Home Ekonomi Agar Pendanaan Ibu Kota Baru Tak Tekor

Agar Pendanaan Ibu Kota Baru Tak Tekor

Jakarta, GATRAreview.com - Persiapan pindahnya ibukota negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur mulai di bahas antara Pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Untuk memindahkan ibukota tentu tak semudah membalikan telapak tangan. Butuh persiapan dan perhitungan yang matang. Khususnya terkait pembiayaan. Apalagi, di Penajam Passer Utara, dan  Kutai Kartanegara. yang akan dijadikan lokasi ibukota negara baru itu belum memiliki infrastruktur yang memadai untuk sebuah ibukota negara.

 

 

Rencananya, proses pembangunan infrastruktur di ibu kota baru bisa dilakukan mulai 2020 hingga 2024 mendatang. Sehingga, ibu kota sudah perlahan dipindahkan mulai 2024 mendatang.

 

 

Tiga Jalur Pendanaan

 

 

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, biaya untuk membangun ibukota baru, pemerintah menyiapkan tiga jalur pendanaan yang diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pertama melalui jalur pengelolaan Barang Milik Negara (BMN). Kedua, jalur belanja kementerian dan lembaga, serta ketiga adalah jalur Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik.

 

 

 

Dari hasil perhitungan pemerintah, ungkap ekonom perempuan yang akrab disapa Ani itu, perpindahan ibukota butuh dana total Rp 466 triliun. Sekitar 19,2 % atau Rp 89,4 Triliun akan dianggarkan dari APBN. Keterlibatan APBN dalam pendanaan karena perlu menyediakan barang publik atau public goods di lokasi ibukota baru.

 

“Kalau untuk sifatnya public goods keseluruhannya akan dibangun dengan APBN seperti untuk pembangunan istana negara; markas TNI POLRI, rumah dinas sangat dekat dengan public goods oleh karena itu peranan APBN menjadi sangat vital," kata Ani pada saat rapat Panitia Pansus Ibukota Baru, di Komplek DPR, Senayan Jakarta, Rabu malam (26/9). 

 

Porsi APBN

 

Adapun, kata Ani, porsi APBN berperan penting dalam konteks pengelolaan aset Barang Milik Negara (BMN) dan pengelolaan aset yang membutuhkan waktu. Sehingga, akselerasi dari tahap awal pembangunan Ibukota baru yang berpotensi menggunakan rupiah murni dari APBN. 

 

"Oleh karena itu dalam konteks APBN harus menghitung alokasi terhadap dana tersebut dalam setiap perencanaan APBN kedepan jadi dampak fiskalnya dan trade offnya terhadap prioritas pembangunan yang lain akan terlihat di APBN selanjutnya," pungkasnya.

 

Porsi Swasta

 

Selain bersumber dari APBN, pendanaan juga diperoleh dari swasta sebesar Rp123,2 triliun atau 26,4 %. "Sumber dari swasta tentu diharapkan mereka memiliki appetite karena ada ruang untuk mereka berpartisipasi yang pasti secara keuangan menguntungkan bagi mereka terutama perumahan, pembangunan Universitas, sarana kesehatan dan pusat belanja," kata Ani.

 

Oleh sebab itu, Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini meyakini, peranan swasta akan bisa ditingkatkan dari berbagai fasilitas tersebut. "Kami akan menyampaikan simulasi dampak fiskal dari skema pembiayaan tersebut dari APBN 89.4T tentunya tidak selalu dalam bentuk cash money dan bisa dalam bentuk pengelolaan barang negara yang berasal dari ibukota lama yang kemudian bisa dimanfaatkan dan dialihkan," ia menjelaskan. 

 

Porsi KPBU

 

Selanjutanya ada pendanaan yang berasal dari Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU), sebesar Rp253,4 triliun atau 54,4 %. Dana tersebut disimulasikan dengan penggunaan affordability payment sebesar Rp190 triliun, viability gap fund mencakup Rp 50 triliun, project drvelopment facility sebesar Rp2,5 triliun dan penjaminan senilai Rp10,1 triliun.

 

"Dan untuk swasta asumsinya pada awal perlu untuk diantisipasi minatnya dengan probability resikonya kira-kira mencapai 30 persen. Ini kita melakukan simulasi internal mengenai itu," ujarnya. 

 

Dalam strategi simulasi fiskal ini, kata Ani, diasumsikan bahwa barang milik negara dapat diexchange atau diutilize menggunakan baik pengelolaan dan skema pindah balik nama berjalan optimal. Skema KPBU kita dapat di scale up secara masif karena terus terang Rp2,5 tirliun.

 

“Mungkin tidak terlalu besar tapi kalau bicara affordability payment Rp190 triliun itu Immediately akan menciptakan contingent dari resiko di masa yang akan datang tergantung dari bagaimana skema affordability payment tersebut," ia memaparkan. 

 

Tentunya, lanjut Ani,  dari masing-masing ini  nantinya akan dilihat stage progress pembangunannya antara tahun dari 2020 ke 2024. "Kita perlu mendorong daya saing peranan swasta, BUMN supaya lebih optimal mengambil peranan dan tugas tanggung jawab tersebut," pungkasnya.

 

Editor : Sujud Dwi Pratisto

 

 

 

 

 

 

558