Home Politik Boediono: Efektivitas Pemerintahan Penting Hadapi Corona

Boediono: Efektivitas Pemerintahan Penting Hadapi Corona

Jakarta, Gatra.com – Pemerintah mencanangkan kebijakan normal baru (new normal) sebagai langkah lanjutan dalam menghadapi pandemi corona. Dengan adanya kebijakan tersebut diharapkan penanganan kesehatan dan ekonomi berjalan simultan. Wakil Presiden RI Periode 2009-2014, Prof. Boediono mengatakan efektivitas dari tata kelola pemerintahan sangat penting untuk “memukul” wabah corona dan mempercepat penanganannya.

“Bagaimana kita meningkatkan effectiveness dari government. Saya kira ini masih dimungkinkan dalam situasi politik kita untuk merumuskan policy dan melaksanakannya dengan baik,” ujar Boediono dalam membuka sesi diskusi webinar bertema “Strategi Penanganan Pandemi Covid-19 Melalui Kolaborasi Gotong Royong Pemerintah dan Masyarakat” yang berlangsung Senin (15/6).

Ketua Dewan Penasihat Indonesian Institute for Public Governance (IIPG) itu mengatakan efektivitas pemerintahan dalam menangani corona dapat ditinjau dari tiga aspek. Pertama, rumusan kebijakan (policy); kedua, kualitas kebijakan (quality of policy); dan ketiga, kualitas eksekusi penanganan (quality of executing emergency).

“Jadi kalau quality of policy, apakah policy-nya didasarkan pada rasionalitas, didasarkan pada fakta dan pandangan-pandangan dari expert, atau hanya dari kira-kira. Itu yang kita harus mencoba ke arah quality of policy di bidang manapun khususnya penanganan pandemi ini,” katanya.

Dirinya menyatakan penanganan wabah corona harus bersifat jangka panjang dan pelaksanaanya berlangsung konsisten. Menurutnya setiap negara melakukan intervensi yang berbeda-beda dalam penanganan wabah corona. Indonesia, terang Boediono, harus melihat kecocokan kebijakan dengan kondisi dan kultur masyarakat.

“Kita bisa mencontoh suatu ekstrim strategi Wuhan dimana lockdown komplit beberapa bulan dan kemudian dilepas bertahap dan berhasil. Kedua ekstrim yang lain, Swedia dimana mereka mengandalkan kemampuan imunitas atau immunity, nanti itu akan berhenti sendiri”.

Teori tentang kekebalan kelompok mengemuka ketika Swedia menerapkan kebijakan itu. Namun herd immunity yang gagal justru dapat meningkatkan risiko jatuhnya korban yang lebih banyak. “Dahulu flu jadi momok tahun 1918, sekarang flu ya kita beli obat dan sebagainya. Tetapi di situ sudah terbentuk imunitas kita, ini yang belum terbentuk. Akhirnya kita tetap mengandalkan vaksin. Apakah sukses Swedia belum jelas, mereka melepas kegiatan itu seperti normal saja, ekonominya jalan, sosialnya jalan,” ujarnya.

Sementara Amerika Serikat yang saat ini menduduki peringkat atas dalam jumlah korban juga memiliki cara tersendiri dalam menangani warga negaranya. “Amerika bisa effort ke herd immunity approach karena dua hal. Satu, tingkat kesehatan atau derajat kesehatan publik mereka itu cukup tinggi. Jadi imunitas umum mereka cukup tinggi. Kalau ada serangan, defendsnya dari publiknya cukup baik. Yang kedua, kalau toh mereka sakit, fasilitas untuk menampung mereka, alat-alatnya itu tersedia cukup”.

Menurutnya kebijakan pemerintah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sudah tepat melihat pada adaptasi, kemampuan, dan keterbatasan yang dimiliki. “Kita enggak bisa menuntut birokrasi yang ada sekarang moga-moga di masa depan bisa dituruti atau mendekati saja. Apakah kita akan seperti Swedia? Enggak juga karena standar kesehatan umum saya kira jauh dari mereka. Resistensi kita masih jauh, begitu kita kemasukan virus hari ini, enam hari kemudian kita akan demam dan beberapa waktu kemudian sesak nafas. Yang kita tidak bisa menangani karena jumlahnya begitu banyak. Jumlah fasilitas untuk menangani pun jauh dari potensi mereka yang akan terkena,” katanya.

215