Home Ekonomi Olahan Sagu, Antara Budaya dan Ekonomi

Olahan Sagu, Antara Budaya dan Ekonomi

Pekanbaru, Gatra.com- Sepiring mie sagu di warung kopi Young Bengkalis, Kota Pekanbaru, punya arti lebih dari sekadar makanan. Makanan itu agaknya memikul peran penting sebagai simbol budaya sekaligus identitas bagi sebagian masyarakat Riau.
 
Ya, sebagian? sebab, tidak seperti bolu kemojo yang dikenal sebagai kudapan khas Melayu Riau, mie sagu lebih sering diasosiasikan dengan santapan orang-orang di pulau Bengkalis dan Kabupaten Kepulauan Meranti secara khusus. Ini menyerupai peran tahu bagi orang Sumedang, dodol bagi orang Garut, atau mungkin surabi bagi orang Sukabumi. 
 
Sisma, manager salah satu cabang Yong Bengkalis, mengungkapkan para pengunjung Young Bengkalis memang kebanyakan orang Melayu. Orang Melayu sendiri di kota Pekanbaru memiliki persentase yang cukup besar mencapai 23 persen (sensus 2010).
 
"Rata-rata Melayu sih yang suka masakan itu, terutama bagian Pesisir, " sebutnya kepada Gatra.com, Rabu (19/2). 
 
Melayu Pesisir sendiri merujuk kepada orang-orang Melayu yang berasal dari kawasan timur Provinsi Riau, dimana Pulau Bengkalis dan Kepulauan Meranti termasuk di dalamnya.
 
Dua wilayah ini awalnya tergabung dalam satu kabupaten, yakni Kabupaten Bengkalis. Namun, pada tahun 2009 kabupaten ini mengalami pemekaran, dimana Kepulauan Meranti dimekarkan menjadi kabupaten sendiri.
 
Meski telah berpisah, masyarakat di kedua daerah tersebut tetap menjadikan mie sagu sebagai makanan yang mengakar. Termasuk saat berada di Pekanbaru. 
 
Sisma menambahkan untuk mencukupi menu makanan olahan sagu seperti mie sagu, pihaknya menyiapkan 10 karung mie sagu setiap harinya, yang didatangkan langsung dari Pulau Bengkalis. Cukup dengan Rp13 ribu, kita sudah bisa menikmati satu porsi mie sagu.
 
Adapun Kedai Young Bengkalis sendiri corak Melayu nya kian kental dengan nuansa arsitektur yang menampilkan ukiran lembayung. Dengan demikian tempat makan ini telah menjadi ruang hidupnya budaya Melayu di Pekanbaru. 
 
Popularitas Sagu
 
Berbeda dengan kota Pekanbaru, dimana mie sagu punya peranan budaya. Di daerah asalnya, Kabupaten Kepulauan Meranti, makanan sagu bukan lagi sebatas produk kebudayaan. Sebab, sagu telah menjadi bagian dari kehidupan sosial sekaligus komoditas strategis. Di tempat ini sagu bahkan menjadi panganan populer selain beras.
 
Untuk diketahui, Kabupaten Kepulauan Meranti memasok hampir 40% kebutuhan sagu nasional. Produksi tepung sagu di tempat ini, setiap tahunnya mencapai 205 ribu ton, dengan luas lahan kebun mencapai 54 ribu hektar. 
 
Sekretaris Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Kabupaten Kepulauan Meranti, Sri Novriani, mengaku, sebagai tanaman yang "mengakar" di Meranti, sagu saat ini sedang diupayakan menjadi bahan pangan pengganti beras. Namun, upaya tersebut menurutnya tidak mudah.
 
"Hingga kini beras masih menjadi pangan utama di Meranti. Hal itu bukan disebabkan oleh belum populernya sagu sebagai bahan pangan,namun karena makanan sagu masih dianggap makanan kampung," tekannya. 
 
Citra makanan kampung tersebut agaknya membuat makanan dari sagu, terutama mie sagu,  kesulitan mengalahkan pamor beras. Meski begitu hal tersebut tidak menyurutkan langkah pemerintah daerah untuk mengenalkan sagu sebagai makanan pokok dan komoditas strategis.
 
Sejumlah program digalakan untuk lebih membumikan sagu di Meranti bahkan di Riau. Salah satunya melalui gerakan "Ayo Makan Sagu". Bukan hanya itu pemerintah setempat juga rajin memperkenalkan produk sagu beserta turunannya. Tujuanya, agar masyarakat tidak memandang sagu hanya sebatas bisa diolah menjadi mie atau tepung semata. 
 
"Kalau untuk turunannya, sagu itu sudah banyak, rekor MURI malah," tutupnya. 
 
1494