Home Politik Pahlawan Demokrasi dari Sleman: Kerja Berat, Honor Telat, Sakit, Hingga Meninggal

Pahlawan Demokrasi dari Sleman: Kerja Berat, Honor Telat, Sakit, Hingga Meninggal

Sleman, Gatra.com - Gelaran pesta demokrasi pada 17 April lalu dikeluhkan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Selain kendala dan masalah yang dihadapi, mereka juga menjadi korban yang sakit dan meninggal setelah pemilu. Untuk itu, siapapun pemimpin yang terpilih dan ditetapkan pada 22 Mei mendatang, pemilu harus dievaluasi.

"Siapapun yang menjadi presiden bisa mengevaluasi sistem pemilu. Jangan yang seperti ini. Pemilu kemarin itu yang paling rumit selama saya menjadi petugas KPPS," kata Endarwanto, 62 tahun, ditemui di dekat kediamannya, di Pedukuhan Godean 4, RT 5 RW 8, Kelurahan Sidoagung, Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu (1/5).

Endarwanto pada 17 April lalu menjadi petugas KPPS di Tempat Pemungutan Suara (TPS) 12 Sidoagung, Godean. Pria paruh baya itu baru saja kehilangan pamannya, Mursidi, 63. Mursidi meninggal dunia karena kelelahan setelah bertugas sebagai petugas perlindungan masyarakat atau linmas di Kelurahan Sidoagung selama pemilu.

Pada Rabu (1/5) pagi, Endarwanto mengantarkan jenazah pamannya yang dikebumikan di tempat pemakaman umum setempat.  Endarwanto mengungkapkan ketika kondisi Mursidi menurun ketika bertugas.

"Pak Lek (paman) sudah tugas tiga hari sebelum pemungutan suara di kantor kelurahan. Karena harus menangani surat suara dan membagikannya ke setiap TPS," katanya.

Selepas menjalankan tugas, pada 17 April malam ia menerima pihak kelurahan yang datang ke TPS 12. Mursidi pun harus menemani orang kelurahan hingga sekitar pukul 04.00 WIB, keesokan harinya, Kamis  18 April.

"Saat itu sempat mengeluh kepada saya mengenai tugasnya dan merasa lelah. Saya bilang saja kalau dia butuh istirahat, sudah tiga hari kerja," kata Endarwanto.

Setelah pulang dari TPS 12, kondisi Mursidi semakin drop. Endarwanto, yang rumahnya bersebelahan dengan sang paman, pun sempat mengantar ke puskesmas untuk berobat.

Mursidi menjalani rawat jalan dan menerima obat, tapi kondisinya tak pulih. Setelah itu, ia berobat ke Rumah Sakit Latifa di Kecamatan Gamping, Sleman, lalu  dirujuk ke RSUP Dr Sardjito Yogyakarta.

"Opname selama dua hari di RSUP Dr Sardjito. Setelah itu meninggal di rumah sakit sekitar pukul 13.10 WIB, Selasa (30/4) kemarin," kata Endarwanto.

Selain kerja yang berat, Endarwanto juga mengeluhkan masalah honor yang sempat terlambat beberapa hari.

"Saya juga sempat hampir pingsan saat bertugas kemarin. Tenaga dan pikiran terforsir karena harus hati-hati saat bertugas. Honornya pun boleh dikatakan diutang," ucapnya.

Setelah menuntut ke KPU, honor sebesar Rp500 ribu, belum dipotong pajak, akhirnya memang diterima.  "Saya kemarin ikut demo di kantor KPU Sleman," cetusnya.

Anak pertama Mursidi, Sulistyoko, 28, mengatakan, memang ayahnya menjadi pahlawan demokrasi. Namun ia berharap ada perhatian pemerintah setelah  peristiwa ini. "Santunan saat ini belum diterima," katanya.

Ketua KPU Kabupaten Sleman Trapsi Haryadi menyebut, sampai Rabu (1/5) ini setidaknya ada lima nyawa melayang, baik dari petugas KPPS maupun Linmas. "Untuk yang sakit, ada 13 orang," ucapnya.

Reporter: Ridho Hidayat

702