Home Politik Refly Harun: Sah Diskusikan&Wacanakan Pemberhentian Presiden

Refly Harun: Sah Diskusikan&Wacanakan Pemberhentian Presiden

Jakarta, Gatra.com - Pakar hukum tata negara Refly Harun mengatakan, mendiskusikan dan mewacanakan soal pemberhentian presiden atau impeachment bukan hal yang tabu di negeri ini karena ada aturannya.

"Kalau kita tidak boleh membicarakan tentang impeachment, ya buang saja ayat-ayat konstitusi itu, Pasal 7A yang mengatakan pemberhentian presiden, yang mengatakan syarat-syarat memberhentikan presiden," ujarnya dalam webinar bertajuk "Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitualitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Covid-19", Senin (1/6).

Menurut Refly, mendiskusikan atau mewacanakan pemberhetian presiden itu sah-sah saja karena ini juga diatur di dalam Undang-Undang Dasar 1945. "Artikel of impeachment di UUD 1945. Maka sah saja mewacanakan, mendiskusikan hal-hal yang terkait impeachmen atau pemberhentian presiden dan wakil presiden. Ada ayat-ayat konstitusinya."

Namun yang harus dibedakan, lanjut Refly, yakni antara wacana dan gerakan. Menurutnya, orang kadang-kadang langsung menghakimi sesuatu wacana dan itu merupakan wacana akademik.

"Kita harus bedakan dengan gerakan. Kalau gerakan lain lagi masalahnya. Dalam hal ini, saya harus menggarisbawahi 3 hal kalau soal gerakan," katanya.

Menurutnya, ada 3 gerakan, yakni bersifat konstitusional, inkonstitusional, ekstrakonstitusional. Dalam sejarah hidup ini, tidak basa hanya mengatakan yang inkonstitusional saja.

Gerakan yang konstitusional, misalnya, ada warga negara menginginkan presiden diberhentikan. Bukan dipecat atau dijatuhkan atau di-impeach atau dimakzulkan, tapi diberhentikan karena di dalam konstitusi memakai istilah diberhetikan.

Kemudian orang atau sekelompok orang tersebut kemudian datang ke DPR mengajukan dan menyampaikan alasan-alasannya. Lalu meminta DPR untuk menggunakan hak angket lalu hak menyatakan pendapat.

"Maka sah secara konstitusional. Jadi gerakan itu gerakan yang konstitusional. Bukan yang inkonstitusional," ujarnya.

Adapun gerakan inkonstitusional, yakni orang atau kelompok tersebut menggalang kekuatan bersenjata, memakai taktik memecah belah rakyat, disintegrasi, dan berbagai cara di luar koridor ketentuan, itu jelas merupakan tindakan makar sebagaimana diatur KUHP.

"Yang kita tidak bisa kita antisipasi adalah gerakan yang ekstrakonstitusional karena gerakan ini legitimasinya adalah post factum," ujarnya.

Ia mencontohkan, ketika Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit presiden pada tanggal 5 Juli 1959. Dekrit tersebut hari itu inkonstitusional. Namun, karena dekrit tersebut didukung, secara post factum maka kemudian menjadi gerakan ekstrakonstitusional dan kemudian menjadi tatanan baru.

"Dekrit yang membubarkan konstituante yang memberlakukan UUD 1945 kembali, yang kemudian mengubah komposisi DPR menjadi DPRGR dan MPRS menjadi tatanan hukum yang baru, legal order yang baru," katanya.

Menurutnya, begitupun yang terjadi pada tahun 1998. Saat itu, Presiden Soeharto seharusnya menjabat sampai dengan tahun 2003. Namun, gerakan mahasiswa dan berbagai elemen lainya akhirnya berhasil dan Soeharto mengundurkan diri lalu digantikan wakilya, B.J. Habibie.

"By constitution harusnya Habibie mejabat sampai 2003, atau jabatan Pak Harto. Tapi Pak Habibie dengan kesadarannya sendiri kemudian mengadakan pemilu. Setelah itu, diadakan sidang umum MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru," ujarnya.

Padahal konstitusi sebelumnya, tahun 1969 dan 2000-2002, lanjut Refly, mengatakan, wakil presiden yang menggantikan presiden sampai masa habisnya masa preden yang digantikan.

"Tapi itu tidak terjadi, [Habibie] rela turun dan digantikan Abdurrahman Wahid dalam sidang umum MPR, karena konstitusi pada waktu itu belum diubah. Itu saya katakan gerakan ekstrakonstitusional yang secara post factum diakui," ujarnya.

Menurut Refly, kalau sudah ekstrakonstitusional itu tergantung eskalasi. Eskalasi dalam politik itu soal menang dan kalah. Demikian juga pengamanan negara, kalau yang demonstrasi itu 100-1.000 orang masih bisa diamankan. Tapi kalau yang melakukan demonstrasi sudah ratusan ribu maka pihak keamanan tidak bisa mengamankan seperti di tahun 1998.

"Jadi secara akademik, hal-hal seperti ini sah-sah saja dibicarakan karena ini adalah fakta sejarah, fakta akademik," ujarnya.

351

KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR