Home Politik Kemerdekaan RI, Bangkit Menjaga Kedaulatan Maritim

Kemerdekaan RI, Bangkit Menjaga Kedaulatan Maritim

Menjaga Kemerdekaan Indonesia Lewat Pemahaman dan Pelaksanaan UNCLOS 1982

Oleh: Laksda TNI (Purn.) Soleman B. Ponto*

 

Tanggal 17 Agustus 2020 adalah perayaan hari Kemerdekaan Indonesia yang ke 75. Artinya sudah 75 tahun Indonesia berdiri tegak diantara negara-negara lain di dunia sebagai negara merdeka. Kemerdekaan Indonesia ini tidak didapatkan secara gratis, atau merupakan pemberian, tapi didapatkan dengan susah payah melalui serangkaian perjuangan yang telah mengalirkan darah dan airmata para pejuang kemerdekaan.

Itulah sebabnya, kita yang hidup di alam kemerdekaan ini wajib dan harus mempertahankan dan menjaga kemerdekaan yang diwariskan oleh para pahlawan. Salah satu cara untuk menjaga kemerdekaan itu adalah dengan memahami dan melaksanakan amanat UNCLOS 1982.

Ketika merdeka pada 17 Agustus 1945, Indonesia saat itu masih mewarisi aturan dari Pemerintah Hindia Belanda dalam TZMKO nya yang menyebutkan bahwa territorial waters Indonesia adalah 3 mil laut dari pantai.

Artinya, perairan di luar 3 mil laut dari pantai saat itu masih merupakan perairan bebas yang berada di luar kedaulatan Indonesia. Akibatnya semua selat yang ada di Kepulauan Indonesia yang lebarnya lebih dari 6 mil laut, menjadi wilayah laut yang bebas di layari oleh kapal-kapal dari negara manapun juga, dimana Indonesia tidak mempunyai kedaulatan sama sekali. Tidak ada ZEE yang lebarnya 200 mil laut, tidak ada Laut Pedalaman, dan juga tidak ada Laut Kepulauan.

Pulau-pulau yang ada di Kepulauan Indonesia dipisahkan oleh perairan bebas yang bebas dilayari atau digunakan oleh kapal-kapal dari negara manapun juga. Jadi secara fisik, Indonesia masih tetap terpisah-pisah. Keadaan ini tentunya sangat merugikan Indonesia. Oleh karena itu bangsa Indonesia kemudian bertekad untuk mengubah laut bebas yang memisahkan pulau-pulau itu menjadi laut yang berada di dalam kedaulatan Indonesia.

Tekad itu kemudian diwujudkan oleh Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja pada 13 Desember 1957 (yang akhirnya diperingati sebagai Hari Nusantara) melalui sebuah deklarasi yang dikenal dengan Deklarasi Djuanda, menyatakan Indonesia sebagai negara kepulauan.

Melalui serangkaian kegiatan diplomasi yang gemilang Deklarasi Djuanda yang memperkenalkan konsep Negara Kepulauan ini pada tahun 1982 pada ahirnya diterima dan diakui dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).

Selanjutnya pada tahun 1985, UNCLOS 1982 ini diratifikasi menjadi UU 17/1985 tentang Pengesahan United Nations Convention On The Law Of The Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut). Dengan adanya UNCLOS 1982 ini maka wilayah laut Indonesia menjadi 5,8 juta km2 yang terdiri dari wilayah laut ZEE seluas 2,7 juta km2 dengan lebar 200 mil laut, wilayah laut territorial seluast 0,8 juta km2 dengan lebar 12 mil laut, dan juga Indonesia memiliki laut kepulauan serta laut pedalaman, seluas 2,3 juta km2. Semua wilayah laut Indonesia itu diaturoleh UU nomor 6 tahun 1996 tentang perairan Indonesia. Luas wilayah laut ini bertambah 2,5 kali lipat dari luas sebelumnya yaitu 2,027,087 km2.

Laut-laut dalam wilayah kepulauan Indonesia yang sebelum adanya UNCLOS 1982 adalah laut bebas, sekarang menjadi laut yang berada dalam kedaulatan Indonesia sepenuhnya. Selain itu, UNCLOS 1982 juga selalu dijadikan pijakan dasar mengelola potensi sumberdaya kelautan. UNCLOS 1982 juga merupakan instrumen hukum untuk menyelesaikan konflik-konflik kelautan di kawasan. Itulah sebabnya Indonesia harus patuh dan taat kepada UNCLOS 1982 ini, karena adanya Indonesia saat ini, akibat dari adanya UNCLOS 1982.

Sengketa LCS antara Indonesia dan Cina

Dengan diberlakukannya UNCLOS 1982, maka Indonesia di sekitar pulau Natuna mendapatkan tambahan wilayah laut yang disebut Zona Ekonomi Eklusif (ZEE) selebar 200 mil laut. Penambahan wilayah laut disekitar pulau Natuna ini kemudian melahirkan sengketa dengan Cina, yang dikenal dengan sebutan sengketa Laut Cina Selatan.

Sengketa itu terjadi karena Cina, yang merasa sudah terlebih dulu melakukan penangkapan ikan pada sebagian dari wilayah laut ZEE Indonesia sebelum lahirnya UNCLOS 1982, juga merasa berhak atas sebagian dari wilayah laut ZEE Indonesia itu. Sebagai bukti bahwa Cina pernah melakukan penangkapan Ikan disebagian wilayah laut ZEE Indonesia itu, pemerintah Cina mengeluarkan peta dengan gambar “9 garis titik-titik” yang dikenal dengan 9 DL (dot line).

Wiilayah laut dari 9 garis titik-titik itu “tumpang tindih” atau “overlap” di sebagian wilayah laut ZEE Indonesia. Wilayah laut yang tumpang tindih atau overlap inilah yang membuat pemerintah Indonesia dan pemerintah Cina bersengketa.

Pemerintah Indonesia merasa bahwa wilayah itu adalah milik Indonesia karena diberikan oleh UNCLOS 1982, sedangkan pemerintah Cina juga merasa bahwa wilayah itu adalah milik Cina dari zaman nenek moyang mereka sesuai dengan peta 9 DL. Jadi sengketa di LCS itu bukan terjadi di seluruh wilayah ZEE Indonesia, tapi hanya di sebagian wilayah ZEE Indonesia, yang masuk dalam peta 9 DL.

Penyelesaian Sengketa

Oleh karena UNCLOS itu baru dihasilkan pada tahun 1982, maka sudah diperkirakan akan menghasilkan sengketa dengan adanya praktik-praktik yang sudah terbiasa dilakukan sebelum lahirnya UNCLOS. Itulah sebabnya UNCLOS 1982 mengatur tata cara menyelesaikan sengketa apabila sengketa itu betul-betul terjadi.

Prinsip penyelesaian sengketa oleh UNCLOS 1982 adalah setiap sengketa harus diselesaikan dengan jalan damai, sebagaimana yang diatur oleh pasal 279 UNCLOS 1982. Itulah sebabnya Indonesia yang telah meratifikasi UNCLOS 1982, dalam menyelesaikan sengketanya dengan Cina mutlak terikat pada pasal 279 UNCLOS 82 yang mengatur bahwa penyelesaian sengketa harus dilakukan dengan jalan damai.

Negara-negara peserta harus menyelesaikan setiap sengketa antara mereka perihal interpretasi atau penerapan Konvensi ini dengan cara damai sesuai dengan Pasal 2 ayat 3 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan, untuk tujuan ini, harus mencari penyelesaian dengan cara sebagaimana ditunjukkan dalam Pasal 33 ayat 1 Piagam tersebut.

Jadi sangat jelas bahwa Sengketa LCS antara Indonesia dan Cina harus diselesaikan dengan cara damai. Penyelesaian dengan cara damai itu hanya akan tercapai apabila pemerintah Indonesia tidak menyebarluaskan aura permusuhan dengan mengerahkan kekuatan militer ke ZEE Indonesia di Natuna. Pemerintah Indonesia tidak perlu membangun pangkalan militer di Natuna apabila itu hanya disiapkan untuk menghadapi sengketa LCS.

Demikian pula pemerintah Indonesia tidak perlu membeli senjata untuk kapal-kapal Bakamla sebagai upaya untuk penyelesaian sengketa di LCS. Pemerintah Indonesia hanya berkewajiban mengirimkan para penegak hukum ke wilayah laut ZEE Indonesia di sekitar Natuna untuk melindungi hak berdaulat Indonesia sebagaimana yang diatur oleh UNCLOS 1982.

Sebagai anggota PBB, Indonesia juga terikat pada piagam PBB, yang mengatur bahwa semua anggota PBB dalam menyelesaikan sengketa harus dilakukan dengan damai. Hal itu secara tegas diatur pada pasal 2 ayat 3 Piagam PBB yang selengkapnya berbunyi: Semua anggota harus menyelesaikan persengketaan internasional dengan jalan damai sedemikian rupa sehingga perdamaian dan keamanan internasional, dan keadilan, tidak terancam.

Apabila Indonesia tidak menyelesaikan sengketa itu dengan jalan damai, maka Indonesia terancam mendapatkan sanksi dari PBB berupa embargo mulai dari pemutusan seluruhnya atau sebagian hubungan-hubungan ekonomi, termasuk hubungan kereta api, laut, udara, pos, telegraf, radio dan alar-alat komunikasi lainnya, serta sampai pada pemutusan hubungan diplomatik sampai dengan blokade, dan tindakan-tindakan lain dengan mempergunakan angkatan udara, laut atau darat dari Anggota-anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, sebagaimana yang diatur pada pasal 41 dan 42 Piagam PBB.

Wilayah laut ZEE Indonesia yang overlap atau tumpang tindih dengan klaim Cina sangatlah kecil bila dibandingkan dengan wilayah laut Indonesia lainnya yang didapatkan dari diberlakukannya UNCLOS 1982. Itulah sebabnya tidak ada alasan untuk tidak melaksanakan perintah UNCLOS 1982 serta perintah piagam PBB agar sengketa LCS itu diselesaikan dengan jalan damai.

Deklarasi Djuanda, bahkan Kemerdekaan Indonesia dapat terancam hilang apabila sengketa LCS itu tidak diselesaikan secara damai. Oleh karena itu hentikanlah semua kegiatan yang dapat membangunkan aura permusuhan dengan Cina. Hentikannlah segala rencana membangun pangkalan militer di pulau Natuna untuk menghadapi sengketa LCS, demikian pula pemerintah Indonesia tidak perlu melakukan pembelian senjata untuk Bakamla dalam upaya penyelesaikan sengketa LCS. Gelorakanlah semangat penyelesaian sengketa LCS melalui jalan damai sebagaimana yang diatur oleh UNCLOS 1982, untuk menjamin keberlangsungan Kemerdekaan Indonesia.

 

*Penulis pengamat militer, intelijen, dan pertahanan. Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS)

1185