Home Ekonomi Apa Kabar Ekonomi Berkeadilan?

Apa Kabar Ekonomi Berkeadilan?

Turunnya rasio gini dianggap tidak berdampak signifikan pada kemiskinan dan ketimpangan. Program jumbo pengentasan kemiskinan yang dianggarkan ratusan triliun dipertanyakan. Perlu kolaborasi kebijakan yang tidak hanya menjalankan roda perekonomian, tapi juga membangun daya saing.

Jakarta, Gatrareview.com - Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, suatu ketika pernah berkeluh kesah perkara ketimpangan ekonomi. Menurutnya, ketimpangan merupakan masalah terbesar yang dihadapi Ibu Kota saat ini. Namun DKI Jakarta tidak sendirian. Menurutnya, ketimpangan ini juga terjadi hampir di seluruh kawasan lainnya. “Jadi bukan hanya monopoli DKI Jakarta saja, tapi juga kota besar lainnya,” ujarnya, seperti dilaporkan Dwi Reka Barokah dari GATRA REVIEW.

Di kota berstatus istimewa seperti Yogyakarta, misalnya, angka ketimpangan ekonomi atau rasio Gininya tercatat paling tinggi di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis awal Januari 2019, menyebutkan bahwa rasio Gini DIY sebesar 0,482. Daerah yang memiliki rasio Gini terendah, yakni Provinsi Bangka Belitung dengan nilai 0,262.

“Dibanding rasio Gini nasional sebesar 0,380, terdapat delapan provinsi dengan rasio Gini lebih tinggi, yakni provinsi DIY, Gorontalo (0,410), Jawa Barat (0,398), Sulawesi Tenggara (0,393), DKI Jakarta (0,391), Papua (0,391), Sulawesi Selatan (0,291), dan Papua Barat (0,381),” tutur Kepala BPS Suhariyanto ketika memberi keterangan kepada media di Jakarta, seperti dilaporkan Qanita Azzahra dari GATRA REVIEW.

Meski demikian, Suhariyanto menilai pemerataan pengeluaran masyarakat Indonesia makin membaik. Terlihat dari ketimpangan pengeluaran yang menurun sepanjang 2019. Masih menurut BPS, nilai ketimpangan pengeluaran penduduk yang diukur melalui rasio Gini turun hingga 0,380 per September 2019. Angka itu lebih kecil jika dibandingkan Maret 2019 lalu yang mencapai 0,382. “Dibanding September 2018, turun 0,004 poin, yakni sebesar 0,384. Kondisi itu menunjukkan perbaikan pemerataan pengeluaran Indonesia,” katanya lagi.

Masalah Akut dan Mengakar

Kesenjangan ekonomi memang jadi masalah yang bertahun-tahun mengakar di negara gemah ripah ini. Seperti yang pernah dikemukakan Bung Hatta, struktur perekonomian Indonesia di era kolonial ditandai dengan terbaginya masyarakat Indonesia dalam tiga golongan. Golongan kaya dihuni bangsa Eropa. Golongan tengah dihuni warga Timur Asing yang relatif sejahtera. Golongan bawah, ditempati penduduk miskin yang diidentifikasi sebagai warga penduduk asli.

Sadar atas realitas yang tidak adil itulah, bisa dimengerti mengapa sejak awal mula komitmen pendirian bangsa, bertekad menetapkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai tujuan pembentukan negara. Sejatinya, mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasar Pancasila.

Paham perlu ada langkah terobosan, periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo menelurkan kebijakan ekonomi berkeadilan. Sebuah skema multi-aspek yang diluncurkan untuk mengatasi ketimpangan yang dijabarkan melalui 10 rencana aksi strategis. Semuanya mencakup tiga area pokok, yaitu kebijakan berbasis lahan, kesempatan, dan kapasitas sumber daya manusia (SDM).

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang saat itu dipimpin Darmin Nasution, mengidenti?kasi setidaknya ada lima sumber utama penyebab ketimpangan. Pertama, ketimpangan penguasaan tanah. Banyak petani dan penduduk tidak punya lahan atau hunian layak. Kedua, akumulasi penguasaan membuat lahan banyak tidak dimanfaatkan dan harganya makin tak terjangkau.

Ketiga, tenaga kerja kurang kompeten, kewirausahaan lemah, dan pasar kerja yang tidak netral terhadap ras. Keempat, perbedaan kesempatan, pendidikan, dan modal yang makin memperparah ketimpangan. Kelima, birokrasi hanya cenderung fokus sebagai pengelola proyek dan kurang peka terhadap ketimpangan.

Untuk menghentikan ketimpangan, pemerintah mengeluarkan kebijakan baru berbasis keadilan. “Langkah ini diperlukan untuk mencapai e?siensi yang lebih optimal di sektor yang berdampak pada pemenuhan kebutuhan masyarakat banyak,” ujar Darmin seperti dikutip dari Majalah GATRA Edisi Februari 2017.

Kebijakan ini tidak sekadar memberi kesamaan perlakuan (equality), tetapi lebih pada keadilan (equity). Masyarakat mendapatkan apa yang dibutuhkan agar memperoleh kesempatan untuk memperbaiki kualitas hidup. Prinsip yang dibangun, yakni mereka yang kecil-lemah secara individu, kelompok, dan kawasan--dengan aset terbatas, berkemampuan rendah, serta aksesnya terhambat dan terdiskriminasi, akan mendapat kebijakan yang memihak. Keberpihakan itu, antara lain dalam wujud redistribusi, hibah, subsidi, dan fasilitas.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengeklaim, angka pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan terus menunjukkan perbaikan dari tahun ke tahun. Dalam data realisasi APBN 2019, tingkat kemiskinan ditargetkan dalam kisaran 8,5%-9,5%.

Realisasinya, angka kemiskinan ada di 9,41%, sedangkan rasio Gini, ditargetkan 0,380-0,386. Hasilnya, rasio Gini sesuai target berada di 0,380 menurut data BPS. Hanya tingkat pengangguran yang sedikit meleset dari target. Tingkat pengangguran berada di 4,8%-5,2%, pada 2019 realisasinya, 5,28%.

“Dalam lingkungan global yang memengaruhi dalam negeri, kita masih bisa jaga pembangunan kita. Indikator mengalami perbaikan, pengangguran 5,28%, rasio Gini makin menurun,” kata Sri saat memaparkan realisasi APBN 2019 di Kementerian Keuangan, Selasa, 7 Januari lalu.

Kebijakan “Kurang Nendang”

Kepala Pusat Penelitian Ekonomi LIPI, Agus Eko Nugroho, menilai turunnya rasio Gini tidak berdampak signi?kan pada kemiskinan dan ketimpangan. Indikatornya, kenaikan daya beli justru dialami kalangan menengah, bukan masyarakat miskin.

“Dari hasil studi kami, yang paling meningkat itu justru expenditure dari kalangan kelas menengah. Golongan itu penyumbang terbanyak dari rasio Gini yang turun. Artinya, yang miskin tetap ada penaikan. Namun tidak banyak,” kata Agus kepada Ucha Julistian Mone dari GATRA REVIEW.

Hal inilah yang menurut Agus harus jadi perhatian pemerintah, mengingat program pengentasan kemiskinan memiliki anggaran besar bernilai lebih dari Rp100 triliun dan terus meningkat tiap tahunnya. Itu tecermin melalui beragam program, seperti program keluarga harapan, beras rakyat miskin, dan sebagainya.

“Program anti-kemiskinan memang besar, dan kemudian rasio Gini turun, tapi penurunan itu karena pengeluaran kelas menengah naik. Ketimpangannya meningkat dan tidak tecermin dari penurunan rasio Gini. Jadi, bukan berarti pengentasan kemiskinan langsung berhasil,” tutur Agus.

Cara lainnya yang bisa dilakukan, yakni dengan menggabungkan antara model bantuan langsung tunai (BLT) dan model bantuan berbasis kartu seperti KIP, KIS, dan Kartu Pra Kerja, sehingga menjadi ?eksibel. “Model seperti BLT dampaknya kuat sekali, sementara model kartu, akuntabilitas dan manajemen lebih mudah, tetapi multiplier effect-nya kurang,” kata Agus.

469

KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR