Home Hukum Aktivis Lingkungan Minta Pemerintah Perpanjang Moratorium Sawit

Aktivis Lingkungan Minta Pemerintah Perpanjang Moratorium Sawit

Jakarta, Gatra.com – Kebijakan pemerintah untuk menunda pemberian izin operasi perkebunan kelapa sawit (moratorium sawit) melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 akan berakhir pada 19 September 2021.

Aktivis lingkungan dari Yayasan Madani Berkelanjutan dan Yayasan EcoNusa meminta pemerintah agar memperpanjang Inpres tersebut. Sebab, kebijakan itu dinilai belum mampu menuntaskan tata kelola perizinan sawit dan belum meningkatkan produktivitas sawit secara maksimal.

Pendiri Yayasan Madani Berkelanjutan, Teguh Surya mengatakan terdapat dua pertimbangan lain untuk memperpanjang moratorium sawit, yakni penguatan bukti komitmen Indonesia pada mitigasi perubahan iklim dan landasan peraturan untuk sektor sawit yang berkelanjutan.

Menurut Teguh, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2021 dan PP Nomor 24 Tahun 2021 (sebagai turunan Undang-Undang Cipta Kerja atau UUCK) tidak dapat menjamin masa depan tata kelola sawit yang lebih baik dan berkelanjutan di Indonesia.

“PP Nomor 23/2021 dan PP Nomor 24/2021 tidak tegas mengatur bahwa sawit tidak boleh ekspansi di kawasan hutan. Sebaliknya, malah memperbolehkan konversi kawasan hutan yang dibuka untuk sawit,” ungkap Teguh dalam keterangannya, Jumat (17/9).

Pasal 29 dalam UUCK yang mengatur perubahan UU Perkebunan menyebutkan, ‘Perusahaan Perkebunan wajib mengusahakan lahan perkebunan paling lambat dua tahun setelah pemberian status hak atas tanah’. Artinya, pemilik izin perkebunan mesti mengusahakan 100% lahan sawit tertanami dalam waktu paling lama dua tahun.

“Padahal, masih cukup luas keberadaan hutan alam di dalam izin sawit yang harus diselamatkan untuk mencegah bencana dan memenuhi komitmen iklim. Sedikitnya ada 1,4 juta hektar hutan alam yang dianggap punya nilai konservasi tinggi di dalam izin sawit. Belum lagi masalah izin dan konflik lahan dengan masyarakat yang belum selesai,” imbuhnya.

Teguh menilai kedua PP tersebut kontradiktif dengan perbaikan tata kelola yang sedang dilakukan. Sehingga, kebijakan moratorium sawit tetap diperlukan untuk menyelesaikan tata kelola lahan.

“PP turunan UUCK itu semacam peraturan yang melompat dari alur proses yang dibuat sebelumnya, dan justru mendorong percepatan pembukaan lahan sawit di kawasan hutan,” ujarnya.

Teguh menambahkan, komitmen pemerintah untuk menurunkan emisi gas rumah kaca seharusnya turut memperkuat perpanjangan moratorium sawit. Hal ini diperlukan agar ambisi Indonesia mencapai net zero carbon di sektor kehutanan dan penggunaan lahan bisa terwujud.

“Dengan adanya moratorium, sawit Indonesia akan memiliki nilai tambah (produk sawit berkelanjutan) di pasar global dan ekspansi perkebunan kelapa sawit ke kawasan hutan bisa ditahan. Hal ini sangat membantu dalam menurunkan laju deforestasi secara signifikan karena ekspansi lahan sawit yang agresif merupakan sumber utama meningkatnya kontribusi emisi,” jelasnya.

Sementara itu, CEO Yayasan EcoNusa, Bustar Maitar menuturkan evaluasi izin perkebunan sawit perlu didorong pemerintah daerah (pemda) agar tidak merugikan negara. Hingga kini, belum banyak pemda yang melakukan peninjauan, termasuk izin sawit di kawasan hutan di Kalimantan dan beberapa tempat lain.

“Tinjauan perizinan juga berkaitan dengan memaksimalkan pendapatan negara dan menyelamatkan kekayaan negara. Pada kasus yang terjadi di Papua Barat, ternyata hanya sekitar 52.000 ha dari 650.000 ha izin sawit yang telah diberikan pemerintah, yang benar-benar sudah ditanami pohon sawit,” ungkapnya.

327