Home Ekonomi Boleh Tidaknya Penukaran Aset Wakaf yang Terdampak Proyek Strategis Nasional

Boleh Tidaknya Penukaran Aset Wakaf yang Terdampak Proyek Strategis Nasional

Jakarta, Gatra.com - Wakil Ketua Badan Pelaksana Badan Wakaf Indonesia (BWI), Imam Teguh Saptono menjelaskan tentang pengamanan aset wakaf yang di dalamnya memuat proses istibdal atau penggantian harta benda wakaf.

Imam menuturkan bahwa yang dimaksud pengamanan wakaf adalah menjaga maslahatnya. Amanat wakaf sendiri adalah menjaga pokok pada asetnya agar melahirkan kemaslahatan yang berkesinambungan.

“Yang dimaksud pengamanan wakaf itu bukanlah pengamanan tanah dalam artian materi tanah yang terdiri dari unsur hara atau vegetasi, tetapi sesungguhnya yang kita jaga adalah maslahatnya.” ungkapnya dalam webinar Pengamanan Aset Wakaf Terdampak Proyek Strategis Nasional pada Senin (16/08).

Kemudian, Imam menjelaskan bahwa wakaf sangat dinamis, setiap waktu bisa terjadi perubahan persepsi dan penafsiran sejalan dengan dinamika sosial, serta perubahan dimensi waktu dan tempat, karena sebagian besar dalil-dalil yang digunakan dalam fikih wakaf bersifat ijtihad, bukan qath’iyah atau bersifat pasti,. Meski demikian, Imam menilai tentunya terdapat hikmah tersendiri dengan masuknya wakaf dalam area Ijtihad.

“Domain Waqaf masuk dalam ijtihad. Hal ini berbeda dengan zakat di mana jumlah, waktu dan siapa yang menerima sudah diatur secara jelas dalam dalil maupun hadist.” jelasnya.

Berdasarkan landasan hukum, Imam menerangkan bahwa aturan penukaran atau pergantian harta benda wakaf telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf; Peraturan Pemerintah Nomor PP 25 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas PP 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

Dalam kesempatan tersebut, Imam menyebutkan bahwa nazir menjadi sosok yang memegang peran utama dari pergantian atau penukaran aset wakaf. Nazir sendiri merupakan pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya

“Tokoh sentral dari pergantian atau penukaran aset wakaf adalah Nazir itu sendiri. Di mana nazhir memiliki tugas administrasi, mengelola dan mengmbangkan, mengawasi dan melindungi serta melaporkan.” ujarnya.

Imam menekankan bahwa yang perlu diingat oleh nadhir adalah aser wakaf bukanlah miliki mereka, melainkan milik Allah dan harus dipertanggungjawabkan. Maka itu, penting bagi nazir untuk mampu menyadari sundut pandang maslahat.

“Karena sejatinya apa yang dia lakukan bukan bertransaksi antara dia sebagai pengelola aset wakaf dengan sang pemiliki proyek, apakah itu negara dalam konteks ini atau pihak ketiga lainnya. Tetapi sejatinya yang dilakukan oleh nadhir adalah merepresentasikan kepentingan daripada Allah SWT. ” paparnya.

Selain itu, terdaftarnya harta benda wakaf atas nama nadzir, tambah Imam, tidak dapat dijadikan bukti kepemilikan. Penggantian nazir juga tak mengakibatkan peralihan harta benda wakaf bersangkutan.

Imam menyebutkan bahwa tak jarang sorang nazir diganti. Ia mencontohkan sorang nazir yang berorientasi pertanian mengelola sebidang tanah wakaf, namun pada saat tanah tersebut harus ditukar, lantas potensi tanah wakaf yang baru tidak untuk pertanian, maka tak masalah dipilih nazir baru yang memiliki kapasitas lain.

“Jadi sebenarnya apa yang dilindungi? Apa yang harus diamankan? Yaitu maslahah, tetap pada prakteknya, pada saat terjadi penukaran, maslahah itu tetap harus bisa diukur.”

Lebih lanjut, Imam menjelaskan tentang dibolehkannya harta benda wakaf ditukar. Setidaknya berdasarkan hukum fiqih, terdapat dua prinsip yang membingkai tasyri’ wakaf, yakni prinsip keabadian dan prinsip kemanfaatan. Hanya saja pada prakteknya terdapat perbedaan antar mazhab.

“Ada kelompok yang cenderung mempersulit istibdal, contohnya dari mazhab Syafi’i dan Mazhab Maliki. Sementara ada kelompok yang cenderung mudah terkait penukaran wakaf, contohnya Mazhab Hanafi dan Mazhab Hambali.”

Terkait hal tersebut, Imam pun mengambil contoh dari beberapa negara. Pertama, Imam mencontohkan Mesir dan Kuwait yang di sana bahkan dijumpai praktek penjualan aset wakaf.

“Tanah wakaf yang seperti apa? Tanah wakaf yang ukuran lebih kecil lalu dijual untuk membeli tanah yang ukurannya lebih luas atau strategis sehingga pemanfaatannya lebih optimal.” jelasnya.

Tak hanya itu, juga terdapat praktik penukaran tanah Wakaf yang justru tidak ditukar dengan tanah yang terjadi di Singapura. Di negara itu terdapat 47 unit pengelola aset wakaf yang terdaftar, 18 di antaranya pengelola dalam bentuk wakaf uang.

“18 Nazir wakaf uang ini berasal dari konversi tanah-tanah yang diakuisisi oleh negara dan ditukar dengan aset tunai, baik dalam bentuk portofolio investasi.” jelasnya.

Penerapan wakaf di berbagai negara saat ini cenderung membuka jalan Istibdal wakaf sebagai salah satu cara untuk melestarikan kemanfaatan wakaf, dan untuk menghindari terjadinya keterbengkalaian barang wakaf karena beberapa sebab. Munculnya paradigma yang lebih berkonsentrasi pada prinsip pelestarian dan peningkatan manfaat wakaf menggeser paradigma yang selama ini lebih berkonsentrasi pada prinsip penjagaan keabadian barang wakaf.


 

169