Home Politik Pasukan Siber Trump Lebih Banyak di Medsos, Tapi...

Pasukan Siber Trump Lebih Banyak di Medsos, Tapi...

Jakarta, Gatra.com - Hasil analisis pada media sosial menemukan bahwa calon petahana Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, memiliki pasukan media sosial yang lebih banyak dan kuat dari calon presiden AS, Joe Biden.

Hal ini disampaikan berdasarkan analisis Pendiri Drone Emprit dan Media Kernels Indonesia, Ismail Fahmi, pada Minggu (8/11), dalam diskusi daring bersama LP3ES bertajuk "Pilpres AS 2020: Pelajaran Bagi Indonesia". 

Menurutnya, pasukan media sosial atau pasukan siber merupakan kelebihan yang dimiliki oleh Trump sehingga membuat petahana itu jauh lebih populer dari Biden. "Sementara Biden, di sisi lain, lebih banyak didukung oleh akun politisi dan artis, yang memiliki basis pendukungnya masing-masing," ujarnya. 

Kendati demikian, Fahmi menerangkan bahwa bukan berarti pasukan siber bisa memuluskan jalan Trump untuk kembali menduduki kursi presiden AS. Pasalnya, isu yang berkembang di publik berkutat perihal keberpihakan media dan platform terhadap "truth". Topik ini mewarnai percakapan di media sosial. 

Dengan demikian, pasukan siber tidak berperan secara substansial. Karena bagaimanapun, baik Trump dan Biden, sama-sama memiliki tokoh politik yang influensial, bukan didominasi oleh buzzer dan influencer non-natural. Dan hal demikian berfungsi secara substansial karena mampu menarik simpati publik, dan seharusnya, hal itu bisa menjadi pelajaran penting bagi kontestasi politik nasional di Indonesia. 

Fahmi menjelaskan, penggunaan pasukan siber dan situs yang menyebar disinformasi pada saat kampanye dan selama masa pemerintahan, justru akan membangun pelecehan di masyarakat. "Banyaknya hoaks dan sulitnya mencari kebenaran, serta kecurigaan di mata masyarakat. Hal ini harus menjadi perhatian agar tidak terjadi di Indonesia," kata dia. 

Oleh karena itu, para tokoh di Indonesia perlu aktif bermedia sosial dalam menyampaikan pandangan mereka dan berkomunikasi dengan konstituen. Hal ini tampak pada cluster Trump dan Biden, di mana para politisi merupakan top influencer, bukan para buzzer dan influencer yang dibayar. 

"Interaksi aktif tanpa influencer dan buzzer akan menjadi pembelajaran politik menjadi semakin baik bagi publik, dan suara publik akan terdengar oleh wakilnya," ujarnya. 

420