Home Ekonomi Faisal Basri: Polarisasi Cebong-Kampret Hambat Penuntasan Krisis Abad 21

Faisal Basri: Polarisasi Cebong-Kampret Hambat Penuntasan Krisis Abad 21

Jakarta, Gatra.comEkonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Faisal Basri, mengungkapkan bahwa masyarakat internasional maupun domestik punya masalah polarisasi politik yang bisa menghambat penuntasan krisis-krisis besar setidaknya hingga akhir abad ke-21 ini.

Apabila di tingkat global terdapat polarisasi politik di Amerika Serikat, di tingkat domestik di Indonesia polarisasi itu masih bersisa hingga hari ini. Ia mencontohkan polarisasi cebong dan kampret sebagai akibat panjang pergolakan politik selama hampir satu dekade terakhir.

Faisal mendapatkan ide itu setelah membaca buku Ian Bremmer bertajuk The Power of Crisis. Merujuk pada buku itu, ia menyebut bahwa dunia global akan dihadapkan pada tiga krisis besar utama, yaitu kesehatan global, perubahan iklim, dan revolusi kecerdasan buatan (artificial intelligence).

Baca Juga: Bersaing Sengit, Setelah Seknas Ganjar, Kini Ada Rumah Aspirasi Puan, Cebong Dukung Puan

Masih menrut buku tersebut, salah satu penghambat dalam menyelesaikan masalah itu adalah adanya polarisasi masyarakat, baik di tingkat internasional maupun domestik. Faisal khawatir Indonesia berkontribusi dalam menghambat itu.

“Kita melakukan tindakan bersama saja belum tentu berhasil. Apalagi kalau kita tercerai-berai,” kata Faisal dalam seminar kajian tengah tahun INDEF, Rabu, (6/7/20220).

Lebih lanjut Faisal menyebutkan bahwa ketiga krisis besar tersebut akan mengubah kehidupan dan wajah dunia. Ancaman-ancaman krisis itu diprediksi bisa diselesaikan dengan langkah dan kesadaran bersama. Ia menyebut Cina dan Amerika Serikat (AS) punya kekuatan besar untuk berkontribusi positif dalam upaya penanggulangan krisis tersebut.

Baca Juga: Duet Anies-Puan, Ini kata PKS, Resep Ampuh Satukan Cebong-Kampret?

“Kalau tidak dilakukan collective action oleh dunia, maka nasib dunia ini akan susah,” ujar Faisal.

Selain itu, kendala lain yang menurut Faisal tak kalah penting untuk dikhawatirkan adalah eksistensi institusi multilateral yang tidak fleksibel dalam merespons tantangan abad ke-21 dan cenderung lebih normatif. Ia mencontohkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang menurutnya gagap dalam menghadapi pandemi Covid-19. “Jadi masalahnya levelnya global, tapi tidak ada institusi yang cukup powerful untuk menjadi conductor menghadapi dunia yang main kompleks itu,” katanya.

Faisal menyebut kendala lainnya merujuk pada buku itu, yaitu terjadinya resesi geopolitik. Situasi tersebut, menurutnya, sudah tergambar dari terjadinya Brexit di Inggris pada 2016 silam dan invasi Rusia ke Ukraina yang baru-baru ini terjadi.

“Saya khawatir hal-hal seperti ini direspons dengan pakai kata-kata normatif saja, tanpa makna. Mati dia. Jadi halusinasi. Rencana pembangunan yang halusinasi. Normatif saja, tidak hidup,” Faisal menyimpulkan.

393