Home Kesehatan Data WHO: Penggunaan Antibiotik Naik 91% secara Global

Data WHO: Penggunaan Antibiotik Naik 91% secara Global

Jakarta, Gatra.com – Dukungan sektor swasta dan kesadaran masyarakat berperan penting dalam pengendalian Antimicrobial Resistance atau Resistensi Antimikroba (AMR) di Indonesia.

Kontribusi dari seluruh stakeholder kesehatan terkait dalam menerapkan tata laksana penggunaan antibiotik yang lebih baik di fasilitas kesehatan (faskes) sangat diperlukan. Selain itu, dukungan komunitas pasien yang berjalan sinergis dan saling melengkapi juga sangat berperan untuk mengatasi tantangan AMR yang kian kompleks di era pandemi Covid-19.

Sementara itu, penggunaan antibiotik yang tidak sesuai dengan rekomendasi dokter (overuse dan misuse) merupakan salah satu penyumbang terbesar angka AMR di dunia kesehatan.

Berdasarkan data World Health Organization atau Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), penggunaan antibiotik telah meningkat 91% secara global dan meningkat 165% di negara-negara berkembang pada periode 2000-2015. Sehingga, menjadikan AMR salah satu dari sepuluh ancaman kesehatan global yang paling berbahaya di dunia.

Meskipun situasi AMR di masing-masing kawasan berbeda, tetapi Asia adalah kawasan yang memiliki prevalensi AMR yang tinggi. Alhasil, dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Menteri Luar Negeri Association of Southeast Asian Nations atau Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) plus three ke-21 di Vietnam beberapa waktu lalu, telah disepakati perlunya upaya bersama mengatasi AMR.

Dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Penyakit Tropik dan Infeksi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. Soetomo, Erwin Astha Triyono, pada Kamis (10/6), mengutarakan bahwa masih perlu upaya bersama untuk mengendalikan penggunaan antibiotik.

Menurutnya, budaya menggunakan antibiotik yang bijak perlu ditunjang sistem promosi dan edukasi yang berkelanjutan. Jumlah tenaga ahli mikrobiologi atau patologi klinik perlu ditambah dan didistribusi secara merata di seluruh wilayah Indonesia.

Ia juga menyebut, kelengkapan alat-alat mikrobiologi dan standardisasi nasional serta keteraturan melakukan pemutakhiran pola resistensi kuman sangat diperlukan. Adapun revisi tata laksana penggunaan antibiotik juga perlu dilakukan secara berkala.

"Dari sisi masyarakat, masih terdapat persepsi bahwa setiap penyakit harus menggunakan obat atau antibiotik, padahal banyak penyakit infeksi, khususnya yang disebakan oleh virus sebenarnya bersifat self-limiting disease, sehingga lebih banyak memerlukan istirahat dan nutrisi yang baik," ungkap Erwin.

Menurutnya, banyak pasien yang berusaha mengobati penyakitnya sendiri dan bahkan membeli obat, termasuk antibiotik di apotek setelah penyakitnya memburuk. Sehabis itu, malah baru berkonsultasi ke dokter atau layanan kesehatan. Hal ini yang sering menyebabkan kuman menjadi resisten dan menimbulkan beban biaya menjadi lebih besar.

Erwin melanjutkan, masyarakat perlu menggunakan antibiotik secara bijak, rasional, dan tuntas supaya angka kesembuhan meningkat serta mengurangi lama rawat inap, angka kesakitan dan kematian, pembiayaan, penularan kepada orang lain, dan mencegah resistensi.

"Selain meningkatkan peran semua pihak, termasuk pemerintah [dalam hal ini lintas kementerian] serta swasta untuk mendukung program pengendalian resistensi antibiotik, peningkatan implementasi program di semua fasilitas kesehatan juga penting untuk dilakukan," ujarnya.

5117