Home Nasional Hari Pers Nasional, Kolaborasi Industri Penting Hadapi Era Digital

Hari Pers Nasional, Kolaborasi Industri Penting Hadapi Era Digital

Jakarta, Gatra.com- Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate mendorong kerja sama dan kolaborasi industri di tengah disrupsi teknologi yang terjadi baik di sisi pasar, perubahan perilaku, maupun distribusi konten.

“Era digital dapat dijadikan sebagai suatu batu loncatan agar insan pers dan institusi sektor tersebut dapat semakin berkembang," ujar Johnny dalam Diskusi The Editor’s Talks yang berlangsung secara hibrida dari Jakarta Selatan, Selasa (8/2).

Di era yang semakin kolaboratif ini, lanjut dia, penting kerja sama antar industri pers dan stakeholders lain. "Termasuk tentunya pemerintah dalam menciptakan tata kelola media yang agile dan adaptif, sangatlah diperlukan,” jelasnya.

Jhonny menjelaskan arti penting kolaborasi antar industri pers sebagai upaya diversifikasi produk media, intensifikasi kualitas produk jurnalisme serta ekstensifikasi faktor penting dalam industri pers dan media.

“Baik dari segi sumber daya manusia, alat produksi, manajemen dan tata kelola internal korporasi. Hal-hal tersebut harus terus diupayakan agar industri pers dan media dapat selalu meningkatkan kualitas dan profesionalitas,” jelasnya.

Pemerintah, menurut Johnny memberikan dukungan kuat dalam menciptakan ekosistem yang sehat dengan mengakomodasi pembentukan payung hukum. Namun demikian, ia menekankan upaya bersama stakeholders untuk menghadirkan regulasi jurnalisme berkualitas.

“Dengan digital nanti apabila iklim dan level playing field-nya bisa diatur berimbang, maka teknologi digital sendiri berupa pemanfaatan big data, artificial intelligence, virtual reality, augmented reality, extended reality bahkan metaverse akan mendorong industri pers berkembang,” jelasnya.

Selain memberikan dukungan, Johnny mendorong Dewan Pers dan Task Force Media Sustainability yang menyiapkan substansi usulan draft regulasi tersebut agar menyesuaikan benchmark dari negara lain sebagai acuan.

Ia menyontohkan acuan seperti News Media and Digital Platforms Mandatory Bargaining Code di Australia, The Law on the Creation of Neighbouring Rights for the Benefit of Press Agencies and Publishers di Prancis, serta di Uni Eropa yang menerapkan Digital Services Actand Digital Market Act.

“Kominfo dan saya secara pribadi, tentu akan mengkaji payung hukum yang sesuai untuk menjadikan substansi dalam usulan jurnalisme berkualitas. Bentuk payung hukum tersebut tentu akan kita cek dan perlu juga mengacu pada benchmark yang ada,” jelasnya.

Menurut  Johnny substansi usulan draf jurnalisme berkualitas penting untuk membangun suatu iklim yang konvergen. Namun demikian, hal yang perlu dicermati substansi publisher rights di Indonesia beririsan dengan pengaturan mengenai intellectual property rights.

“Nah, secara teknis perundang-undangan ini mau ditempatkan dimana? Karena ada model dan cara pembuatan undang-undang di Indonesia. Misalnya ingin ditempatkan dibawah payung Undang-Undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik), maka tentu sektornya ada di saya dan Ibu Meutya Hafid sebagai Ketua Komisi I DPR RI,” ujarnya.

Jika secara teknis berada di UU ITE, Menkominfo menilai akan menjadi persoalan tersendiri dan membutuhkan waktu untuk perumusannya, karena harus mengikuti prosedur pembuatan undang-undang. Sebab sebelumnya, Pemerintah telah mengirimkan Surat Presiden mengenai Revisi UU ITE.

“Atau mau ditempatkan dimana mengikuti Australia? Misalnya di bagian persaingan usaha. Kalau persaingan usaha maka akan bergeser dari digital ke sektor e-commerce. Kalau e-commerce maka ke Kementerian Perdagangan dan revisi undang-undang yang terkait dengan payung hukum di sektor itu,” ujarnya.

Menteri Johnny juga mengusulkan jika pembahasan substansi mengenai hak cipta atau intellectual property rights, maka instansi pemerintahan yang berwenang adalah Kementerian Hukum dan HAM.

“Kalau cukup kuat, bisa dalam bentuk undang-undang yang mengaturnya karena didalamnya ada banyak soal-soal yang sangat teknis, baik secara teknis digital maupun teknis-teknis komersial dan karena ini publisher, ya berarti ada sharing benefit. Inilah yang harus diatur dengan baik,” paparnya

Menurut Menkominfo, selain dalam format undang-undang dengan melalui proses yang panjang tersebut. Maka untuk lebih mempermudah bisa dilakukan payung hukum turunan melalui Peraturan Pemerintah.

“Tetapi kalau melalui peraturan pemerintah tentu kekuatan hukumnya tidak setara dengan undang-undang, tetapi dia lebih cepat dan hal-hal ini harus dibicarakan,” jelasnya.

Ketua Umum Kadin Indonesia Arsjad Rasjid menambahkan bahwa dalam hal adaptasi teknologi, perang yang terjadi adalah bukan dengan sesama di dalam negeri, namun dengan pihak asing. Ia mengingatkan jangan sampai keributan di dalam tanah air malah bisa menguntungka  pihak asing.

"Ribut di dalam apa yg terjadi adu domba yang menang diluar. Karena ini revousi industri, pondasinya teknologi adalah digital," tegas Arsjad. Hal ini penting diperkuat dan bagaimana gotong royong bersama termasuk bagaimana peran algoritma media sosial.

"Algoritma skill dan bagaimana teman jurnalis butuhkan, bukan sisi ekonomi dan bisnis saja. Kalau ga dikunci karena sosmed, balik lagi secara bersama sepakat mekanisme kontrol sampai mana. Namun setuju dibuat UU untuk kepentingan bersama dalam media," tandasnya.

Ketua Komisi I DPR RI, Meutya Hafid menyebut bahwa UU merupakan inisiatif DPR. "Ketika buat ini (UU Jurnalisme), semua merasa perlu ada satu badan independen. Kami dan Kominfo ketemu formal dan informal, deadlock di digitalisasi," jelasnya.

Anggota Dewan Pers Agus Sudibyo menyebut digitalisasi ini memunculkan teori ada new equilibrium atau keseimbangan baru. "Nggak sekonyong muncul tapi diupayakan media lama dan baru hadirkan yang beda ke masyarakat," jelasnya.

Dalam keseimbangan nanti, lanjut Agus, medsos akan menjadi sarana untuk akses. "Tapi ketika user butuh konten lebih baik maka mereka akan akses media," pungkasnya.
 

55