Home Apa Siapa Jenderal Ahmad Yani: Panglima Angkatan Darat yang Gugur di Rumahnya Sendiri

Jenderal Ahmad Yani: Panglima Angkatan Darat yang Gugur di Rumahnya Sendiri

Jakarta, Gatra.com – Salah satu korban Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) adalah Letnan Jenderal Ahmad Yani. Kiprahnya di dunia militer telah dimulai sejak mengikuti pendidikan militer pada Dinas Topografi Militer di Malang. Dalam buku Seri Ensiklopedia Ahmad Yani hingga D.I Panjaitan, Ahmad Yani semakin masuk ke militer pada masa pendudukan Jepang dengan mengikuti pendidikan Heiho (Pembantu Prajurit Jepang) di Magelang dan menjadi Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor.

Pria kelahiran 19 Juni 1922 ini menjadi salah satu tokoh penting dalam masa perang kemerdekaan. Ketika Agresi Militer Belanda I terjadi, pasukan yang dipimpinnya mampu menahan serangan Belanda di daerah Pingit. Pasca-kemerdekaan, dirinya menjadi Komandan dan mampu mempertahankan Magelang dari serangan Inggris. Atas hal itu, dirinya dikenal sebagai “Juru Selamat Magelang”.

Ketika pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) bergejolak di Jawa Tengah, ia mampu menumpas gerakan tersebut. Pun dalam pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Ahmad Yani juga berperan dalam mengamankan dan memadamkan perlawanan. Atas kemampuannya di militer, Ahmad Yani akhirnya diangkat menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat.

Ahmad Yani juga pernah mengenyam pendidikan militer ke Amerika Serikat pada 1955, untuk mengikuti pendidikan Kursus Command and General Staff College di Fort Leavenworth Kansas. Dengan masa pelatihan selama 9 bulan ditambah 3 bulan, ia mampu lulus dengan nilai gemilang. Inilah yang menjadi salah satu faktor perkembangan karirnya di dunia militer.

Dalam Buku Sejarah TNI-AD: Riwayat Hidup Singkat Pimpinan Tentara Nasional, Ahmad Yani disebut selalu mempertahankan ideologi Pancasila sebagai dasar negara. Ia menolak ideologi lain, dan kerap menebar ancaman bagi siapa saja yang hendak meruntuhkan nilai Pancasila. Atas perbedaan nilai itu, ia selalu mencurigai Partai Komunis Indonesia (PKI) – yang kala itu merupakan partai dengan suara terbanyak – memiliki agenda untuk menggulingkan Negara Republik Indonesia.

Saat PKI mengusulkan untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh tani yang dipersenjatai, Ahmad Yani menolak keras usulan itu. Ketika akhirnya peristiwa G30S/PKI terjadi, Ahmad Yani menjadi korban penembakan di kediamannya sendiri.

Ketika komplotan penculik masuk ke rumahnya pada 1 Oktober 1965 dini hari, Sersan Raswad yang menjemput Ahmad Yani mengatakan bahwa ia diminta menemui presiden saat itu juga. Ahmad Yani kemudian meminta untuk bersiap dengan mandi dan berganti baju, namun ia tidak diperbolehkan melakukannya. Marah, Ahmad Yani pun menempeleng prajurit yang ada di belakangnya. Saat itulah Sersan Giyadi yang juga ada dalam rombongan, melepaskan tembakan hingga enam rentetan peluru. Peluru itu menembus tubuh Ahmad Yani dan ia langsung telentang disaksikan oleh putranya sendiri.

Tak lama, seorang prajurit lainnya masuk dan menyeret kaki Ahmad Yani untuk diangkut ke dalam kendaraan yang membawanya ke Lubang Buaya. Di tempat itulah, pada 3 Oktober 1965, jasadnya ditemukan bersama Jenderal lainnya yang telah ditembak mati. Pada 5 Oktober 1965, tepat dengan hari TNI/ABRI ke-20, jenazah Ahmad Yani dan pahlawan lainnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Di hari yang sama, Ahmad Yani diangkat menjadi Pahlawan Revolusi sesuai dengan Keppres Nomor 111/KOTI/1965. 

1080