Home Ekonomi Biotara, Pupuk Hayati Lahan Pertanian di Rawa

Biotara, Pupuk Hayati Lahan Pertanian di Rawa

Jakarta, Gatra.com - Peneliti dari Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa, Mukhlis, mengatakan, pemberian bahan organik merupakan strategi penting dalam pembenah tanah lahan rawa yang digunakan sebagai lahan pertanian. Pupuk hayati Biotara yang dibuat Balitbangtan sangat baik untuk lahan rawa.

Mukhlis dalam keterangan tertulis, Minggu (14/7), mengatakan, bahan organik menjadi penyangga biologi yang berperan memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah sehingga tanah dapat menyediakan hara dalam jumlah berimbang.

Agar tujuan itu tercapai, lanjut Mukhlis, bahan organik yang diberikan harus sudah terdekomposisi atau memiliki C/N rasio rendah. Bahan organik segar yang langsung diberikan ke dalam tanah dapat merugikan pertumbuhan tanaman karena terjadi proses immobilisasi nitrogen dan terlepasnya senyawa beracun yang mengganggu tanaman.

Lebih lanjut Mukhlis mengatakan, petani di lahan rawa umumnya menggunakan jerami atau sisa tanaman gulma sebagai bahan organik. Sayang, bahan tersebut mengandung selulosa yang tinggi dengan C/N ratio yang tinggi. Karena itu mereka membutuhkan proses dekomposisi yang lama.

Selama ini, petani menggunakan jerami sebagai pupuk organik dengan 2 cara. Pertama, secara langsung yaitu saat panen jerami langsung disebar ke petakan sawah, lalu air dimasukkan hingga tergenang. Jerami mengalami dekomposisi di lahan. Kedua, cara tak langsung. Jerami dikomposkan dulu lalu disebar ke lahan.

Pemanfaatan langsung sangat menguntungkan untuk menghemat biaya dan tenaga kerja, tapi jerami baru terdekomposisi lebih satu bulan. Badan Litbang Pertanian berhasil menemukan inovasi dan teknologi pupuk hayati Biotara yang mengandung mikroba dekomposer Trichoderma Sp khas rawa. Setelah jerami disebar ke petakan, Biotara disebar sehingga perombakan lebih cepat. Biotara juga tetap efektif di lahan rawa yang masam dan tergenang karena diseleksi dari mikroba unggul di lahan rawa.

Petani dapat memetik keuntungan lain karena Trichoderma dalam Biotara berperan sebagai pengendali penyakit tular tanah (soil borne disease). Biotara juga diperkaya mikroba pelarut-P Bacillus sp, dan penambat N Azospirillium sp yang hidup di lahan rawa. Maka, seperti pupuk hayati lain Biotara dapat meningkatkan kesuburan tanah, menghemat pupuk, meningkatkan hasil, dan mengurangi pencemaran lingkungan.

Ketiga mikroba dalam Biotara itu, berdasarkan penelitian Badan Litbang Pertanian dapat meningkatkan efisiensi pemupukan nitrogen dan posfor sampai 30% serta meningkatkan hasil padi di lahan rawa sampai 20%. Jadi, dengan teknologi pupuk hayati—Biotara—bukan mustahil menyulap lahan rawa menjadi lahan padi produktif dengan hasil 6-7 ton per ha.

Hal tersebut diakui oleh Ubed, petani rawa pasang surut di Desa Sido Mulyo, Kecamatan Anggana, Kabupaten Kutai Kertanegara (Kaltim), dengan menggunakan Biotara memperoleh hasil 6,8 ton gabah kering giling (GKG) per ha dibandingkan sebelumnya hanya memperoleh rata-rata 5-6 ton GKG per ha. Keuntungan lain, dapat menghemat penggunaan pupuk kimia, hanya 2/3 dari dosis rekomendasi.

Mukhlis menjelaskan latar belakang lahan rawa. Menurutnya, lahan rawa merupakan lahan marginal yang memiliki potensi sangat besar untuk dikelola menjadi areal pertanian termasuk pertanian tanaman pangan.

Potensi lahan rawa memang sangat luas sekitar 34,12 juta ha tersebar di tiga pulau besar yakni Kalimantan, Sumatera, dan Papua. Namun di antaranya baru sekitar 2,27 juta ha yang dibuka pemerintah secara terintegrasi dengan program transmigrasi dan 3,00 juta ha dibuka oleh masyarakat setempat secara swadaya. Pembukaan lahan rawa di atas umumnya untuk budidaya padi.

Menurut Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian (BBSDLP, 2015) luas lahan rawa yang potensial untuk tanaman pangan (padi sawah) mencapai 14,18 juta ha. Diperkirakan baru sekitar 6,0-6,5 juta ha yang telah dimanfaatkan dan hanya sekitar 3,0-3,5 juta ha yang menjadi sawah atau lahan untuk padi selebihnya masih berupa semak belukar, hutan sekunder atau rawa monoton yang selalu tergenang sepanjang tahun.

Produktivitas lahan rawa sangat beragam dan sangat tergantung pada kondisi tanah, tata air, dan penerapan teknologi terutama pengelolaan lahan dan varietas tanaman. Berdasarkan tipologi lahan, produktivitas padi sawah eksisting di lahan sulfat masam potensial berkisar antara 3,2–4,0 ton GKG per ha, di lahan sulfat masam aktual berkisar 2,6–3,5 t GKG per ha, di lahan gambut berkisar antara 2,7–3,0 t GKG per ha, dan lahan salin berkisar antara 2,6–3,9 t GKG per ha.

Tentu di balik potensi luasan itu juga banyak kendala di lahan rawa. Kendala utamanya ialah kemasaman tanah—terutama di lahan rawa sulfat masam—yang tinggi. Di tanah sulfat masam ada lapisan pirit (FeS2) pada kedalaman kurang dari 50 cm.

Dalam keadaan tergenang (suasana reduksi) pirit aman bagi tanaman karena dalam kondisi stabil. Namun, begitu pirit tersingkap dan mengalami kontak dengan udara (O2), ia akan teroksidasi menjadi asam sulfat yang sangat masam (pH < 3,5). Besi dalam pirit pun berubah bentuk menjadi Fe3+ yang dapat meracuni tanaman. Apalagi produksi rata-rata padi di lahan rawa rendah, hanya 2-3 ton per ha. Itu setengah atau kurang dari angka rata-rata hasil padi nasional 6 ton per ha. Akibatnya, lahan rawa pun banyak dibiarkan telantar sebagai lahan tidur.