Home Gaya Hidup GUSDURian: Konten Aisha Weddings Ingkari Tujuan Agama

GUSDURian: Konten Aisha Weddings Ingkari Tujuan Agama

Jakarta, Gatra.com – Jaringan GUSDURian Indonesia menilai bahwa konten kampanye Aisha Weddings, di antaranya kampanye pernikahan dini atau pernikahan anak bertentangan serta mengingkari tujuan agama.

"Tujuanagama yakni terciptanya kemaslahatan bersama, termasuk kemaslahatan keluarga dan anak," kata Alissa Wahid, Koordinator Jaringan GUSDURian Indonesia dalam pernyataan sikap organisasinya pada Kamis (11/2).

Selain itu, GUSDURian Indonesia juga menilai bahwa hal tesebut bertentangan dengan hukum positif Indonesia, yakni Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak Nomorr 23 Tahun 2002 dan UU Nomor 35 Tahun 2014, serta UU Perkawinan UU Nomor 1 Tahun 1974 dan UU Nomor 16 Tahun 2019.

GUSDURian Indonesia mengeluarkan pernyataan sikap menanggapi selebaran (flyer) yang menawarkan jasa penyelenggaraan perkawinan atau Wedding Organizer (WO) sekaligus mempromosikan kawin siri, menikah pada usia muda, dan poligami beberapa hari terakhir.

Selebaran yang menghebohkan itu diunggah laman https://aishaweddings.com yangjuga menawarkan jasa pernikahan dini dan poligami dengan mengatasnamakan ajaran agama.

"Salah satu prinsip gagasan Pribumisasi Islam yang diusung oleh Gus Dur adalah bahwa muara dari praktik keagamaan adalah kemaslahatan," ujarnya.

Putri dari almarhum Gus Dur ini, melanjutkan bahwa tujuan kemaslahatan ini berpijak pada lima prinsip atau ad-dhoruriyatul khamsah, yakni menjaga jiwa (hifz an-nafs), menjaga agama (hifdz al-dien), menjaga akal (hifdz al-‘aql), menjaga keturunan (hifdz al-nasl), dan menjaga harta (hifdz al- maal).

Menurut Gus Dur, lanjut Alissa, prinsip menjaga keturunan (hifz nasl) tersebut artinya adalah bahwa kita juga harus menjaga kesehatan reproduksi perempuan dan anak, termasuk dalam hal ini adalah menentukan usia nikah yang tepat, menjaga jarak kelahiran, serta memperhatikan kesejahteraan anak, seperti pemenuhan gizi, tumbuh kembang yang baik , pendidikan, dan lain sebagainya.

"Perkawinan anak juga telah melanggar prinsip hifdz al-‘aql yakni hak anak untuk memperoleh pendidikan dan hifd nafs terkait tingginya angka kematian ibu yang diakibatkan oleh terlalu dininya seorang perempuan menikah," ujarnya.

Selain itu, perkawinan anak berisiko menimbulkan persoalan di tingkat keluarga, seperti kemiskinan, konflik, kekerasan dalam keluarga, dan kehancuran keluarga sehingga tidak akan terwujud kemaslahatan sakinah mawaddah rahmah bagi setiap orang dalam keluarga.

Pada akhirnya, hal itu akan berujung pada timbulnya berbagai persoalan di tingkat negara dan bangsa, seperti Indeks Pembangunan Manusia yang rendah, kualitas warga yang rendah, problem kesehatan masyarakat, angka kematian ibu dan bayi, stunting, tingkat pendidikan terutama perempuan, dan kemiskinan.

"Kami berpandangan bahwa peristiwa ini merupakan puncak gunung es yang di belakangnya telah dilatari oleh semakin menguatnya pemahaman keagamaan yang sempit," kata Alissa.

Selain itu, lanjut dia, peristiwa ini juga merupakan dampak dibiarkannya praktik-praktik ultra konservatif dalam beragama yang justru merugikan dan jauh dari tujuan-tujuan agama.

"Hal itu ditambah dengan budaya patriarki yang masih sangat kuat, rendahnya pendidikan, kemudahan mekanisme nikah tak tercatat, dan tingginya tingkat kemiskinan," ujarnya.

372