Home Ekonomi Nasib Rupiah Di Era Jokowinomics Jilid II

Nasib Rupiah Di Era Jokowinomics Jilid II

Jakarta, GATRAreview.com - Ancaman resesi ekonomi global membuat was-was banyak negara, termasuk Indonesia. Apalagi, Dana Moneter Internasional (IMF) menyebut bahwa kondisi ekonomi global sedang tidak menentu. Bahkan dalam outlook yang dirilis Juli lalu, IMF mengoreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini dari semula 3,3% menjadi 3,2%. Pemicunya, perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China yang masih terus berlanjut dan ancaman buntunya kesepakatan antara Pemerintah Inggris dengan Uni Eropa terkait Brexit.

 

 

Banjir Aliran Modal Asing

 

 

Di tengah lesunya kondisi moneter global, aliran modal asing ke Indonesia (capital inflow) justru meningkat. Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, melaporkan bahwa arus modal asing yang masuk ke pasar modal Indonesia sepanjang tahun ini hingga akhir Agustus mencapai Rp180 triliun. Modal asing tersebut terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp118,9 triliun dan porfolio saham senilai Rp60.8 triliun. “Ini menunjukkan kepercayaan investor terhadap Indonesia semakin baik," ujar Perry kepada Devi Anggraini dari GATRA REVIEW di Gedung BI, Jakarta, penghujung Agustus lalu..

 

 

Meningkatnya aliran modal asing tentunya memberikan dampak positif bagi pergerakan nilai tukar rupiah. Walaupun saat ini sedang terjadi ketidakpastian ekonomi global, nilai tukar rupiah masih terjaga. "Alhamdillah, nilai tukar kita bergerak stabil. Meskipun, untuk jangka pendeknya [nilai tukar rupiah] masih naik dan turun. Namun, yang terpenting adalah mekanisme pasar kita masih berlangsung guna mendukung stabilitasnya," ujar Perry.

 

Stamina Rupiah Tetap Fit

 

Meskipun pergerakan nilai tukar mata uang rupiah masih relatif stabil, Perry menegaskan bahwa BI akan terus berada di pasar guna menjaga stabilitas dan imbal hasil dalam pasar keuangan. BI berrharap mekanisme pasar terkait supply dan demand tetap terjaga untuk mendukung stabilitas nilai tukar rupiah. “Yang jelas, BI selalu ada di pasar untuk mendukung stabilitas nilai tukar rupiah serta imbal hasil aset keuangan domestik yang terus terpelihara, “ tukasnya.

 

Tak mudah memang menjadi Gubernur BI yang harus menjaga stamina rupiah tetap fit. Apalagi dalam kondisi ekonomi yang sedang tidak menentu. Kebijakan moneter, dalam hal ini suku bunga acuan BI, memang terkait erat dengan pertumbuhan ekonomi nasional. Suku bunga acuan yang tinggi akan membuat perbankan mematok bunga pinjaman yang tinggi. Akibatnya pengusaha pun enggan meminjam. Rendahnya penyaluran kredit perbankan ini pada gilirannya akan menyebabkan roda perekonomian kurang tancap gas, hingga pertumbuhan pun melambat.

 

Efek negatif lain dari tingginya suku bunga kredit adalah para pengusaha akan lebih mengandalkan pinjaman perbankan asing, yang memberi bunga lebih rendah. Sekadar informasi, saat ini misalnya nilai suku bunga kredit perbankan nasional rata-rata masih berkisar 9%-10% untuk kredit korporasi atau ritel. Sedang untuk kredit mikro justru lebih tinggi lagi, berkisar 17%. Ini jauh bila dibandingkan dengan Malaysia misalnya, yang bunga kredit hanya berkisar di angka 6%.

 

Reformasi Di Sektor Riil

 

 

Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA), David Sumual, mengatakan bahwa langkah BI mengeluarkan sejumlah kebijakan monete, masih belum cukup. Ia menilai bahwa diperlukan suatu kebijakan lainnya guna mendorong pertumbuhan ekonomi, termasuk melakukan reformasi di sektor rill. "Meski sudah ada yang 16 paket kebijakan ekonomi, namun implementasinya belum optimal," ujarnya.

 

 

Mewujudkan implementasi yang optimal, kata David, diperlukan beberapa langkah. Pertama, terintegrasinya pemerintah pusat dan daerah. "Jadi, reformasi ini juga harus dibarengi dengan peran dari pemerintah daerah yang harus diikutsertakan. Karena, ketika mau merealisasikan proyek, dia [para pembisnis] akan menghadapi pemerintah daerah," ujarnya.

 

 

Kedua, mempermudah perizinan. David mengatakan bahwa perizinan untuk melakukan suatu bisnis di Indonesia masih memakan waktu yang cukup lama sehingga tak heran mereka akan pergi dan mencari opsi negara yang memiliki perizinan lebih mudah.

 

"Bayangkan aja, pembisnis harus minta izin untuk berbagai hal. Tapi, perizinannya enggak jadi-jadi. Akhirnya, mereka pilih yang lain. Jadi, peluang bisnis itu hilang," ungkapnya.

 

Ketiga, soal upah untuk karyawan. Ia menilai bahwa hal ini masih menjadi suatu permasalahan, terutama ketika harus memberikan pesangon saat ingin melakukan efisiensi karyawan karena adanya perlambatan kinerja perusahaan.

 

Editor : Sujud Dwi Pratisto

 

939