Home Gaya Hidup Komersialisasi Obrolan Lewat Siniar

Komersialisasi Obrolan Lewat Siniar

Siniar atau yang akrab disebut podcast, dengan cepat menular di kalangan milenial. Sejak populer di Amerika pada 2004, kini siniar biasa disiarkan melalui jaringan pemutar musik digital. Celah baru untuk meraup untung.


Bagi yang terbiasa mendengarkan musik lewat pemutar digital seperti Spotify, JOOX, atau iTunes, pasti akrab dengan podcast atau siniar. Platform siaran ini mulai ada gaungnya pada 2004. The Guardian yang memulainya dengan artikel berjudul "Audible Revolution". Setelahnya, pendengar siniar ini mulai menanjak naik hingga 157% melalui gawai.

Gelombang baru siniar ini tentu membawa dampak ekonomis, mulai dari iklan yang hinggap di jalur pemutar musik digital hingga dukungan produk alias endorsement yang harus diucapkan si podcaster atau penyiar. Secara global, belanja iklan melalui siniar ini sudah mencapai US$4,5 miliar. Di Indonesia, popularitas siniar bisa dilihat dari pencarian di situs Google yang mencapai 81% hingga November tahun lalu.

Salah satu jaringan pemutar musik yang menangguk untung dari siniar ini adalah Spotify. Bagi Spotify Head of Studios for Southeast Asia, Carl Zuterte, jika dihitung dari skala global, Spotify sudah memiliki lebih dari sejuta judul siniar. Dari sekian banyak judul itu, ada sekitar 17 penyiar populer dan memiliki konten eksklusif di Spotify. "Ini kami lakukan sebagai bagian dari rencana kami untuk membangun ekosistem podcast di Indonesia," ujarnya dalam keterangan tertulis yang disampaikan kepada Dwi Reka Barokah dari GATRA.

Dengan gencarnya penetrasi siniar, sejak awal tahun ini Spotify menggandeng kreator konten siniar populer seperti Raditya Dika (PORD), Do You See What I See, PODKESMAS, RAPOT, Menjadi Manusia, Podcast Bagi Horror, Box2Box Football Podcast, dan Suara Puan. Tidak puas sampai di situ, sekitar Mei 2020, Spotify menambah lagi daftar sembilan penyiar baru, seperti BKR Brothers, Makna Talks, Destanya Siapa?, Podcast DariTaDi Yu Ya Yukk, Podcast Malam Kliwon, Rintik Sedu, Teman Tidur, Kinosgina, dan Thirty Days of Lunch.

Langkah agresif Spotify dalam merangkul penyiar Indonesia ini, karena memang konten yang dihasilkan cukup diminati. Bahkan, kata Zuterte, Indonesia menjadi basis pendengar siniar paling besar di Asia Tenggara. "Lebih dari 20% pengguna Spotify di Indonesia mendengarkan podcast setiap bulannya, jumlah tersebut lebih tinggi dari persentase rata-rata global," katanya.

Untuk menjadi penyiar di Spotify pun tak terlalu sulit. Asalkan tidak menyinggung, berkata kasar, fitnah, jauh dari pornografi, menghasut kekerasan, dan mengancam, maka siniar bisa tayang di Spotify. "Kami berkomitmen untuk memelihara keberagaman suara, sudut padang, dan konten di platform kami. Pilihan untuk mendengarkan dan menyukai sebuah konten, seperti halnya pada semua platform lain, sepenuhnya berada di tangan pendengar," tuturnya.

Ikhtiar untuk memonetisasi siniar ini juga terus dilakukan. Salah satunya, Streaming Ad Insertion (SAI) yang memang masih dalam tahap uji coba. Menurut Zuterte, sudah ada satu jenama tertarik beriklan dengan skema SAI ini di Spotify, yang dibacakan di sela berjalannya perbincangan dan menghasilkan ad recall lebih dari 180%. "SAI hanya tersedia untuk Spotify Original dan konten eksklusif Spotify sebagai bagian dari tahap percobaan. Saat ini, SAI belum tersedia untuk kreator di Indonesia," kata Zuterte.

Sayangnya, proyek SAI ini belum bisa hadir di Indonesia. Meski demikian, bukan berarti para penyiar tidak bisa mengambil untung dari kontennya. Bagi Zuterte, ketika konten sudah memiliki cukup banyak pendengar, kreator bisa dengan mudah mencari sponsor siniarnya dengan menawarkan spot iklan. Saat ini, memang sudah ada beberapa siniar yang menyelipkan iklan dalam kontennya. "Monetisasi tergantung oleh masing-masing podcaster dan kami tidak mengambil keuntungan dari pendapatan yang mereka peroleh," ujarnya.

 

***

 

Jika bicara dunia siniar di Indonesia, tidak bisa lepas dari konten BKR Brothers dan Do You See What I See. Kedua Siniar ini memang cukup berjaya di Spotify dengan masing-masing lebih dari 50 konten siniar. BKR Brothers, misalnya, yang digawangi oleh Ryo Wicaksono, Molen Kasetra, dan Bobby Mandela, sudah menyiarkan kontennya sejak 3 Juni 2019. "Semangat awalnya, karena kami bertiga sudah berteman selama bertahun-tahun sejak bekerja di radio yang sama. Bahkan setelah sudah tidak sekantor lagi, kami masih sering ngumpul dan ngobrol. Kenyamanan dalam berteman itu menimbulkan ide untuk membuat podcast bersama," ucap Molen saat dihubungi M. Guruh Nuary dari GATRA.

Hingga saat ini, siniar BKR Brothers sudah mengeluarkan 50 episode dengan beragam tema. Intinya, pembicaraan ngalor-ngidul di antara mereka bertiga. Untuk menetapkan tema, kata Molen, mereka harus duduk bersama. Istilah kerennya, brainstorming. Biasanya, mereka mulai membuat poin-poin penting tema, alur, dan benang merah yang akan dibicarakan. "Kami juga sesekali membuat polling di sosial media untuk mengumpulkan masukan topik dari pendengar, tapi kami justru menghindari isu yang sedang ramai karena ingin pembahasan bersifat timeless dan tidak terpaku pada kurun waktu tertentu," ujarnya.

Dengan lebih dari 50 episode, tentunya BKR Brothers juga memikirkan soal monetisasi kontennya. Soal iklan, Molen menjelaskan, ada beberapa cara yang biasanya dilakukan. Pertama, iklan baca atau biasa disebut ad-lib. "Brand atau klien kasih kita bahan biasanya satu setengah menit yang dibacain pas lagi podcast," katanya.

Cara lainnya, yaitu iklan yang sudah dibuat oleh klien dan diputarkan saat siniar sedang berlangsung. Hal ini biasa disebut semi-blocking. "Jadi, kita mengiklankan brand tertentu dengan brand lain boleh masuk. Jadi, satu episode bisa dua atau tiga brand," Molen menjelaskan.

Terakhir, yaitu model full blocking atau dedicated. Dengan model ini, satu jenama beriklan penuh dalam satu episode. Topiknya bisa disesuaikan dengan pesan yang ingin disampaikan si pengiklan. "Misalnya dengan iklan susu, tema tetap dalam konteks horor, tapi disambungin ke osteoporosis," Molen mencontohkan.

Bagi pengiklan, siniar lebih diminati karena merangkul banyak pendengar. Biasanya, para pengiklan ini lebih memilih model soft selling. Intinya, iklan tidak secara terang benderang dibicarakan dalam siniar. "Jadi kalau bisa, di episode itu enggak ketahuan ada sponsornya atau iklan sampai terakhir episode. Itu mereka [klien] lebih senang," kata Molen. Meski saat ini BKR Brothers sudah mapan dalam pendapatan, mereka harus menunggu hingga 25 episode untuk mendapatkan iklan pertamanya.

Cerita lain dari jatuh bangun membangun siniar, datang dari Rizki Adi Nugroho yang terkenal dengan nama udara Mizter Popo. Awalnya, Rizki memang sudah pernah membuat siniar di Instagram dan Youtube, tetapi ternyata pasar berkata lain. "Di Instagram, kan memang tidak cocok untuk bercerita sebenarnya. Selain terbatas, setelah 24 jam juga hilang," ucap Rizki.

Awalnya, Rizki memulai siniarnya dengan tema wirausaha. Gagal. Lalu ia berusaha lagi dengan membuat konten siniar bernama Tegar di Atas Sunnah, gagal lagi. Eksperimennya akhirnya sampai pada konten horor yang saat ini sedang dikerjakannya, dengan siniar bernama Do You See What I See. Selang satu minggu mengudara, siniar ini berhasil menduduki top chart 2019 di Spotify.

Meski dengan latar belakang wirausaha dan siniar yang menduduki posisi top chart, Rizki sama sekali tidak tertarik memasukkan iklan di siniarnya. Memang, sudah ada beberapa agen periklanan dan jenama yang melakukan pendekatan bisnis, tetapi Rizki hanya merespons sedikit di antara mereka. "Wah, bisa dihitung jari enggak lebih dari lima kali, deh, kayaknya. Karena temanya horor, jadi agak sempit, ya. Yang kedua, orang masih bandingin sama Youtube, karena Youtube kan masih besar audiensnya," tutur Rizki.

 

Aditya Kirana

 

- - - - - -

 

Pointers

Ikhtiar monetisasi siniar ini juga terus dilakukan. Salah satunya, Streaming Ad Insertion (SAI) yang memang masih dalam tahap uji coba.

 

Kutipan

"Lebih dari 20% pengguna Spotify di Indonesia mendengarkan podcast setiap bulannya. Jumlah tersebut lebih tinggi dari persentase rata-rata global,"

- Carl Zuterte

 

Infografis: Sudah dikirim. Cukup setengah halaman.