Home Ekonomi Berladang Gas, Menyalakan Lampu Papua

Berladang Gas, Menyalakan Lampu Papua

Misi Presiden Jokowi mendistribusikan listrik di Indonesia Timur menghadapi tantangan. Awal 2020 Menteri ESDM Arifin Tasrif meneken Kepmen ESDM mengenai gasifikasi yang mempercepat konversi PLTD ke PLTG. Ada solusi dari anak bangsa untuk menyalakan listrik di Papua dan kawasan yang lain dengan gas dari lapangan gas di Papua

 

Gatrareview.com - Pemerintah terus berupaya melakukan reformasi di sektor migas. Terbaru, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) melakukan pemetaan untuk menekan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) pada pembangkit listrik serta mengubahnya menjadi bahan bakar gas (BBG). Hal itu tindak lanjut dari Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengenai gasifikasi dalam kelistrikan.

“Sebagai bentuk implementasi, PLN telah melakukan identifikasi untuk memetakan perencanaan konstruksi pembangkit dan rencana pengoperasian pembangkit yang menggunakan BBM dan gas,” kata Direktur Utama PT PLN, Zulkifli Zaini dalam rapat dengan Komisi VII DPR pada 28 Januari 2020.

Zulkifli menjelaskan terkait pembangkit BBM dan gasifikasi, PLN telah memetakan lima (5) wilayah meliputi Sumatra bagian Barat, Kalimantan bagian Utara, Jawa bagian Timur, Bali-Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua.

Untuk diketahui, Kepmen ESDM Nomor 13K/13/MEM/2020 yang diterbitkan Menteri ESDM Arifin Tasrif pada 10 Januari 2020 mengatur tentang Penugasan Pelaksanaan Penyediaan Pasokan dan Pembangunan Infrastruktur LNG serta Konversi Penggunaan BBM dengan LNG dalam Penyediaan Tenaga Listrik.

Zulkifli membeberkan konsumsi BBM yang diserap PLN pada 2019 yakni sebesar 2,6 juta kiloliter (kl). Berdasarkan kalkulasi PLN, pengubahan bahan bakar pembangkit menjadi gas bisa mengurangi konsumsi BBM sekitar 1,6 juta kl. Pengurangan itu, terang Zulkifli, bisa menghemat biaya operasi sebesar Rp4 triliun per tahun.

Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2019-2028, porsi pembangkit berbasis gas yang meliputi Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG)/Mesin Gas (PLTMG)/Gas Uap (PLTGU) ditarget mencapai 12.617 megawatt (MW) atau sekitar 22% dari total bauran energi.

Untuk mewujudkan pembangunan infrastruktur gas alam cair (LNG) untuk pembangkit tenaga listrik tidak hanya melibatkan peran PLN tetapi juga PT Pertamina (Persero). Kedua perusahaan itu juga telah meneken Head of Agreement (HoA) terkait penyediaan pasokan dan pembangunan infrastruktur LNG untuk pembangkit listrik milik PLN untuk jangka waktu 20 tahun.

“Kerja samanya dalam bentuk suplai dari Pertamina ke pembangkit PLN yang menggunakan diesel,” ujar Menteri ESDM Arifin Tasrif kepada wartawan di Kementerian ESDM, Jakarta Pusat, pada 27 Februari 2020.

Arifin mengatakan akan ada 52 pembangkit BBM yang akan dikonversi menggunakan bahan bakar gas. Konversi tersebut diyakini akan menciptakan penghematan serta pengurangan emisi gas rumah kaca. Arifin mengakui masih ada kebutuhan BBM di beberapa pembangkit yang sulit dijangkau karena terletak di pulau terpencil.

Diketahui, 52 pembangkit yang akan dikonversi tersebut memiliki kapasitas listrik sebesar 1.697 MW. Pembangkit-pembangkit tersebut membutuhkan gas dengan volume total sebesar 167 BBTUD.

Proyek Tol Laut LNG dan Relevansinya

Indonesia memiliki sumber daya energi gas alam yang berlimpah. Pada 2017, Indonesia sempat dinobatkan sebagai 5 besar negara eksportir gas alam cair (LNG). Sebagian besar gas di tanah air diekpor ke Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Cina dan Amerika Serikat. Sayangnya gas alam yang diekspor masih dipatok dengan harga yang murah. Padahal gas tersebut dapat diperuntukkan untuk pembangkit listrik terutama di wilayah timur Indonesia menggantikan impor BBM yang mahal.

Presiden Jokowi sejak awal masa pemerintahannya sudah mencanangkan proyek pembangunan listrik 35.000 MW di seluruh wilayah Indonesia dan sekitar 3.850 MW akan dibangun di wilayah timur Indonesia yakni: Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara dan Papua. Dari besaran itu, sebanyak 2.450 MW (7%) akan dibangun menggunakan gas alam sebagai bahan bakar.

Realisasi pembangunan proyek listrik berbahan bakar gas didukung dengan kehadiran Kepmen ESDM Nomor 13K/13/MEM/2020 yang menugaskan Pertamina dan PLN mengebut pembangunan infrastruktur LNG dan konversi pembangkit listrik dari jenis bahan bakar minyak high speed diesel (HDS) ke gas di 52 lokasi pembangkit listrik. Keputusan tersebut turut didukung banyak pihak karena mempercepat penyediaan listrik di lokasi terpencil khususnya di Indonesia Timur.

PT Aluflo RajaAmpat sebagai perusahaan jasa konsultansi dan penyedia layanan pembangkit listrik dan energi menyatakan kesiapannya membangun infrastruktur gas alam untuk menyalakan listrik di Papua. Sejak perusahaan berdiri pada 2010, PT Aluflo RajaAmpat sudah berkonsentrasi merancang Virtual Gas Pipeline Network atau Tol Laut LNG yang dibangun di wilayah timur Indonesia.

Presiden Direktur PT Aluflo RajaAmpat, Johand Dimalouw mengatakan sejauh ini listrik di Papua dan Papua Barat sangat bergantung pada Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang mengandalkan BBM. “Pada 2017 setelah diresmikan, sejumlah PLTD tersebut mangkrak karena kesulitan pasokan BBM. Sehingga listrik sering mati dan tidak mampu menerangi Papua dan Papua Barat selama 24 jam karena persoalan BBM,” ujar Johand saat diskusi dengan Gatra review, pada Rabu, 29 Juli 2020.

Kendala lain mangkraknya pembangkit di tanah Papua, terang Johand, juga dipengaruhi faktor geografis. Di Jayapura dan Manokwari misalnya, kapal pengangkut BBM kesulitan masuk pelabuhan karena dasar laut yang dangkal. Pelabuhan di Jayapura misalnya memiliki kedalaman 10 meter dan Pelabuhan di Manokwari memiliki kedalaman 6 meter.

“Untuk mencapai dasar 10 meter, diperlukan kapal berkapasitas 10.000 m3. Sedangkan untuk mencapai dasar 6 meter, diperlukan kapal berkapasitas 3.000 m3,” ucap mantan Vice President Operations Support Caltex Pacific Indonesia itu.

Terbitnya Kepmen ESDM terkait gasifikasi dalam kelistrikan, menurut Johand, dapat menjadi terobosan dalam proyek listrik di Papua. Salah satu solusi teknis untuk melistriki Papua adalah dengan mengandalkan bahan bakar gas yang ada di lapangan gas Tangguh.

“Pemerintah disarankan untuk membangun stasiun pembangkit dan fasilitas LNG yang berfungsi sebagai stasiun penerimaan dan penyimpanan LNG dengan dukungan kapal mini LNG,” katanya.

Johand menyebutkan konsep melistriki Papua dengan bahan bakar gas (BBG) sudah mulai ia kaji sejak 2007. Sebagai seorang insinyur jurusan Tenaga Listrik di ITB, Johand memang punya keahlian dalam merancang sistem ketenagalistrikan. Sementara ilmu perminyakan ia rengkuh saat berkarier di Caltex dan menempuh jalur pendidikan Petroleum Engineering di Oil and Gas Climate Initiative (OCGI) di Tulsa, Amerika Serikat pada 1987.

Setelah konsep Virtual Gas Pipeline Network rampung, Johand mengajukan proposal tol laut LNG di Kementerian ESDM pada 2013. Dua tahun setelahnya, ia juga melayangkan proposal ke PLN. Namun kedua institusi tersebut bergeming. PLN, seingatnya berniat mengerjakan proyek tersebut di masa datang dan menjadikan tol laut LNG bagian dari rencana induk proyek.

Tak patah arang, Johand juga sempat mengutarakan niatnya membangun infrastruktur LNG dan listrik di Papua kepada pejabat Kementerian ESDM, Evita Herawati Legowo (saat itu menjabat sebagai Dirjen Migas Kementerian ESDM). Meski mendukung konsep “melistriki” Papua, Evita memiliki pandangan yang berbeda dengannya.

“Bu Evita waktu itu bilang pakai pipa aja [distribusinya], nanti kita bangunkan jalan,” ucap Djohand menirukan pesan Evita. Menurutnya konsep yang menunggu selesainya pembangunan jalan sebagai sesuatu yang makan waktu. “Kalau saya tunggu pipanya Bu Evita, Jayapura sampai Raja Ampat udah ada jalan belum?. Kita aja ditembak-tembak di Nduga sana,” katanya.

Johand mengatakan pemanfaatan gas untuk sumber pembangkit listrik memiliki efisiensi yang tinggi sehingga biaya operasional pembangkit listrik (rupiah per kwh) rendah. Selain itu pemakaian gas juga dapat menurunkan biaya listrik karena mengurangi subsidi pemerintah dan mendukung realisasi Program Langit Biru untuk mengurangi efek rumah kaca dari polutan karbon.

Dirinya memberikan perhitungan moderat, pada harga LNG US$ 4 per MMBTU (sebagai insentif yang ditentukan Menteri ESDM agar gas dipakai di dalam negeri) ditambah US$ 7 per MMBTU untuk biaya infrastruktur gas (termasuk LNG regas dan penyimpanan di lokasi penerima), biaya gas alam di pembangkit menjadi US$ 11 per MMBTU. “Maka penghematan subsidi pemerintah adalah sekitar 50%,” terangnya.

Sementara pada harga LNG US$ 6,00 per MMBTU, biaya gas alam di pembangkit adalah US$ 12 per MMBTU. Maka penghematan subsidi pemerintah menjadi sekitar 40%. Selain itu BBM dari minyak HSD juga dapat dihemat sebanyak 1.483 juta liter per tahun setara Rp13,50 triliun per tahun. “Kalau kita laksanakan keputusan Menteri ESDM Arifin Tasrif, negeri ini bisa menyelamatkan uang negara sebesar US$ 1,12 juta per hari,” katanya.

Sistem Logistik dan Kapal Pengangkut

Sebagai orang Papua (lahir di Waigeo, Raja Ampat, 12 Juli 1947), Johand mengaku ingin memajukan tanah kelahirannya. Berlatar belakang akademik yang tinggi serta pengalaman manajerial yang panjang, mantan Ketua Presidium Yayasan Pendidikan Cendana itu bertekad untuk “melistriki” Papua khususnya di tanah kelahirannya, Raja Ampat.

Johand mengerahkan kemampuan akademiknya untuk merancang konsep Virtual Gas Pipeline Network. Rancangan itu memuat sistem distribusi dan rantai pasok gas ke berbagai wilayah di Indonesia. Gas yang diperoleh dari pabrik LNG Tangguh di Teluk Bintuni, Papua Barat dipindahkan dengan kapal LNG berukuran besar ke Hub penyimpanan LNG di wilayah timur Indonesia.

Dari Hub penyimpanan LNG tersebut barulah didistribusikan dengan kapal LNG mini untuk menjangkau pelabuhan-pelabuhan yang dangkal, lokasi PLTG berdiri. Johand merinci kapal pengangkut memiliki panjang 147 meter dengan kecepatan 15 knot. Untuk kapal berukuran menengah (kapasitas 10.000 m3) dinamainya “Kurabesi”. Sementara kapal berukuran kecil (kapasitas 3.000 m3) ia beri nama “Tartaruga”.

Desain dan konstruksi kapal dikerjakan di galangan kapal di Belanda. Konsep penggunaan kapal mini untuk LNG sebelumnya sudah diterapkan di lepas pantai Norwegia dan Jepang. “Karena [timeline] yang paling panjang itu bikin kapalnya 30 bulan ditambah waktu perjalanannya 6 bulan, dari Eropa sana sampai sini. Kita butuh persiapan 3 tahun untuk konstruksi,” katanya.

Penyaluran BBG di lepas pantai, sambung Johand, cocok untuk kondisi Indonesia, negara kepulauan dengan perairan yang luas.Sekali jalan, kapal diperkirakan bisa memasok kebutuhan gas ke tiga (3) lokasi PLTG yakni Jayapura (50 MW), Manokwari (30 MW) dan Sorong (50 MW).

Selain merancang rute dan manajemen logistik yang efisien, hal yang tak kalah penting diperhatikan yakni faktor safety. Oleh karenanya, terang Johand, perlu rancangan kapal yang sesuai kebutuhan serta aman dari risiko. “Kenapa gas dari Qatar sampai ke Tokyo itu pakai kapal LNG, beda gas dari Rusia ke Eropa pakai pipa. Artinya ada faktor security segala macam, jadi banyak faktor yang bermain di situ,” katanya.

Johand mengatakan konsep yang ia paparkan banyak mencerna dari dinamika global. Dimana banyak negara mulai beralih ke gas untuk pengembangan listrik. Sementara untuk distribusi menggunakan teknologi kapal. “Aku belajar dari teman-teman nyontek [teknologinya] juga. Di ITB juga belajar,jadi aku hanya berpikir nyambung-nyambung terus bisa,” ucapnya merendah.

Ia berkeinginan di tahap awal, proyek dapat berjalan di Papua. Pembangunan PLTG menurutnya harus memperhatikan rantai pasok distribusi dan cakupan wilayah.“Yang Jayapura udah dibangun [PLTG] 50 MW di tempat yang salah sehingga kapal enggak bisa masuk-masuk sampai hari ini. Yang Manokwari sudah dibangun di tempat yang salah. Yang di Sorong sudah dibangun di tempat yang benar. Kasihan sekali, ini 3 kota yang mau saya bangun,” keluhnya.

Dirinya berharap studi kelayakan yang ia lakukan dapat diimplementasikan dan pemerintah melalui Pertamina dan PGN dapat memberikan penugasan ke PT Aluflo RajaAmpat, perusahaan lokal Papua, untuk terlibat dalam pengadaan infrastruktur gas di Papua. “Kami merasa paling qualified,”ucapnya.

Andhika Dinata dan G.A. Guritno

766