Home Milenial Eksisnya Fotografi di Tengah Serangan Hoaks

Eksisnya Fotografi di Tengah Serangan Hoaks

Palembang, Gatra.com – Dunia memotret masa kini semakin diganderungi oleh masyarakat khususnya kalangan milenial. Mereka tidak mau kalah mendokumentasikan peristiwa jalanan (street) yang mereka temui, dan disinambungkan di media sosial miliknya.

Jelas hal ini didorong mudah dan murahnya harga kamera di pasaran. Bahkan dengan modal smartphone, para menyuka fotografi sudah bisa mendapatkan hasil bidikan objek foto yang diinginkan pada momen tertentu.

Kendati demikian, persoalan kemudian muncul ketika media untuk menyebar atau mempublis gambar atau foto bisa dilakukan dengan mudah di media sosial. Hoaks atau informasi bohong dari sebuah foto pun semakin banyak berselieran di internet terkhusus media sosial.

Melihat fenomena ini, Pendiri Pewarta Foto Indonesia (PFI) Sumatera Selatan (Sumsel), Mushaful Imam mengaku, hal itu (hoaks) menjadi tantangan (warning) bagi fotografer atau pewarta foto profesional yang ada saat ini.

“Tidak jarang, hasil fotoan dari fotografer ini menjadi objek hoaks. Sebagaimana berita, karya fotografi juga banyak dijadikan oleh pihak atau oknum di “salah gunakan” untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu,” ujarnya kepada Gatra.com yang dijumpai pada gelaran pameran foto yang bertajuk “Kilas Balik Sumsel 2018-2019” di Opi Mall Banyuasin, Sumsel, Kamis (3/12).

Dalam situasi ini, Alumni Unsri 1997 silam itu, mendorong kepada para pewarta foto atau orang-orang penyuka fotografi untuk turut berkontribusi melawan hoaks. Salah satunya memberikan keterangan (teks) pada karya fotonya, yang menjelaskan informasi hasil jepretannya secara objektif sebelum dimuat di media atau dishare ke publik melalui media sosial.

Menurutnya, hal ini terjadi akibat masih banyak yang tidak paham seperti apa menggunakan foto itu sebagai alat komunikasi. Terkadang komunikasinya salah dengan foto itu. Fotografer memotret menjadi bias informasinya yang mau disampaikan, karena tidak menyertakan keterangan (caption) dengan kondisi sekarang sering dimanfaatkan ke hal yang tidak baik.

“Jadi hoaks itu sebenarnya salah satunya terjadi, akibat ketidakpahaman kawan-kawan atau orang-orang seperti apa foto itu dilahirkan atau sekedar mendokumentasikan,” jelasnya.

Sambung fotografer senior Sumsel, dengan segudang prestasi itu, esensi memotret itu apa yang ada, didokumentasikan, diberi keterangan dan harus jelas. Jangan membuat opini dalam sebuah foto alias harus mengungkap fakta atau menyajikan foto apa adanya tanpa membuat opini.

“Jadi, teks atau keternagan pada foto sangat penting, sehingga ketika ada pihak yang memanfaatkan gambar kita dengan jalan yang salah, maka kita mudah untuk mengetahuinya melalui piranti penelusuran di internet,” kata dia.

Pada kesempatan ini, bapak dua orang putri ini juga mencertikan seperti apa perkembangan dunia fotografi di era digital atau revolusi industri 4.0. Begitu banyak macam fotografi yang lahir, ditunjang oleh teknologi saat ini.

Dari pengamatannya, dari semua itu genre foto jalanan yang banyak dilakukan. “Aliran jurnalistik itu banyak digemari sekarang karena mereka memotret punya tantangan. Di jalanan dia harus peka, berani dan harus rajin. Jadi banyak tantangan di situ,” kata dia.

Mushaful mencoba membandingan dengan forografi di ruangan atau objek yang sudah ditentukan, salah satinya foto model. “Kalau di lain street misalnya foto model kan gampang. Mengatur lighting mudah dan lain-lain. Tapi kalau foto jalanan itu tidak bisa. Dengan keterbatasan waktu, harus menguasai kamera dan dengan waktu terbatas itu juga ia harus menguasai gambar,” tuturnya.

Di situasi ini, tentu tidak sedikit pula hal positif yang bisa didapat oleh penyuka dunia fotografi. Kemudahan berinteraksi di ruang yang berbeda. “Banyak pengalaman, ilmu, bahkan sharing fotopun sudah tidak ada batas lagi,” tandasnya.

134