Home Politik Aliansi: Jangan Jadikan Pandemi Corona Momen Loloskan RKUHP

Aliansi: Jangan Jadikan Pandemi Corona Momen Loloskan RKUHP

Jakarta, Gatra.com - Aliansi Nasional Reformasi KUHP meminta agar DPR dan Pemerintah menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang KUHP. Selain masih banyak pasal kontroversial, jangan menjadikan pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid)-19 sebagai momentum untuk meloloskan UU.

"Pandemi ini tidak boleh dijadikan kesempatan untuk mengesahkan RUU yang masih mengandung banyak permasalahan dan tidak dibahas secara inklusif," demikian pernyataan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Kamis (2/4).

Aliansi menyampaikan bahwa Pemerintah dan DPR dalam rapat kerja Komisi III dan Kementerian Hukum dan HAM, sepakat untuk segera melanjutkan pembahasan RKUHP melalui mekanisme carry over. Pada 2 April 2020, keputusan keberlanjutan pembahasan ini akan dibahas dalam rapat paripurna.

Menurut Aliansi, pembahasan RKUHP kembali diangkat oleh DPR dan Pemerintah. Pemerintah dan DPR berpendapat bahwa pengesahan RKUHP di tengah kondisi pandemi dapat menjadi solusi dari penanganan pencegahan Covid-19 dalam sistem peradilan pidana.

Aliansi menilai dalih tersebut tidak sepenuhnya tepat, mengingat saat ini penanganan Covid-19 haruslah menjadi prioritas utama Pemerintah dan DPR. Pengesahan RKUHP tanpa pembahasan keseluruhan justru akan menambah panjang daftar masalah yang harus diselesaikan.

"Apabila Pemerintah dan DPR belum dapat fokus dan serius membahas masalah RKUHP, lebih baik pengesahan dengan pembahasan sebagian ditunda terlebih dahulu, sehingga seluruh fokus diarahkan kepada penanganan Covid-19," demikian pernyataan Aliansi.

DPR seharusnya fokus melakukan fungsi pengawasan terhadap Pemerintah dalam penanggulangan Covid-19. Dalam kondisi Pembatasan Sosial Berskala Besar ini, seharusnya DPR dan Pemerintah justru memfasilitasi diskusi-diskusi daring (online) terkait dengan substansi-substansi RKUHP untuk menyosialisasikan, mendapatkan masukan, dan menjangkau pelbagai pihak dan seluas-luasnya.

Aliansi meminta DPR dan Pemerintah menunda pembahasan RUU KUHP karena ada sejumlah permasalahan dalam dalam RUU ini. Pertama, Pemerintah dan DPR harus kembali mengevaluasi seluruh pasal-pasal yang ada di dalam RKUHP.

Depenalisasi dan dekriminalisasi terhadap beberapa tindak pidana harus digalakkan, mengingat kondisi overcrowding yang terjadi saat ini salah satunya disebabkan oleh overkriminalisasi dalam peraturan perundang-undangan yang juga gagal diatasi RKUHP.

Aliansi mencatat di dalam draft terakhir per September 2019, masih terdapat pasal bermasalah yang overkriminalisasi yakni Pasal hukum yang hidup di masyarakat, penghinaan terhadap Presiden dan Pemerintah, larangan mempertunjukkan alat kontrasepsi, perzinaan, kohabitasi, penggelandangan, dan aborsi.

Kemudian, tindak pidana korupsi, contempt of court, makar, kriminalisasi penghinaan yang eksesif, tindak pidana terhadap agama, rumusan tindak pencabulan yang diskriminatif, tindak pidana narkotika, dan pelanggaran HAM berat.

Kedua, pembahasan RKUHP belum melibatkan lebih banyak pihak yang akan terdampak dari penegakan RKUHP nantinya. Selama ini, pembahasan hanya fokus dilakukan oleh ahli-ahli hukum pidana, tanpa mempertimbangkan pendapat dari bidang ilmu lain yang terdampak seperti bidang kesehatan, kesehatan masyarakat, kriminologi, pariwisata, dan ekonomi.

Menurut Aliansi, selain penting melibatkan lebih banyak aktor, skala konsultasi pembahasan RKUHP tidak boleh hanya berpusat di Jawa, perlu keterwakilan seluruh daerah di Indonesia untuk menjamin KUHP di masa depan mampu ditegakkan hukumnya di seluruh wilayah.

Ketiga, melihat masalah Covid-19 saat ini, persoalan utama dalam penanggulangannya adalah bagaimana cara mengeluarkan tahanan dan narapidana dari dalam Rutan/Lapas. Masalah kelebihan penghuni, utamanya, menjadi masalah tersendiri dalam pandemi ini.

Belajar dari kondisi ini, Pemerintah dan DPR seharusnya dalam membahas secara serius tentang alternatif-alternatif pemidanaan non-pemenjaraan. Permasalahan saat ini dikarenakan tidak efektifnya alternatif selain pemenjaraan.

DPR harus mampu memastikan bahwa pemerintah memiliki instrumen dan sumber daya mumpuni untuk mengefektifkan alternatif selain pemenjaraan. Supaya ke depan tidak perlu memikirkan masalah overcrowding jika kondisi darurat kembali terjadi.

Selain menekankan catatan di atas, Aliansi meminta agar DPR dan Pemerintah kembali membahas dengan lebih teliti dan inklusif seluruh pasal dalam RKUHP, khususnya yang berpotensi memperburuk kondisi overcriminalization yang mengakibatkan overcrowding Rutan dan Lapas serta menekankan pentingnya membuka akses dan pengaturan lebih komprehensif terkait alternatif pemidanaan non-pemenjaraan.

Apabila Pemerintah dan DPR masih memaksakan melakukan pengesahan dalam waktu yang sempit ini terhadap pengaturan RKUHP, yang diyakini justru memperburuk kondisi pandemi Covid-19.

"Maka Aliansi meminta Pemerintah dan DPR segera menunda pembahasan tersebut sampai dengan kondisi pulih dan mampu membahas dengan baik RKUHP dengan catatan-catatan di atas," demikia siaran pers Aliansi Nasional Reformasi KUHP.

Aliansi Nasional Reformasi KUHP terdiri dari ELSAM, ICJR, AJI, LBH Pers, Imparsial, Institut Perempuan, KontraS, ICW, HuMA, PBHI, LeIP, LBH Jakarta, PKBI, PSHK, Arus Pelangi, HRWG, YLBHI, Wiki DPR, SEJUK, LBH APIK, WFHC, LBH Masyarakat, MaPPI FHUI, CDS, ILR, ICEL, Rumah Cemara, WALHI, TURC, Jatam, ECPAT Indonesia, ILRC, Epistema Institute, Yayasan Kesehatan Perempuan, Aliansi Satu Visi, PKNI, PUSKAPA, KPI, AMAN, OPSI, KRHN, YPHA, dan IJRS.

564