Home Kesehatan Minim Fasilitas Pengelolaan Limbah Medis Corona

Minim Fasilitas Pengelolaan Limbah Medis Corona

Jakarta, Gatra.com - Pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) fasilitas pelayanan kesehatan menjadi hal krusial dalam upaya pencegahan penularan Virus Corona. Limbah medis, Yang menjadi bagian dari Limbah B3, diperkirakan naik mencapai 12.000 Ton dalam 60 hari teriring perjalanan pandemi Covid-19 di dalam negeri.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Limbah Sampah B3 (Ditjen PLSB3) menjadi pemangku kepentingan pemerintah dalam upaya pengelolaan limbah medis, khususnya di masa pandemi Covid-19 ini.

Dirjen PLSB3 KLHK, Rosa Vivien Rahmawati, merespon persoalan pengelolaan limbah di beberapa daerah yang terganjal oleh beberapa regulasi yang dikeluarkan KLHK.

Menurut Vivien, sapaan akrabnya, pihak KLHK memahami bahwa sesuai karakteristiknya, limbah medis sejatinya memang harus dimusnahkan paling lambat 2 kali 24 jam, suhu normal dan dampaknya luar biasa.

"Dengan adanya pandemi ini, memang semakin hari (limbah medis) semakin naik. Tentu banyak yang khawatir, kalau limbah medis juga limbah masker ya, jika tidak diurus dengan baik maka akan menjadi sumber baru untuk penularan Covid-19," kata Vivien melalui diskusi daring, Rabu (21/4).

Atas dasar itu, Vivien mengaku pihaknya  sudah berkoordinasi dengan Menkes dan Persatuan Rumah Sakit tentang ditetapkannya SOP untuk limbah medis dari pasien Covid- 19 agar disendirikan.

"Ini langkah-langkah yang sebenarnya kita lakukan dalam konteks dengan limbah infeksius Covid-19," Jelas Vivien.

Di KLHK sendiri, pengelolaan limbah B3 dimasa pandemi telah diatur dalam 3 tegulasi yaitu Surat MENLHK Nomor.167 tahun 2020 Tentang Pengelolaan Limbah B3 Medis pada Fasyankes Darurat Covid-19, Surat Edaran MENLHK Nomor. 02 Tahun 2020, Serta Surat Dirjen PSLB3 Nomor. 156 Tahun 2020 Tentang Pengelolaan Limbah B3 Masa Darurat Penanganan Covid-19.

Di SE MENLHK Nomor. 2 Tahun 2020, Misalnya. Vivien mengatakan pihaknya telah menetapkan prosedur kepada rumah sakit atau faskes agar menjalakan prosedur pengelolaan limbah medis dengan limbah infeksius harus dikemas menggunakan kemasan warna Kuning, penyimpanan maksimal 2 hari pada suhu normal, serta pemusnahan di fasilitas insenerator dengan suhu minimal 800 derajat atau melalui fasilitas autoclave dengan shredder yang kemudian harus dibakar.

KLHK juga mengatur bagaimana orang dalam pengawasan (ODP) di rumah tangga setelah merek menggunakan APD seperti masker atau sarung tangan. Pengelolaan limbahnya, Kata Vivien, diminta untuk saat di disinfeksi terlebih dahulu untuk kemudian dipotong atau digunting dan dikemas tertutup.

"Memang ini yang agak berat ya kalau di rumah-rumah. Karena ada juga yang mereka tinggal di kampung. Karena limbah tersebut harus disampaikan ke lokasi pengumpulan yang di rumah sakit," tutur Vivien.

Semetara itu, yang masih menjadi tantangan dilapangan dalam pengelolaan limbah medis adalah jumlah insinerator yang masih minim di beberapa rumah sakit di tanah air. Kata Vivien, Jikalau ada pihak yang memiliki alat tersebut, masih minim yang memiliki izin.

Dari data Dirjen PSLB3 yang dipaparan Vivien, di beberapa rumah sakit yang ditunjuk Kemenkes menjadi RS rujukan, justru masih minim memiliki fasilitas insinerator. Dirinya merujuk pada rumah sakit di Sumatra yang menjadi RS rujukan pemerintah untuk menangani wabah Covid-19.  Dari 32 jumlah RS rujukan Covid-19, hanya 3 yang memiliki fasilitas insinerator.

"Lalu, bagaimana dengan 29 lainnya. Ada sekitar 23 RS yang punya inselinerator berijin, tapi bukan RS rujukan," ujar Vivien.

Sedangkan di Jawa juga menunjukan hal yang sama. Menurrut Vivien, hingga saat ini,  dari 44 rumah sakit rujukan Covid-19, hanya 11 yang memiliki fasilitas insinerator. Padahal, ada sekitar 59 rumah sakit yang memiliki izin insinerator, namun bukan menjadi RS rujukan Covid-19.

"Oleh karennya, skenario pengelolaan limbah ini masih akan kami koordinasikan dengan kepala daerah, serta dengan lintas sektor, Kemenkes, Bappenass, persatuan RS, Kemenko Maritim Investasi, agar sejalan menangani perosalan ini," ungkap Vivien.

Vivien juga mengatakan, pihaknya akan mencoba kembali menginventarisir rumah sakti yang memiliki insinerator sesuai dengan syarat, untuk kemudian dilengkapi data sesuai prosedur. Namun kemungkinan, untuk jalan pintas permasalah ini, pihaknya bisa meminta jasa pengolahan B3 untuk dapat melakukan proses pembakaran limbah medis, sembari Izin insinerator tengah diselesaikan.

Sementara itu, Kepala Loka Penelitian Teknologi Bersih LIPI, Ajeng Arum Sari, berpendapat bahwa potensi kenaikan jumlah limbah medis di tengah pandemi sudah pasti akan terjadi. Sehingga dirinya berpendapat tenaga fasilitas limbah di tanah air, khusunya di rumah sakit rujukan Covid-19 harus dioptimalkan.

Namun, dirinya juga berpandangan bahwa fasilitas insinerator bukan menjadi satu-satunya jawaban dari pengolahan limbah medis infeksius. Apalagi, penggunaan insinerator juga dapat menimbulkan polusi udara hasil pembakaran .

"Namun memang, keuntungan insineator adalah di volume reduksi limbah atau sampah, kemudian kecepatan proses, dan dapat diintegrasikan ke pembangkit listrik," jelas Ayu dikesempatan yang sama.

Dirinya justru menilai, pengolahan limbah medis secata termal baiknya dilakukan dengan autoclave, yang menurutnya tidak menimbulkan kerugian apapun.

"Autoclave juga tidak memiliki emisi berbahaya, bebas patogen, aman dibuang ke TPA, serta siklusnya mudah dikendalikan dan dipantau," pungkasnya.

644