Home Hukum Deregulasi RUU Ciptaker Akibatkan Hilanya Hak Dasar Buruh

Deregulasi RUU Ciptaker Akibatkan Hilanya Hak Dasar Buruh

Jakarta, Gatra.com - Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI, Fathimah Fildzah Izzati mengatakan, deregulasi dalam RUU Cipta Kerja berakibat pada hilangnya hak-hak dasar buruh.

Dikatakan, terdapat empat poin yang menjadi perhatian akan berdampak pada hilangnya hak-hak dasar buruh. Pertama, dalam pasal 78 Ayat (3), terdapat penghilangan upah lembur di sektor tertentu.

"Sebenarnya ini sudah ada di UU Nomor 13 Tahun 2003, artinya ini mempertahankan apa yang sudah ada. Tetapi UU Nomor 13 Tahun 2003 sendiri tidak memadai untuk mengakomodasi hak-hak dasar buruh, tapi malah dipertahankan dalam RUU Cipta Kerja ini," katanya di Jakarta, Kamis (27/2).

Bahkan, lanjut Fildzah dikhawatirkan Pasal 78 Ayat (3) ini bisa menjadi pasal karet. Sehingga, kemungkinan terburuknya, upah lembur akan hilang sama sekali.

"Kedua, penghilangan pembayaran upah saat cuti haid, hamil, melahirkan, dan beribadah. Itu ada di Pasal 93 ayat (2)," lanjutnya.

Menurutnya, Pasal 93 ini berpotensi membuat buruh wanita tidak berani mengambil hak cutinya lantaran takut tidak mendapat upah. Bahkan, hal ini berbahaya bagi kondisi kesehatan buruh wanita.

Ketiga, terkait pengurangan jumlah pesangon yang tercantum dalam Pasal 156 ayat (2). Masa kerja selama 24 tahun dalam UU 13 Tahun 2003, diubah menjadi 21 tahun. 

Penerapan pengurangan pesangon ini, disebutnya sebagai wujud nyata Labour Market Flexibility secara brutal. Bahkan, terdapat prinsip "easy hiring, easy firing" yang artinya buruh bisa dengan mudah direkrut dan dipecat.

"Selanjutnya adalah PHK sewenang-wenang, bahkan akibat kecelakaan kerja. Di dalam UU 13/2003, ada di dalam Pasal 172, pasalnya dihapus tapi dipindahkan kedalam Pasal 154A di dalam RUU Cipta Kerja," ujarnya.

Pasal 154A RUU Cipta Kerja ini berbunyi :
"Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan: 1. Pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui dua belas bulan."

Padahal, seharusnya kata Fildzah, buruh yang mengalami kecelakaan kerja mendapat ganti rugi atas apa yang dialaminya. Perlindungan dan perlakuan secara adil serta manusiawi harus diberikan pada korban kecelakaan kerja bukan malah diberhentikan dari pekerjaannya.

131

KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR