Home Ekonomi Didik: Mendiang Christianto Wibisono, Ekonom Suka Menulis

Didik: Mendiang Christianto Wibisono, Ekonom Suka Menulis

Jakarta, Gatra.com – Ekonom senior Indonesia, Christianto Wibisono, meninggal dunia pada Kamis (22/7). Rektor Universitas Paramadina Jakarta, Didik J Rachbini, mengeluarkan, sahabatnya ini meninggal karena Covid-19.

Ia menyampaikan, Covid-19 mengenal siapa pun. Yang sehat dan kuat, pada umumnya tahan menghadapi serbuan virus tersebut. Namun, bagi yang ketahanan tubuhnya kebetulan sedang lemah, risikonya cukup besar.

"Risiko itu kini ditanggung oleh sahabat senior saya, tokoh Angkatan 66, Christianto Wibisono (CW)," ungkap Didik dalam keterangan tertulis.

Ekonom INDEF ini mengatakan, tokoh senior ini tidak lagi mampu menghadapi pandemi, yang sekarang menjadi masalah bersama bangsa Indonesia dan bangsa-bangsa lainnya di dunia. "Satu per satu gugur, termasuk sahabat Chritianto Wibisono." 

Didik mengisahkan, ‎Christianto Wibisono adalah ahli ekonomi politik, yang sangat rajin menulis buku dan cukup kritis menuangkan tulisan berbagai artikel di media massa.

Menurutnya, dalam tulisan Sjahrir (Pakar Ekonomi, Kebijakan Ekonomi dan Ekonomi Politik, 1994), CW diakui termasuk ke dalam 25 pakar ekonomi papan atas politik pada masa Orde baru, bersama dengan ekonomi senior yang juga sudah wafat, yakni Soemitro. Djojohadikusumo, Sjahrir, Sarbini Smawinata, Suhadi Mangku Suwondo, Hadi Soesastro, Pande Raja Silalahi, Soeharsono Sagir, Rijanto, Dawam Rahardjo, Hartojo Wignyowiyoto, Nurimansjah Hasibuan, The Kian Wie, Frans Seda.

"Sedangkan pakar ekonomi lainnya yang masih sehat, antara lain Rizal Ramli, Marie Pangestu, Djisman Simanjuntak, dan lain-lain," kata Didik.

Menurutnya, ukuran kepakaran Christianto dan 25 pakar sejawat lainnya dipersempit sebagai ahli ekonomi yang rajin menulis dan menuangkan pemikiran,  khususnya di Koran Kompas

"Pada waktu itu tidak ada internet, sirkulasinya mencapai setengan juta dan dibaca oleh jutaan warga di seluruh Indonesia," katanya.

Nama CW diakui termasuk ke dalam klub 25 ekonom tersebut dan berperan sebagai analis bidang bisnis dan ekonomi politik, meskipun mendiang merupakan lulus dari Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Indonesia (UI), bukan Fakultas Ekonomi.

Pada masa Orde Baru ketika bicara politik dibatasi, lanjut Didik, CW mendirikan think tank bernama Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI). Lembaga ini tidak hanya menyediakan data-data bisnis, tetapi juga aktif menggelar seminar yang berbobot dengan uraian data-data bisnis yang kuantitatif dan analisa ekonomi politik tentang lingkungan bisnis Indonesia, yang kompleks dan bahkan terkandung misteri yang sulit ditebak.

"Pada masa Reformasi atau pasca-Orde Baru, CW tetap aktif menuangkan pemikrannya di berbagai media dan menulis buku," ungkapnya.

Pada masa era Presiden SBY, CW bersama Didik menjadi anggota Komite Ekonomi Nasional. Mereka diangkat untuk memberikan saran dan nasihat kebijakan bidang ekonomi. 

"Jadi, sepanjang hidupnya CW terus produktif dan tak kenal lelah mendedikasikan dirinya sebagai cendikiawan, pemikir, dan terus menulis buku," ungkapnya.

Dalam satu kesempatan, pada tanggal 6 February 2013, Didik mengajak CW untuk mempresentasikan hasil surveinya di depan media massa tentang popularitas tokoh yang diperkirakan menjadi presiden pada tahun 2014. 

"Di dalam presentasi tersebut saya menyebut Jokowi adalah presiden yang akan datang berdasarkan hasil survei lembaga baru yang saya dirikan, Pusat Data Bersatu (PBD)," katanya. 

Karena tiba-tiba ada hasil survei tersebut, Didik dan CW banyak mendiskusikan hal tersebut dan aspek politik lainnya.

Didik mengungkapkan, bulan yang lalu, CW masih terus berkomunikasi dengannya dan bahkan mengirim buku yang ditulisannya cukup tebal, yakni 362 halaman berjudul “Kencan Dinasti Menteng”. 

"Buku ini sangat menarik karena menceritakan penguasa negeri ini sesungguhnya bergulir dari elit ke elit yang umumnya para presiden dan menteri tinggal di wilayah trategis dan mahal, yakni kawasan Menteng," kata Didik. 

Menurutnya, kawasan tersebut merupakan metafora dan mungkin sindiran juga tentang elitisme politik di negeri ini, suatu gambaran perlunya pemimpin lebih merakyat. 

"Sampai beliau wafat, saya tidak pernah mendiskusikan buku ini, kecuali di beberapa bagian pemikirannya di group WA anggota KEN masa SBY (2009-2014) dimana kita berdua ada di situ," katanya.

292