Home Politik Koperasi Gelap Benny Tjokro

Koperasi Gelap Benny Tjokro

Benny Tjokro mengepul uang masyarakat dengan kedok koperasi. Sekitar Rp2,4 triliun dana yang dihimpun hilang, masih tersangkut dengan aset Hanson yang disita negara terkait Jiwasrayagate.


Broto, bukan nama sebenarnya, sejak awal 2019 menginvestasikan uangnya ke Hanson International. Dari uang Rp500 juta yang ditaruh, ia dapat iming-iming bunga 9% per tiga bulan. Pada triwulan pertama, pembayaran bunga yang diharapkan oleh Broto tuntas terbayar. Namun, masuk ke triwulan kedua, persoalan mulai terasa ketika Broto ingin mencairkan uangnya. "Ternyata uangnya tidak bisa saya terima," katanya kepada GATRA.

Biasanya, satu-dua hari penundaan masih wajar. Masuk di minggu kedua, Broto mulai gelisah dengan keamanan uangnya di Hanson. Sebenarnya, Broto masih tenang jika uang investasinya hilang. Toh Hanson memberikan jaminan tanah senilai uang yang diinvestasikan di kawasan Maja, Tangerang.

Setelah diselisik, Hanson sudah memainkan harga tanah di kawasan tersebut. Dari pengakuan Hanson kepada Broto, harga tanah di kawasan itu sudah mencapai Rp2,5 juta per meter persegi. Namun setelah dicek, harga tanah yang dibeli Hanson jauh lebih murah. "Kalau harga agen saja baru Rp300.000, tapi ini sudah dihargai berkali-kali lipat," kata Broto.

Untungnya, persenan Broto cair juga. Namun bukan dengan bukti pembayaran Hanson International, melainkan atas nama Koperasi Simpan Pinjam Karyawan Hanson atau Koperasi Hanson Mitra Mandiri. Dari sini, bau anyir permainan uang di dalam Hanson mulai tercium, apalagi jelang akhir 2019, nama pemilik Hanson, Benny Tjokro, mulai disebut-sebut dalam megaskandal Jiwasraya.

Akhirnya, Hanson gagal bayar. Sekitar Rp2,4 triliun uang nasabah tak bisa dikembalikan. Mulai 28 Oktober 2019, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melarang Hanson mengumpulkan uang investasi nasabah. Namun, koperasi gelap Hanson ini sudah mulai beroperasi jauh hari sebelum itu.

Menurut pengakuan Broto, banyak korban lain yang sudah menerima tanda terima pembayaran atas nama koperasi tersebut sejak Maret. Anehnya, izin koperasi ini baru diberikan pada November. "Jadi, ini sudah direncanakan. Koperasi sudah disiapkan sebelum Hanson dilarang," katanya.

Keanehan lain, meski dinamakan Koperasi Simpan Pinjam Karyawan Hanson, ketua dewan pengawas koperasi itu merupakan pengasuh di rumah Benny Tjokro. "Lalu, manajer koperasi ini, salah satu sopirnya. Itu sudah sejak bulan Maret strukturnya seperti itu," Broto mengungkapkan.

Tak terima dengan persoalan ini, Broto dan para korban lain pun mengadukan kasus ini ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri. Sidang sudah sempat berjalan. Kubu Hanson pun meminta damai dengan janji pelunasan uang paling lama lima tahun ke depan. "Kita pikir lebih aman kalau dipailitkan. Meski kemungkinan balik modal juga tipis, tapi sama-sama hancur," ujarnya.

Akhirnya, para korban sepakat untuk memilih opsi pailit. Harapannya, aset Hanson, meski tak bisa menutupi seluruh kerugian, bisa sekadar mengembalikan sedikit dari investasi yang sudah dikucurkan korban. Sayangnya, aset Hanson berupa tanah di kawasan Maja sudah lebih dahulu disita pihak Kejaksaan Agung terkait kasus Jiwasraya.

***

Cerita tentang koperasi Hanson ini dimulai ketika Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) melaporkan perusahaan Benny Tjokro ke Bareskrim pada awal Januari lalu. Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, menuturkan bahwa sebenarnya persoalan ini bermula dari pengumpulan dana masyarakat untuk kegiatan investasi perumahan di Maja.

Bagi Boyamin, pengumpulan dana ini sudah melanggar UU Perbankan. Hanson International dengan kode emiten MYRX ini, bukanlah bank yang bisa menghimpun dana masyarakat. Seiring perjalanan waktu, akhirnya terbongkar pula persoalan koperasi gelap yang digunakan Benny Tjokro sebagai salah satu alat mengumpulkan dana.

Lagi-lagi, OJK menjadi sasaran. Bagi Boyamin, OJK semestinya mengetahui dari mana perusahaan pasar modal itu mendapatkan dana. "Kalau koperasi, OJK bisa cuci tangan, tapi kalau uang dari koperasi itu digunakan Hanson, berarti pengawasan OJK masih kurang. Semua sumber pendanaan Hanson itu harus diawasi," tuturnya kepada GATRA.

Dana yang dikelola koperasi Hanson ini, bagi Boyamin juga bermasalah. OJK bisa dipermasalahkan karena lalai dan membiarkan Hanson menggunakan dana koperasi yang tak berizin. Memang, koperasi Hanson ini sudah lebih dahulu mengumpulkan uang sebelum izin diterbitkan. Terlebih, dalam aturannya, koperasi hanya bisa memberikan akses terhadap anggota, sedangkan banyak korban Hanson bukan anggota koperasi tersebut.

Persoalan ini kemudian dijawab oleh Deputi Bidang Pengawasan Kementerian Koperasi dan UKM, Ahmad Zabadi. Menurutnya, maraknya bank gelap dengan nama koperasi, karena rendahnya tingkat literasi masyarakat terhadap koperasi. Akhirnya, substansi dari koperasi itu sendiri tak dipahami secara utuh.

Oleh karena itu, Zabadi mengatakan bahwa pihaknya menggandeng OJK serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk bergerak memberikan sosialisasi terkait praktik ilegal dan penyalahgunaan nama koperasi. "Dan penyalahgunaan koperasi yang terkait dengan praktek pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme (PPU dan PPT)," katanya kepada Ryan Puspa Bangsa dari GATRA pada Senin, 14 September lalu.

Dalam lingkup koperasi, kata Zabadi, tidak ada istilah gagal bayar. Hal ini karena anggota koperasi tidak hanya sebagai pengguna, tetapi juga pemilik koperasi. Dalam beberapa kasus, koperasi gagal bayar bisa terjadi karena nilai dan prinsip koperasi tidak dijalankan seutuhnya. "Hal ini menjadi perhatian khusus kami untuk terus memantau dan melakukan koordinasi secara intens, baik kepada koperasi yang bersangkutan maupun dengan pihak-pihak lain yang berkaitan," ujarnya.

Zabadi juga meminta peran aktif masyarakat, bila menemukan dugaan praktik gagal bayar dan skema shadow banking yang dilakukan mengatasnamakan koperasi. Tiap laporan tentu akan ditindaklanjuti secepat mungkin. "Maraknya kasus investasi bodong/praktik ilegal dan gagal bayar ini, menjadi latar belakang Kementerian Koperasi dan UKM melakukan moratorium terhadap penerbitan izin usaha simpan pinjam melalui SE Nomor 26 Tahun 2020 yang belaku selama tiga bulan," ucapnya.

Untuk mencegah tidak ada lagi koperasi seperti Hanson, Zabadi sudah membagi pengawasan perkoperasian didasarkan atas wilayah. "Untuk mendukung pelaksanaan fungsi pengawasan koperasi menjadi lebih efektif, pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota dibentuk Satuan Tugas (Satgas) Pengawasan. Saat ini berjumlah 1.750 orang petugas," tuturnya.

Selain itu, pihaknya juga melakukan rekrutmen bagi pejabat fungsional pengawas koperasi, baik di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. Nantinya, fungsi pengawasan koperasi akan dilakukan para pejabat fungsional yang memiliki tugas pokok sebagai pengawas koperasi.

Bagi Zabadi, dalam tiap koperasi itu wajib memiliki perangkat pengawas koperasi. Pengawas ini ditunjuk dan diangkat oleh anggota dalam rapat. "Pengawas koperasi internal inilah yang menjadi ujung tombak untuk mengawasi jalannya organisasi dan bisnis koperasi," katanya.

Selanjutnya, dalam upaya memperkuat eksistensi koperasi ke depan, Kementerian Koperasi dan UKM telah mengusulkan beberapa perubahan peraturan terkait kelembagaan, termasuk kemudahan pendirian koperasi. Hal ini juga telah diusulkan juga dalam Omnibus Law dan memiliki tiga hal penting terkait peningkatan efektivitas pengawasan.

Pertama, peraturan tentang penguatan fungsi pengawasan koperasi. Kedua, pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Koperasi. Dengan adanya LPS Koperasi, diharapkan menjadi pelindung bagi anggota koperasi yang menempatkan dananya. Ketiga, pengaturan sanksi pidana dan denda terhadap pelanggaran serta penyelewengan yang dilakukan koperasi.

"Makin kompleksnya permasalahan koperasi, khususnya koperasi simpan pinjam, maka selain adanya pembinaan dan berujung pada sanksi adminitratif, juga perlu adanya sanksi pidana dan denda bagi koperasi yang melakukan tindak pidana dan pelanggaran," Zabadi menuturkan.

Aditya Kirana