Home Ekonomi Langkah Awal dari Morowali

Langkah Awal dari Morowali

Pemerintah berambisi Indonesia bisa memiliki industri baterai kendaraan listrik sendiri. Karpet merah digelar bagi calon investor. Sejumlah industri batere kendaraan listrik global sudah menyatakan minatnya membuka pabrik batere kendaraan listrik di Indonesia. Dua diantaranya produsen beterai kendaraan listrik asal Cina, Contemporary Amperex Technology (CATL) dan produsen beterai kendaraan listrik asal Korea Selatan, LG Chem. Morowali menjadi langkah awal.

 

CATL, baru saja menjalin kontrak bisnis dengan dua produsen otomotif global asal Jepang: Toyota Motor dan Honda Motor. Seperti dilansir Reuters pada Kamis 17 Juli lalu, Toyota dan CATL sepakat bekerja sama dalam pengembangan baterai kendaraan listrik. Sepekan sebelumnya, Jumat, 10 Juli lalu, Honda Motor dikabarkan membeli 1% saham CATL. Pembelian saham ini juga terkait dengan kerja sama pengembangan baterai kendaraan listrik.

 

Toyota dan Honda memang berencana memperbesar volume produksi kendaraan listriknya mulai 2021. Karena itu, mereka membutuhkan pasokan baterai. Kerja sama CATL dengan Toyota dan Honda bisa menjadi gambaran betapa potensialnya industri baterai kendaraan listrik di masa depan. Maklum, di antara komponen yang ada di kendaraan listrik, baterai merupakan komponen terpenting dan termahal. Harga baterai bisa mencapai 70% dari total ongkos produksi sebuah kendaraan listrik. Karena itulah, pemerintah berambisi Indonesia bisa memiliki industri baterai kendaraan listrik sendiri.

 

Untuk mewujudkan ambisi tersebut, karpet merah digelar bagi calon investor. “Kita itu sekarang sedang mendorong investasi ke bahan baku baterai,” ujar Direktur Industri, Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan (IMATAP) Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Putu Juli Ardika, kepada Ryan Puspa dari Gatra review di Jakarta, medio Juli lalu. Diungkapkan Putu, sudah cukup banyak konsorsium investor yang menyatakan kesiapannya. “Investor sudah siap untuk masuk di pertambangannya, refinery-nya, maupun bahan baku battery cell-nya,” ujar Putu.

 

Putu menjelaskan, ada beberapa investasi terkait pengembangan industri baterai kendaraan listrik di Indonesia, baik itu investor asing maupun lokal. Di antaranya investasi yang digelontorkan konsorsium investor yang berasal dari tiga negara, yakni Tsingshan Industrial (Cina), GEM (Cina), BRUNP Recycling Technology (Cina), IMIP (Indonesia), dan Hanwa (Jepang). Konsorsium ini membentuk perusahaan patungan yang diberi nama PT QMB New Energy Minerals. Mereka sepakat membangun pabrik yang memproduksi senyawa nikel dan kobalt, bahan baku utama katoda baterai kendaraan listrik.

 

 

Konsorsium Investor

 

Bukti keseriusan konsorsium ini mengembangkan industri bahan baku baterai kendaraan listrik di Indonesia, awal Januari 2019 lalu, dilakukan peletakan batu pertama pembangunan pabrik. Lokasi pabrik di kawasan industri IMIP (Indonesia Morowali Industrial Park), Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Seremonialnya dihadiri Luhut Binsar Panjaitan yang kala itu menjabat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Airlangga Hartarto, yang menjabat sebagai Menteri Perindustrian. Total investasi mencapai US$700 juta. “Diharapkan [pabriknya] dapat berproduksi pada akhir 2021 atau awal 2022,” kata Putu.

 

CEO PT IMIP, Alexander Barus, mengungkapkan bahwa pihaknya belum dapat memastikan kapan pabrik mulai dapat berproduksi. Sebab, proyek pembangunan pabrik material baterai kendaraan listrik itu masih dalam tahap perizinan. Saat ini masih menyelesaikan pengurusan izin analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). “Kami tidak dapat memastikan kapan izin amdal bisa selesai,” kata Alexander kepada Dwi Reka Barokah dari Gatra review di Jakarta, awal Juli lalu.

 

Nanti yang akan diproduksi pabrik, Alexander melanjutkan, adalah katoda, yakni komponen utama dari baterai kendaraan listrik. Jadi bukan baterainya. “Kami berharap, katoda yang dihasilkan pabrik tersebut nantinya bisa diekspor ke negara-negara produsen kendaraan listrik. Dengan begitu, Indonesia bisa menjadi negara yang dilirik sebagai pengembang industri baterai kendaraan listrik," ucap Alexander. Selain pabrik katoda di kawasan industri IMIP juga akan dibangun pabrik pengolahan daur ulang baterai bekas. “Nanti Kita bangun satu pabrik recycle baterai mobil listrik," ucapnya.

 

Putu menjelaskan, investor juga melirik wilayah Weda Bay dan Obi. Keduanya berada di Provinisi Maluku Utara. Seperti Morowali, kawasan Weda Bay dan Obi juga dikenal sebagai daerah penghasil nikel terbesar di Indonesia. Rencananya, pada akhir 2020 atau awal 2021 di wilayah tersebut akan segera beroperasi pabrik baterai kendaraan listrik. “Di Weda Bay, Maluku Utara, itu juga sudah ada tenant-nya yang mengolah investasi di nikel ore dan unsur bawaannya menjadi bahan baku baterai,” katanya.

 

Sementara itu, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Maluku Utara, Nirwan M.T. Ali, mengungkapkan bahwa investasi pembangunan pabrik bahan baku kendaran listrik di Weda Bay dan Obi diperkirkan mencapai Rp14 triliun. Ia berharap, keberadaan pabrik akan berdampak positif pada meningkatnya ekonomi masyarakat di sekitar pabrik. “Yang pasti saya optimis, negara kita termasuk Provinsi Maluku Utara pasti akan mendapat keuntungan dari pembangunan pabrik ini,” kata Nirwan kepada Zairin dari Gatra review di Maluku Utara, awal Juli lalu.

 

Ada juga produsen baterai lithium-ion swasta dalam negeri yang akan mengembangkan pabriknya untuk memproduksi baterai kendaraan listrik. Namun Putu masih enggan menyebut nama perusahaannya. Putu mengungkapan, dari informasi yang ia peroleh, pabrik tersebut akan dibangun di wilayah Jakarta. untuk tahap awal pabrik baterai tersebut bakal memiliki kapasitas produksi sebesar 256 mWh per tahun atau setara dengan 20.000 cell per hari. “Saat ini telah menyelesaikan proses konstruksi pabrik di Jakarta dan sedang mendatangkan peralatan produksi dengan sistem otomasi, yang ditargetkan selesai pemasangannya bulan September-Oktober 2020,” katanya.

 

 

Cadangan Terbatas

 

Gencarnya pemerintah mendorong investasi pembangunan pabrik baterai kendaraan listrik seiring dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 55/2019 tentang Percepatan Progam Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan. Beleid ini mulai diundangkan sejak 12 Agustus 2019. Dalam upaya mengakselerasi produksi kendaraan listrik, pemerintah menargetkan pada tahun 2022 Indonesia mampu memproduksi baterai untuk kendaraan listrik.

 

Agar target tersebut terealisasi, pemerintah mengundang sejumlah investor, terutama pabrikan otomotif dan pabrikan baterai kendaraan listrik, untuk berinvestasi mengembangkan industri baterai kendaraan listrik di Indonesia. Pabrikan otomotif yang terlibat di antaranya Tesla, Mercedes, BMW, dan Volkswagen. Sedangkan pabrikan baterai antara lain CATL dan LG Chem. Kabar baiknya, cukup banyak investor yang berminat, paling gres pertengahan Juni lalu, LG Chem menyatakan minatnya membangun pabrik baterai di Indonesia. Untuk merealisasikannya, perusahaan asal Korea Selatan ini akan bermitra dengan Hyundai Motor Group yang juga perusahaan asal Korea Selatan.

 

Tak hanya mengundang investor, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan larangan ekspor biji nikel melalui Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Beleid yang diterbitkan Agustus 2019 itu menyebut larangan ekspor bijih nikel kadar rendah, yakni di bawah 1,7%, mulai diberlakukan per 1 Januari lalu. Argumen pemerintah, cadangan terbukti untuk komoditas nikel mulai menipis, hanya tersisa 698 juta ton. Cadangan tersebut hanya dapat menjamin pasokan bijih nikel bagi fasilitas pemurnian di Indonesia selama tujuh-delapan tahun ke depan.

 

Pengamat energi yang juga Direktur Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman, menilai pelarangan itu sudah tepat, meski sebetulnya terlambat. “Seharusnya jika konsisten larangan sudah diberlakukan sejak 2014, ini diatur di UU Minerba (Mineral dan Batu Bara),” kata Yusri. Menurut Yusri, menipisnya cangan nikel lantaran ekpor biji nikel yang tak terkendali. “Sumber nikel itu bahan baku yang terbatas, tidak semua negara memiliki cadangan nikel,”ujarnya.

 

 

Kemandirian Energi

 

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kadin Indonesia Bidang Industri Manufaktur, Johnny Darmawan, menyebut Kadin mendukung langkah pemerintah dalam membangun industri pabrik baterai kendaraan listrik di Indonesia. Sebab, Indonesia bisa menjadi salah satu Negara pengekspor baterai mobil listrik. “Kalau sampai baterai dibikin di Indonesia, nanti ke depan mobil semua pakai baterai, kalau seumpamanya Indonesia sebagai produsen baterai, akhirnya kita bisa ekspor, bisa macam-macam. Kita untung itu,” kata Johnny kepada Qonita Azzahra dari Gatra review di Jakarta, awal Juli lalu.

 

Keberadaan pabrik baterai kendaraan listrik, Johnny melanjutkan, diharapkan nantinya mampu memberikan nilai tambah pada hasil tambang nasional, utamanya nikel, magnesium, dan kobalt. Karena selama ini, Indonesia hanya dapat mengekspor bahan-bahan mentah saja dari ketiga hasil tambang itu. Johnny menjelaskan, sebelumnya, bijih nikel bebas diekspor. Sebagian besar diekspor ke Cina. “Di sana (Cina) diproses lagi, jadilah baterai, [lalu] dijual lagi ke Indonesia. Sudah bener sekarang, nikel enggak boleh diekspor lagi, mereka harus diproses dulu di sini, sampai bikin di Indonesia,” katanya.

 

Sementara itu, Senior Researcher Asia Pacific Energy Research Centre (APERC), Gigih Udi Utomo, mengatakan baterai kendaraan listrik merupakan komponen strategis untuk kesinambungan energi jangka panjang. Dengan adanya pabrik baterai, diharapkan Indonesia mampu meningkatkan kemandirian di sektor energi, terutama untuk mengurangi importasi minyak yang diproyeksikan semakin meningkat kedepannya. “Step pembangunan pabrik baterai adalah tahap awal. Tapi yang tidak kalah penting adalah pembuatan pabrik kendaraan listrik sendiri,” ujar Gigih kepada Wahyu Wahid Ansory dari Gatra review, awal Juli lalu.

 

914