Home Milenial Anggaran Jumbo, Tapi Kualitas Pendidikan Masih Rendah

Anggaran Jumbo, Tapi Kualitas Pendidikan Masih Rendah

Jakarta, Gatra.com - Dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional tahun 2019, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) punya beberapa catatan kritis terkait kualitas pendidikan. Wasekjen FSGI, Satriwan Salim merinci masalah pertama adalah kenaikan anggaran pendidikan tiap tahun belum berdampak pada hasil jangka panjang, misalnya angka partisipasi sekolah, tingkat literasi nasional, capaian belajar siswa, tingkat kompetensi guru dan akses serta ketersediaan infrastruktur pendidikan.

“Artinya dengan anggaran sebesar itu, belum berdampak signifikan terhadap pemenuhan 8 standar nasional pendidikan (SNP),” kata Satriawan dalam keterangan resminya, Kamis (2/5).

Untuk 2019, pemerintah menganggarkan Rp492,5 triliun dari alokasi APBN untuk pendidikan.

Kedua, anggaran besar tak berdampak pada pemenuhan standar sarana-prasarana. Ini terbukti dengan adanya permasalahan seputar pelaksanaan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK). Ada masalah klasik kekurangan komputer di mana-mana.

Belum lagi kendala ketersediaan listrik dan jaringan internet. Soal besaran honor proktor atau teknisi UNBK yang di bawah ketentuan dana BOS juga jadi sorotan.

“Kemdikbud tampaknya terlalu ambisius menargetkan pelaksanaan UNBK 100%, mestinya ini dulu yang dibenahi,” paparnya.

Ketiga, kompetensi guru. Hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) 2017 menunjukan rata-rata nilai nasional adalah 66 dari skala 100. FGSI menilai performa ini sangat memprihatinkan.

Selain kompetensi rendah, guru juga minim perlindungan dalam melaksanakan tugas profesi. Selama 2018-2019 banyak kasus kekerasan atau hal tak pantas lainnya terhadap profesi guru oleh oknum siswa atau orangtua. Padahal, pemerintah sudah membuat Permendikbud No10 Tahun 2017 tentang Perlindungan bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan.

“Tapi regulasi ini hanya jadi macan kertas. Sangat minim sosialisasi apalagi implementasi. Jadi guru masih merasa tidak aman dalam melaksanakan tugas profesinya,” kata Satriawan.

Keempat, FSGI mendesak pemerintah pusat dan daerah menyelenggarakan dan menguatkan program Sekolah Ramah Anak (SRA). Berdasarkan data dari KPAI (2019) diketahui bahwa dari 4.629 sekolah negeri dan swasta di Jakarta, hanya 315 sekolah atau 6,8% yang masuk kategori ramah anak.

Artinya, sekitar 93,2% sekolah lainnya di berbagai jenjang, belum ramah anak. Angka ini berkorelasi dengan tingkat kekerasan terhadap anak, khususnya dalam dunia pendidikan.

“Jika kondisi ini tidak segera diperbaiki, maka sekolah yang semestinya menjadi tempat aman bagi tumbuh kembang anak, dikhawatirkan justru berdampak negatif terhadap perkembangan psikologi anak,” ujarnya.

Kelima, mulai UNBK tahun 2018-2019, Kemendikbud mendesain soal ujian Higher Order Thinking Skills (HOTS). Soal HOTS menjadi momok menakutkan bagi siswa. Sejak tahun lalu, FSGI melihat belum ada perbaikan signifikan dalam pelatihan bagi guru, khususnya dalam menyiapkan pembelajaran berbasis HOTS di kelas.

Terakhir, rencana penerapan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) berdasarkan zonasi pada 2019/2020 nanti, harus diimbagi dengan informasi dan sosialisasi yang utuh menyeluruh kepada orang tua dan sekolah. Sebab, FSGI menerima laporan banyaknya penyimpangan pelaksanaan Zonasi PPDB 2018 lalu.

Menurutnya, tujuan zonasi PPDB untuk pemerataan dan keadilan pendidikan harus ditunjang dengan pendataan calon peserta didik yang baik, koordinasi pusat dan daerah, serta ketersediaan rombongan belajar di wilayah padat populasi.

“Waktu yang tinggal sekitar 1-2 bulan ini harus disiapkan pemerintah untuk menyempurnakan kekurangan 2018 lalu, agar sistem Zonasi PPDB ini tidak berdampak sebaliknya, terjadinya ketidakadilan dalam pendidikan,” pungkasnya.