Home Milenial Film Ghosh Fleet Ungkap Fakta Perdagangan Orang di Industri

Film Ghosh Fleet Ungkap Fakta Perdagangan Orang di Industri

Jakarta, Gatra.com - Seorang aktivis buruh di Thailand bernama Patima Tungpuchayakul mempertaruhkan hidupnya untuk membantu nelayan yang diperbudak di pulau terpencil Indonesia, Benjina, Maluku. Patima melakukan misi perjalanan ribuan kilometer ke perairan Indonesia untuk menemukan sekelompok pria yang mengalami perbudakan selama bertahun-tahun di perusahaan perikanan.

Patima memulai perjalanannya dengan mengetuk pintu rumah masyarakat yang bermukim di pulau terpelosok itu untuk menemukan bongkahan informasi tentang korban perbudakan. Tak jarang ia menemukan kisah dan kesaksian yang mengerikan dari para penyintas, bahkan cerita pilu yang meluluhkan pandangan.

Sekelumit kisah perjuangan Patima menjadi plot tersendiri dalam film dokumenter berjudul Ghost Fleet. Film yang berarti “Armada Hantu” itu mengisahkan bagaimana hantu perbudakan merongrong keselamatan korban, mengecam hidup mereka, dan memenjaranya dalam ekosistem tertutup. Banyak yang tidak menyangka hantu perbudakan itu berasal dari egoisme kapital dari industri yang “memukul” korban sebagai mesin pencetak uang.

Setidaknya hal itu tergambar dalam cuplikan Ghost Fleet yang ditayangkan oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) di my America, Jakarta pada Rabu (7/8). Film dokumenter berdurasi 1 jam 30 menit itu menjadi magnet tersendiri bagi penonton karena mengambil kisah nyata perdagangan orang. Film memplot latar bagaimana jaringan penyelundup memperdaya pekerja migran Asia Tenggara dalam kehidupan kerja paksa di laut untuk memenuhi permintaan industri makanan.

Film yang disutradarai oleh Shannon Service dan Jeffrey Waldron itu sebelumnya dirilis secara resmi di Amerika Serikat pada 7 Juni 2019 lalu. Patima Tungpuchayakul dan Tun Lin didapuk sebagai pemeran dalam film dokumenter heroik tersebut. Seperti layaknya film dokumenter, Ghost Fleet dipenuhi dengan petikan wawancara yang “hidup”, napak tilas perjalanan para korban saat ia dijual, dipekerjakan hingga berhasil melarikan diri.

Patima dengan keberaniannya berhasil menyelamatkan ribuan orang korban perbudakan di industri perikanan Thailand. Negeri gajah putih itu sendiri diketahui sebagai eksportir ikan tuna terbesar di dunia yang salahsatunya dipasok ke AS.

Wartawan senior Erwin Purba mengapresiasi kehadiran film dokumenter karya jurnalisme investigasi tersebut. Ia mengatakan penyajian film tersebut mampu membuka “kotak pandora” sekaligus mengungkap fakta-fakta sosial yang selama ini tersembunyi dalam kasus perdagangan orang.

“Film ini membuktikan bahwa jurnalisme adalah media pembelajaran bagi kita, terutama kita di Indonesia yang selama ini dianggap sebagai negara yang banyak mengalami masalah trafficking dimana banyak orang Indonesia dipekerjakan dalam industri perikanan, industri kelapa sawit dan lainnya,” ujar Erwin.

Ia menyebutkan teknik jurnalistik yang dilakukan sutradara film sudah mendekati “sempurna” karena mampu menyajikan fakta dari kejadian yang sebenarnya terjadi, apa adanya dan tanpa rekaan. “Dari perspektif jurnalis, peliputan yang dilakukan oleh Patima bersama dengan timnya ini sesuatu yang layak dipuji karena benar-benar menerapkan teknik jurnalistik, karena ia menggunakan pendekatan melingkar (humanis), pelan-pelan mendekati (sumber informasi) dan mengetuk satu per satu pintu korban sampai akhirnya ketemu,” katanya.

Meski demikian Erwin menyebutkan bukan berarti film tersebut tidak memiliki sisi lemah. Salah satu karena sutradara tidak mampu menyentuh dan menyinggung sindikat yang diduga terlibat dalam kasus tersebut. “Film ini menunjukkan kaidah jurnalistik yang bagus tapi menurut saya ini tidak menerapkan cover and both side, dalam arti ini semua adalah [perspektif] tentang korban. Padahal yang terlibat ini adalah perusahaan, pemilik kapal dari Thailand, ada pengepulnya, sayang tidak ada kavling untuk mereka”.

Untuk diketahui kasus perdagangan dan perbudakan manusia di Benjina telah menguap pada 2015 lalu. PT Pusaka Benjina Resources (PT BPR) adalah perusahaan yang sejak 2011 tercatat sebagai permodalan asing. Kasus tersebut sempat menyita perhatian publik dan masuk dalam penanganan Tim Satgas Illegal Fishing 115 yang dibentuk oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Unsur dugaan pidana dari kasus Benjina tersebut ditangani oleh subdirektorat Human Trafficking Bareskrim, Mabes Polri. Namun penanganan dari kasus tersebut juga tidak mudah karena melibatkan pekerja Thailand, sindikat dan pemilik modal asing, sehingga kasusnya dikategorikan sebagai kejahatan transnasional (transnational crime).

Programe Support Assistant dari International Organization for Migration (IOM), Shafira Ayunindya mengatakan bahwa modus operandi dari kasus perdagangan manusia saat ini mengalami perkembangan. Manusia juga dijual dan dipekerjakan untuk kebutuhan di sektor industri perikanan. Kejahatan perdagangan orang yang melibatkan industri juga membutuhkan tantangan karena melibatkan sindikat dan mafia yang besar.

IOM sebagai perwakilan lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Indonesia memiliki fokus terhadap penanganan korban perdagangan orang dengan banyak modus. “Di Indonesia, kami memberikan assist kepada lebih dari 9.000 korban perdagangan orang, dimana 2.300 di antaranya adalah fisherman atau mereka yang bekerja di industri perikanan. Mereka adalah para anak buah kapal,” ujar Shafira.

Ia juga mengatakan dalam rentang 2014-2015, IOM sudah melakukan penyelamatan dan pemindahan terhadap 1.500 ABK asing yang dipekerjakan di wilayah perairan Indonesia. “Dalam hal ini IOM membantu kepulangan. Jadi dari situasi human trafficking terdapat 633 orang yang diidentifikasi di Benjina dan menjadi korban perdagangan orang,” katanya lagi.

Sementara itu, diplomat bagian politik kedutaan AS, Fausto DeGuzman menyampaikan bahwa Amerika Serikat telah membuat laporan rutin (World Fact) dari kasus-kasus perdagangan manusia di berbagai negara. Fausto menyebutkan sektor perdagangan orang saat ini sudah menyasar industri dan kelompok manufaktur dengan melibatkan sindikat besar.

“Sektor-sektor perdagangan orang selain pada industri perikanan juga melibatkan sektor lain seperti industri pengolahan makanan, konstruksi, manufaktur elektronik, fabrikasi garmen, agrikultur, pekerjaan domestik. Bentuk-bentuknya [modus] bisa pemaksaan, penyitaan dokumen, ancaman penjara atau deportasi, ancaman kekerasan terhadap korban dan keluarga, juga kendali atas gaji”.

Ia mengatakan upaya melawan perdagangan orang sudah tercantum dalam Protokol Palermo (2000). Bahkan Amerika Serikat sendiri telah mengatur penanganan perdagangan orang lewat Undang-Undang Perlindungan Korban Perdagangan Orang atau TVPA (Trafficking Victims Protection Act). “Dalam kasus perdagangan ada tiga hal yang penting sekali yakni penuntutan, perlindungan, pencegahan, dan apalagi itu memberikan akses kepada korban untuk mendapatkan pelayanan dan imigrasi,” ujar Fausto.

1002