Home Politik Kuasa Hukum Sofyan Basir Sayangkan Penahanan Kliennya

Kuasa Hukum Sofyan Basir Sayangkan Penahanan Kliennya

Jakarta, Gatra.com - Kuasa Hukum, Direktur Utama Nonaktif PT PLN, Sofyan Basir, Soesilo Aribowo menyayangkan penahanan kliennya pada bulan puasa. Ia mengatakan, seharusnya Sofyan ditahan setelah Lebaran 2019 ini.

"Sebenarnya sangat disayangkan terjadi penahanan terhadap klien saya di bulan puasa seperti ini, sebenarnya kami ingin nanti setelah lebaran," ujar Soesilo usai menemani pemeriksaan kliennya di Gedung KPK, Senin malam (27/5).

Seperti diketahui Sofyan akhirnya resmi menjadi tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin (27/5). Ia ditahan usai menjalani pemeriksaan keduanya setelah menyandang status tersangka. Sofyan sendiri merupakan tersangka ke-4 yang menjadi pesakitan Lembaga Antirasuah dalam kasus kesepakatan kontrak (PLTU) Riau-1.

Lebih lanjut Soesilo mengatakan, dalam pemeriksaan Senin, penyidik menanyakan Sofyan sebanyak empat pertanyaan. Terutama terkait pertemuan Sofyan Basir dengan sejumlah pihak dalam kasus suap kesepakatan kontrak proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU) Riau 1.

"(Ditanya) soal sembilan kali pertemuan dengan Eni dan Johannes Kotjo termasuk dengan Pak Setnov dan Pak Idrus Marham," tambah Soesilo.

Kemudian Soesilo juga menjelaskan, kliennya dicecar soal pembahasan kontrak proyek PLTU MT Riau-1. Dalam sejumlah dokumen Soesilo membenarkan bahwa ada jejak Sofyan lewat tanda tangan selaku Dirtu PT PLN.

"Penyidik menyerahkan barang bukti berupa kontrak itu, dan apa benar ini tanda tangan Pak Sofyan. Udah itu saja dan ya memang benar tanda tangannya Pak Sofyan," katanya.

Jika menelisik dari persidangan yang sudah inkrah dari mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih dan pemegang saham Blackgold Natural Recourses Limited, Johanes Budisutrisno Kotjo, bisa disisir keterlibatan Sofyan.

Nama Sofyan sudah dicatut terlibat sejak Oktober 2015. KPK mengatakan Direktur PT Samantaka Batubara, Rudi Herlambang mengirimkan surat kepada PLN untuk memasukan proyek itu ke dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) .PT Samantaka merupakan anak usaha Blackgold Natural Recourses Limited.

Namun respon positif tidak kunjung diterima, akhirnya pemegang saham Blackgold Natural Resources, Ltd Johanes Budisutrisno Kotjo mencari jalan lain. Kotjo mencari bantuan lewat Setya Novanto. Kemudian Novanto memperkenalkan Kotjo dengan mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih. Eni pun diminta untuk mengawal proyek pembangunan PLTU  Riau-1 itu.

Kemudian diduga telah terjadi beberapa kali pertemuan yang dihadiri sebagian atau seluruh pihak, baik pertemuan Sofyan Basir dengan Eni Maulani Saragih, maupun bersama-sama dengan Johanes Budisutrisno Kotjo membahas proyek PLTU.

Kala itu pada 2016 Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan belum terbit. Beleid yang menugaskan PT PLN (Persero) menyelenggarakan Pembangunan Infrastruktur Kelistrikan (PIK). Sementara KPK menduga Sofyan telah menunjuk PT Samantaka untuk mengerjakan proyek di PLTU Riau-1.

Kotjo pun menggandeng investor yang bersedia menggarap proyek ini. Yakni perusahaan asal Cina, Cina Huadian Engineering Corporation Ltd (CHEC). Kotjo melakukan kesepakatan fee 2,5% atau $US 25 juta jika dapat proyek PLTU Riau-1 ini.

Hingga juni 2018 KPK mengidentifikasi sejumlah pertemuan, baik yang dihadiri oleh seluruh yang terlibat maupun sebagian. Namun menurut KPK orang yang terlibat dalam pertemuan itu antara lain, Sofyan Basir, Eni Saragih, Johannes Kotjo dan beberapa pihak lain.

Dari sejumlah pertemuan itu dibahas penunjukan Kotjo sebagai penggarap proyek oleh Sofyan. Bahkan Sofyan meminta  Direktur Pengadaan Strategis 2 PT PLN, Supangkat Iwan Santoso untuk berhubungan dengan Eni dan Kotjo. Selain itu juga dibahas kontrak antara CHEC dengan perusahaan konsorsium.

Lewat pertemuan itu KPK mengidentifikasi bahwa Sofyan Basir dijanjikan akan mendapatkan bagian yang sama besar dari jatah Eni M Saragih dan Idrus Marham.

 

264