perjalanan perkaranya tentunya sebagai implementasi Nawa Cita PN Jakarta Selatan dibawah kepemimpinan Saut Maruli Tua, SH., MH.

"Salah satu agenda Nawa Cita Presiden RI adalah menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya yang semestinya menyentuh hingga Badan Peradilan Umum sebagai sarana pelayanan publik bagi masyarakat saat berupaya mencari keadilan," tukasnya.

Sebelumnya, Pakar hukum perlindungan konsumen dari Universitas Indonesia (UI), Inosentius Samsul menegaskan, pengadilan dalam mengadili suatu perkara sejatinya mempertimbangkan nilai benda atau obyek sengketa yang disesuaikan dengan nilai keenomisannya. Bahkan objek sengketa tersebut dapat dikaitkan dengan nilai perkara yang terdampak oleh inflasi.

"Keterlambatan dalam memberikan versifikasi kontra memori banding dalam kasus gugatan banding konsumen yang telah melewati batas waktunya merupakan suatu bentuk ketidakadilan," ujar Inosentius kepada wartawan dalam keterangan yang diterima, Rabu (27/3/2024).

Inosentius juga menegaskan, pengadilan yang menunda pekerjaannya menandakan bahwa hukum telah kehilangan wibawanya. "Maxim Justice delay is justice denied (keadilan yang tertunda adalah keadilan yang ditolak). Oleh karena itu kondisi tersebut menambah daftar praktek ketidakadilan dalam sistem penegakan hukum kita. Hukum pun akan kehilangan wibawa," tegasnya.

863

KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR