Home Hukum Otoritarianisme Digital Ditengarai Bangkit di Ruang publik Digital

Otoritarianisme Digital Ditengarai Bangkit di Ruang publik Digital

Jakarta, Gatra.com – Otoritarianisme digital ditengarai bangkit di ruang publik digital. Bangkitnya otoritarianisme yang semakin nyata merupakan contoh dari terberangusnya kebebasan sipil termasuk media yang merupakan indikator dari matinya demokrasi.

“Dia [otoritarianisme digital] adalah satu situasi di mana ada penggunaan teknologi digital untuk melakukan surveiling, untuk melakukan pengawasan, represi, dan manipulasi warga negara,” ucap Direktur Pusat Media dan demokrasi LP3ES, Wijayanto dalam diskusi daring pada Minggu (12/12).

Dalam keterangan tertulis, Wijayanto, menyebutkan bahwa tren yang menandai adanya otoriarianisme digital adalah kriminalisasi warga negara, jurnalis, dan aktivis menggunakan pasal karet di berbagai produk perundangan. Berdasarkan data yang ia sebutkan, kasus kriminalisasi mengalami naik turun dari tahun 2014 dan naik pesat pada 2020, yakni 84 kasus.

Tren kedua yang menandai kebangkitan otoritarianisme adalah pemutusan koneksi internet atas nama keamanan oleh pemerintah Indonesia. Menurut Wijayanto, Kementerian Komunikasi dan Informatika telah melakukan pemutusan koneksi internet 3 kali pada tahun 2019.

Wijayanto berujar bahwa tren ketiga adalah sensor daring atau online berupa penutupan situs-situs tertentu tanpa melalui proses hukum sebelumnya. Ia berujar, Menkominfo mengumumkan sensor ini di tahun 2019 dan setelahnya ribuan situs yang dianggap memuat materi bajak.

Sebelumnya, kata Wijayanto, pemerintah juga telah menutup puluhan situs yang dianggap memuat konten provokatif dan radikal tanpa mekanisme transparan.

“Sayangnya, penutupan situs, web ini tidak pernah dilakukan dengan menggunakan mekanisme yang transparan, dan tidak ada proses peradilan yang terjadi sebelum penutupan, yang mana lebih baik. Terakhir, penutupan website secara intensif dilakukan untuk situs-situs yang kritis terhadap pemerintah, tetapi tidak untuk situs-situs yang mendukung pemerintah,” ucapnya.

Wijayanto menuturkan bahwa tren keempat adalah adanya pengawasan aktivitas warga negara di internet oleh negara, antara lain polisi siber juga virtual atau pemberian hadiah oleh kepolisian bagi pihak yang melaporkan warga. Ia berujar, terdapat survei yang menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia mengkhawatirkan polisi maya akan mengancam kebebasan berekspresi.

Wijayanto menyebutkan bahwa tren kelima adalah premanisme digital di media sosial. Premanisme digital menurutnya adalah teror siber, yang melakukan trolling, doxing, dan peretasan yang merupakan bentuk-bentuk digital violence.

Wijayanto menyebutkan beberapa serangan teror siber, seperti serangan siber terhadap akademisi yang menolak revisi Undang-Undang KPK ada tahun 2019, peretasan WhatsApp aktivis Ravio Patra tahun 2020, ancaman pembunuhan terhadap mahasiswa Universitas Gadjah Mada yang berencana mengikuti sebuah diskusi pada tahun 2020, dan peretasan akun Twitter epidemiolog yang disebut sempat mengkritisi kebijakan pemerintah terkait Covid-19 pada tahun 2020.

“Dari kasus-kasus tersebut, kita dapat melihat bahwa terdapat satu kecenderungan represi digital yang serius yang justru semakin menyempitkan ruang publik digital kita. Dalam konteks ini, serangan teror siber terhadap para aktivis merupakan gejala dari menyempitnya ruang publik digital di Indonesia,” tutur Wijayanto.

409