Home Politik Sering Kontradiktif, WALHI Tuntut Akuntabilitas dari Pernyataan-pernyataan Jokowi

Sering Kontradiktif, WALHI Tuntut Akuntabilitas dari Pernyataan-pernyataan Jokowi

Jakarta, Gatra.com - Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Nur Hidayati menilai Presiden Joko Widodo (Jokowi) kerap menyampaikan pernyataan yang kontradiktif satu sama lain dalam kesempatan yang berbeda.

Ia mencontohkan pernyataan dalam Rapat Koordinasi Nasional Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) pada 23 Juli 2019 di Istana Merdeka. Saat itu Presiden menyampaikan agar jangan sampai ada pembangunan infrastruktur di atas lokasi dengan potensi gempa. Tapi dalam kesempatan lain Jokowi menyampaikan agar menteri-menterinya tutup mata untuk mempercepat investasi.

Baca Juga: Susun Kebijakan, Walhi Minta Jokowi Adopsi Laporan IPCC

"Kewibawaan Presiden dimana? Kalau Presiden hanya meng-entertain audiens di setiap pertemuan dan tidak ada konsistensi dalam kebijakan," kata Nur dalam konferensi pers di Kantor WALHI, Jakarta, Selasa (13/8).

Inkonsistensi tersebut, tambahnya, merupakan hal yang berbahaya dalam pemerintahan. Bisa pula berakibat menteri-menterinya tidak mampu menerjemahkan apa keinginan presiden dan visinya terhadap pemerintahan yang ia jalankan.

"Tidak heran antarkementerian dan lembaga saling berantem, karena tidak ada satu keselarasan visi pemimpin negara," imbuhnya.

Baca Juga: Walhi: Tak Ada Hubungan Pemadaman Listrik dan Kualitas Udara

Ia mengajak masyarakat untuk menuntut pertanggungjawaban dan akuntabilitas atas setiap ungkapan Jokowi. Sebab menurutnya seharusnya pernyataan Presiden memiliki konsekuensi serius tidak seperti masyarakat pada umumnya. Permyataan pemimpin negara tentu memiliki konsekuensi dalam konteks kebijakan, mobilisasai anggaran, implikasi politis, hingga pengerahan sumber daya negara.

Dalam konteks yang lebih spesifik, Nur mengingatkan Jokowi yang berjanji merevisi dan mengevaluasi kebijakan yang tidak tepat dari pemerintahan sebelumnya. Namun hal itu hingga hari ini menurut WALHI belum dilakukan. Misalnya Perpres Nomor 51 Tahun 2014 yang mencabut status konservasi kawasan Teluk Benoa sehingga melanggengkan pembangunan dan investasi yang merusak kawasan konservasi.

 

202