Home Ekonomi Era 4.0, Era Ekonomi Kreatif Digital

Era 4.0, Era Ekonomi Kreatif Digital

Palapa Ring dan Satelit Satria menjadi tulang Punggung industri kreatif digital. Butuh terobosan agar mampu berkontribusi lebih maksimal.

Jakarta, GATRAreview.com - cita-cita Indonesia menjadi negara dengan ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara pada 2020 mungkin agak ambisius. Tapi, peluang itu tetap terbuka lebar. Apalagi, pemerintah menggagas hadirnya ’’tol langit’’ yang direpresentasikan melalui proyek Palapa Ring.

Palapa Ring menghubungkan seluruh wilayah di Nusantara melalui jaringan kabel serat optik sepanjang lebih dari 22.000 kilometer, di darat maupun di dasar laut. Program ini menyasar wilayah yang tergolong daerah terpencil, memiliki kontur geografis yang sulit, serta potensi penggunanya relatif kecil. Terutama untuk kawasan terdepan, terluar, dan tertinggal (3T). Tujuannya, mengakselerasi pertumbuhan dan pemerataan pembangunan nasional. Juga membangun infrastruktur industri ekonomi kreatif digital, yakni industri ekonomi berbasis digital.

Melalui Palapa Ring, diharapkan lahir kontribusi nyata bagi perkembangan ekonomi Indonesia dalam bentuk industri ekonomi kreatif digital. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menargetkan, sampai 2020 akan tumbuh 1.000 gerakan startup, lalu 1 juta petani dan nelayan go digital serta 8 juta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang go digital.

Namun, Palapa Ring ternyata belum mampu menembus sejumlah daerah terpencil. Masih ada titik yang belum bisa dijangkau dengan teknologi terestrial seperti serat optik Palapa Ring. Titik-titik itu -90.000 titik di antaranya adalah bangunan sekolah--belum tersentuh internet secara optimal. Selama ini, operator telekomunikasi swasta enggan masuk ke sektor itu karena dinilai tidak ekonomis.

Di sisi lain, wilayah yang sulit ditembus jaringan serat optik Palapa Ring ini sangat terpencil, bahkan beberapa terletak di puncak pegunungan. Tipikal zona seperti ini hanya bisa dilayani melalui teknologi satelit. Untuk itu, Badan Aksesibilitas Telekomunikasi Informasi (Bakti), unit organisasi di bawah Kominfo, mempersiapkan pembuatan satelit multifungsi (SMF) bernama Satria.

Nama Satria merupakan akronim dari Satelit Indonesia Raya. Satelit ini berjenis high throughput satellite (HTS), teknologi satelit terbaru dan tercanggih saat ini. Memiliki kapasitas 150 gigabytes per second (Gbps), Satria dirancang untuk mempercepat koneksi internet dan melayani kawasan yang belum terjangkau layanan broadband.

Hadirnya infrastruktur penunjang industri ekonomi kreatif digital diibaratkan jalan tol bagi pertumbuhan industri kreatif. Subsektor industri ekonomi kreatif digital yang memang cukup potensial di Indonesia layaknya industri feshyen, kuliner, dan kriya diprediksi akan cepat tumbuh dengan platform digital. Ekonomi kreatif, dengan potensi pasar yang besar akan menjadi fondasi Indonesia menuju ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara.

Menopang PDB

Industri ekonomi kreatif digital layak mendapat apresiasi. Data Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian) mencatat, kontribusi industri ekonomi kreatif, termasuk industri ekonomi kreatif digital, terhadap produk domestik bruto (PDB) terus meningkat setiap tahun. Pada 2016, industri ekonomi kreatif menyumbangkan Rp922,59 triliun atau 7,44% dari total PDB nasional. Berikutnya, pada 2017, naik menjadi Rp1.009 triliun atau 7,57% dari total PDB nasional.

Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) menargetkan, pada akhir 2019 kontribusi industri ekonomi kreatif akan mampu menembus nominal Rp1.200 triliun. Nilai itu lebih tinggi dibandingkan dengan realisasi pada 2018 lalu, yang hanya mencapai Rp1.105 triliun. Sementara itu, laporan e-Conomy SEA 2019 yang disusun Google, Temasek, dan Bain & Company menunjukkan bahwa pertumbuhan perekonomian digital Indonesia diprediksi menjadi paling cepat dan yang terdepan di Asia Tenggara.

Laporan berjudul ’’Swipe Up and To the Right: Southeast Asia’s $100 Billion Internet Economy’’, yang dirilis pada Oktober lalu, itu menyebutkan bahwa nilai barang dagangan bruto (gross merchandize value -GMV) ekonomi digital Indonesia tahun ini mendekati US$40 miliar dan berpotensi mencapai US$133 miliar pada 2025. Nilai itu melampaui prediksi tahun lalu yang sebesar lebih dari 30%. Pertumbuhan ekonomi digital itu mencakup lima sektor, di antaranya e-commerce, media daring (online), transportasi berbasis aplikasi daring, wisata dan perjalanan, serta jasa keuangan digital.

Wilayah Jakarta Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) diperkirakan menjadi pendorong utama pertumbuhan industri ekonomi kreatif digital di Indonesia. Pengguna yang tinggal di area itu, menurut laporan, membelanjakan uang senilai US$555 per kapita dibandingkan dengan area non-Jabodetabek yang hanya US$103 per kapita.

Untuk melompat lebih jauh, tentu butuh terobosan agar kontribusi industri ekonomi kreatif digital terhadap perekonomian dan kesempatan kerja ke depan. Berdasar data hasil kolaborasi antara Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bekraf pada 2017, ada beberapa kendala yang ditemukan. Di antaranya, 92,37% kegiatan industri ekonomi kreatif dijalankan dengan modal sendiri (self-funded), 88,95% tidak memiliki hak intellectual property. Selain itu, pemasaran produk kreatif juga masih terpusat pada pasar lokal yang masih dominan sekitar 97,36%.

Merealisasikan Making Indonesia 4.0

Industri ekonomi kreatif digital erat hubungannya dengan digitalisasi industri. Subsektor ekonomi kreatif digital yang paling siap mengadopsi era Industri 4.0 mengalami pertumbuhan signifikan. Kuliner, misalnya, dengan kehadiran platform online yang didukung industri transportasi online seperti Gojek dan Grab sudah terlihat nyata hasilnya. Pun dengan ekspansi produk fesyen yang mulai tumbuh dengan hadirnya lokapasar (marketplace) atau e-commerce yang memudahkan masyarakat menjangkau pasar fesyen, tidak hanya di perkotaan melainkan juga di perdesaan.

’’Jadi bagaimana ekonomi kreatif tidak hanya dinikmati orang orang perkotaan, tapi juga perdesaan, agar ekonomi kreatif ini bisa dinikmati oleh semua orang, tidak hanya di kota-kota besar,’’ kata Ketua Kadin Indonesia, Rosan P. Roeslani, di acara Rakornas Kadin di Hotel Sultan, Jakarta, awal November lalu, seperti dilaporkan Qanita Azzahra.

Rosan juga menyoal pentingnya sumber daya manusia (SDM) kreatif. Saat ini, jumlah penduduk usia produktif di Indonesia cukup besar. Karena ini perlu SDM kreatif yang mampu menjawab kebutuhan pasar ekonomi di era digital. Bahkan, menjadi tulang punggung perekonomian nasional saat Indonesia mendapat bonus demografi. ’’Kita harus mempersiapkan mereka menjadi SDM trampil, siap menjawab tantangan ekonomi digital, bahkan menciptakan lapangan kerja,’’ tukas Rosan.

Sementara itu, Sekjen Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Achmad Sigit Dwiwahjono, menyebutkan bahwa pemerintah sudah menetapkan roadmap ’’Making Indonesia 4.0’’ menuju 10 besar ekonomi dunia. Dalam roadmap itu ditetapkan tambahan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 2% per tahun, dan net export 10% terhadap GDP nasional.

Untuk itu, Achmad melanjutkan, ada lima sektor yang ditetapkan sebagai prioritas dan prime mover atau penggerak utama ekonomi nasional, yakni industri otomotif, kimia, makanan dan minuman, elektronik, serta TPT (tekstil dan produk tekstil). ’’Selain itu, ditetapkan juga 10 prioritas strategi pengembangan industri nasional,’’ katanya kepada Ryan Puspa.

Target-target itu, akan sangat terbantu dengan kehadiran teknologi digital. Seluruh value chain, mulai bahan, proses, produksi, distribusi, pemasaran, sampai daur ulang bisa efisien dan memiliki daya saing 15%-30%. Rencana Kemenperin dan Kominfo untuk menyediakan fasilitas 5G di kawasan industri menjadi langkah panjang ke depan.

Berdampak Masif

Pengamat telekomunikasi Institut Teknologi Bandung (ITB), Ian Yosep, menilai insiatif pemerintah membangun backbone industri ekonomi kreatif digital melalui tol langit dan Palapa Ring, sebagai langkah tepat. Pasalnya, Palapa Ring yang menghubungkan serat optik seIndonesia memiliki kemampuan bandwith yang besar akan memudahkan aktivitas industri ekonomi kreatif berbasis digital. ’’Mau jualan ekonomi digital, dari pelosok, itu sudah cukup dengan Palapa Ring,’’ katanya kepada Erlina Fury.

Meski sudah ada backbone, Ian menilai masih perlu ada lastmile (jaringan akses ke pelanggan) yang harus diperhitungkan. ’’Saat ini yang jadi masalah, bagaimana meneruskan Palapa Ring ini ke user,’’ ujarnya. Karena itu, perlu ada insentif ’’Bukan uang, tapi bisa melalui tarif yang murah terlebih dahulu.’’

Ian menilai, penggunaan Palapa Ring ke depan tidak hanya urusan uang masuk ke negara, melainkan juga meningkatkan taraf hidup masyarakat. Sementara itu, dari sisi industri, ekosistemnya akan terbentuk sendiri, perlahan setelah Palapa Ring. ’’Relasi orang bertransaksi usaha antar-pulau bisa terbentuk apabila ekosistem terbentuk dan penggunanya semakin banyak,’’ ujarnya.

Sementara itu, Vice President of Data Science Gojek Group, Syafri Bahar, mengungkapkan bahwa terkait perkembangan pesat Industri 4.0, Gojek fokus menghadirkan solusi dan dampak sosial ekonomi yang dirasakan masyarakat. Utamanya, yang masuk dalam ekosistem Gojek.

Beberapa waktu lalu, sebuah riset dari Lembaga Demografi Universitas Indonesia (LD UI) menyatakan Gojek Indonesia berkontribusi Rp55 triliun terhadap perekonomian Indonesia sepanjang tahun 2018. Data ini menunjukkan, Gojek merupakan salah satu pelaku ekonomi digital yang menggerakkan perekonomian Indonesia secara signifikan.

’’Kontribusi ini salah satunya merupakan hasil kolaborasi dan kerja keras para mitra kami dalam memberikan pelayanan yang optimal kepada para pelanggan Gojek,’’ katanya kepada Mahmuda Attar. Selain itu, kontribusi Gojek ini tidak terlepas dari pemanfaatan teknologi, data, dan pemahaman Gojek untuk menghadirkan inovasi dan kesempatan bagi semua pihak di dalam ekosistem.


Sandika Prihatnala dan Putri Kartika Utami

391