Home Ekonomi Yang 'Tercecer' di Pertemuan 18 Gubernur di Pekanbaru

Yang 'Tercecer' di Pertemuan 18 Gubernur di Pekanbaru

Pekanbaru, Gatra.com - Tadinya Ahmad sempat sumringah saat mendengar bakal ada 18 orang Gubernur se-Indonesia berkumpul di Pekanbaru untuk membicarakan kelapa sawit pada Sabtu (11/1).

Dalam benak lelaki 56 tahun ini, deritanya yang selama ini sebagai tertuduh sebagai 'petani kelapa sawit dalam kawasan hutan' akan terbicarakanlah di pertemuan itu. Maklum, para gubernur yang berkumpul tadi adalah komandan provinsi penghasil kelapa sawit.

Tapi kemudian, ayah 3 anak ini hanya bisa mengelus dada. Sebab hingga para kepala daerah tadi pulang ke kampung masing-masing, tak sekatapun muncul terkait kawasan hutan itu. "Ooo nasib..., aku sangkolah tadi ado dicakapkan soal kawasan hutan nih, ruponyo indak do. Entah sampai kapanlah macam begini terus," keluh petani kelapa sawit asal Rokan Hilir (Rohil) ini kepada Gatra.com, Minggu (12/1).

Tak ketulungan sebenarnya risau hati Ahmad soal kebun kelapa sawitnya yang 10 hektar itu. Selain hampir saban waktu ditakut-takuti ragam oknum, dia juga tak bisa mengurus Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) yang sudah wajib sejak Perda Provinsi Riau nomor 6 tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Perkebunan, nongol.

"Surat tanah pun tak bisa lagi 'disekolahkan' di bank gara-gara disebut masuk dalam kawasan hutan. Yang membikin saya sangat tak nyaman itu, oknum itu tadi datang bilang kebun saya kawasan hutan, eh ujung-ujungnya minta duit, begitulah terus. Udah macam bandit saya dibikin. Kalau aku nanam ganja iolah aku salah, iko nanam sawit untuk makan anak istri saja nyo," katanye ngenes.

Lain lagi Yuhendra, petani asal Kuantan Singingi(Kuansing) ini berkeluh, "Macam mana nak ikut program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) Jokowi kalau kobun awak dituduh masuk dalam kawasan hutan. Harusnya ini yang menjadi salah satu topik pertemuan itu, supaya mewakili semua permasalahan petani sawit," katanya.

Tak berlebihan sebenarnya apa yang dikeluhkan oleh Ahmad dan Yuhendra soal pertemuan 18 gubernur tadi. Sebab semestinya, momen pertemuan itu sangat strategis dijadikan sebagai ajang untuk membahas para petani kelapa sawit di kawasan hutan.

Apalagi bagi Riau, dari sekitar 3,3 juta hektar kebun kelapa sawit yang ada (data terkini Kementerian Pertanian RI) dan 4,1 juta hektar versi Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), 56 persen adalah kebun petani. Dari luasan ini, sekitar separuh adalah klaim kawasan hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Yang dibicarakan dalam pertemuan itu hanya satu, bagi hasil. Gubernur Riau, Syamsuar kemudian menyebut bahwa mereka bersepakat meminta porsi dana bagi hasil itu 80 persen untuk daerah, sisanya pusat. Angka sebesar itu mencuatnya tak lepas dari beban positif dan negatif yang ditanggung daerah atas aktivitas perkebunan kelapa sawit itu.

"Itulah yang sangat disayangkan itu, para gubernur hanya membicarakan soal bagi hasil. Padahal sangat elengan jika gubernur ini menunjukkan kepada rakyatnya kalau mereka juga memperjuangkan persoalan yang selama ini membelit petani. Sangat luar biasa kalau para gubernur yang daerahnya penghasil sawit itu bersatu dan membikin resolusi melindungi rakyatnya, melawan Menteri LHK untuk membebaskan lahan sawit petani dari klaim kawasan hutan itu dan kemudian disertifikatkan oleh BPN. Dengan begitu, ada jaminan berusaha untuk menghidupi keluarganya," sesal pengamat ekonomi kelapa sawit, Sahat Sinaga.  

Ketua Umum DPP Apkasindo, Gulat Medali Emas Manurung sama seperti Sahat, Ahmad dan Yuhendra. Gulat sangat mengapresiasi pertemuan para gubernur itu. "Memperjuangkan hak Jasa Ekosistem Riau dan provinsi penghasil kelapa sawit lainnya , menjadi sesuatu yang mutlak, apalagi Gubernur Riau menjadi yang terdepan lantaran Riau provinsi penghasil sawit terbesar di Indonesia," katanya.

Hanya saja, sebagai bagian dari perjalanan Riau kata Gulat, tak salah jika Apkasindo juga mengeluarkan unek-uneknya. "Pertama begini, kalau pertemuan itu jadi momen untuk merumuskan perlehan DBH, ini harus menjadi momen bagi para gubernur untuk aktif mencari tahu nasib petani dan berapa sebenarnya total produksi Tandan Buah Segar (TBS) di masing-masing provinsi. Nah, kalau itu sudah dapat, maka akan sangat mudah bagi kita menghitung luas sesungguhnya kebun kelapa sawit itu," urai Gulat.

Lalu, di momen pertemuan itu pula kata Gulat, saatnya para gubernur tahu bahwa betapa curangnya sebenarnya Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang ada. "PKS ini mencuri TBS petani, baik lantaran tidak patuh pada harga kesepakatan yang tiap pekan dikeluarkan oleh Dinas Perkebunan se Indonesia, belum lagi timbangan nakal, potongan 'hantu' yang besarannya 5 persen hingga 15 persen dan kecurangan lainnya. Selama ini enggak ada yang perduli soal ini," kata Gulat.

Pertemuan ini juga semestinya jadi momen bagi para kepala daerah untuk memikirkan solusi petani sawit yang masih terjebak dalam klaim kawasan hutan yang sudah tidak berhutan dan enggak jelas dasar hukumnya kenapa itu disebut kawasan hutan.

"Ini juga sangat bisa jadi momen untuk memperjuangan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) sawit rakyat, bukan Perhutanan Sosial. Sebab perhutanan sosial enggak ada manfaat ekonominya untuk masyarakat. Sebagai contoh, Riau sudah 26 tahun dijejali dua pabrik kertas raksasa yang menggarap sekitar 2,1 juta hektar Hutan Tanaman Industri (HTI). Coba kita tengok, apa manfaat yang dirasakan masyarakat dan sebesar apa PAD yang bisa mengalir ke kas daerah," Gulat bertanya.

Dan yang terakhir kata Gulat, momen pertemuan tadi mestinya jadi ajang bagi para gubernur untuk memperjuangkan pendirian PKS petani atau pabrik minyak goreng petani serta mendirikan pabrik Fatty Acid Methyl Ester (FAME). "Untuk membikin yang semacam ini, sangat bisa kok berkolaborasi dengan Pertamina maupun Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS)," kata Auditor ISPO ini.

Kalau poin-poin tadi dilakukan oleh para gubernur kata Gulat, "Enggak perlu capek-capek lagi para gubernur membikin pertemuan lanjutan. Serahkan saja kepada petani sawit Apkasindo di 22 provinsi dan 117 kabupaten/kota yang tersebar di Negeri ini. Kami akan bergerak cepat dan saling bersinegi untuk melakukan apa yang di inginkan para gubernur itu, tentu dengan cara petani sawit Indonesia lah," ujarnya.

Mantan Dirjen Perkebunan, Prof Agus Pakpahan sepaham dengan proses kratif yang disodorkan Gulat. "Banyak peluang yang bisa diambil daerah dari sektor sawit ini. Enggak melulu DBH. Kalau soal DBH itu, cengkeh, tembakau dan cukai rokok saja bisa berbagi hasil dengan daerah penghasil, masa sawit enggak," katanya.


Abdul Aziz

548