Home Hukum Pemerintah Diminta Bentuk Badan Eksaminasi Nasional

Pemerintah Diminta Bentuk Badan Eksaminasi Nasional

Jakarta, Gatra.com – Pemerintah diminta untuk segera mendirikan Badan Eksaminasi Nasional untuk meneliti ulang atau mengeksaminasi putusan pengadilan mulai tingkat pengadilan negeri hingga Mahkamah Agung (MA).

Usulan tersebut disampaikan sejumlah profesor dan akademisi hingga mantan birokrat dalam diskusi bertajuk “Darurat Peradaban Hukum” dan peluncuran Lembaga Eksaminasi Nasional yang digelar secara hybrid di Jakarta pada pekan ini.

Ketua Umum (Ketum) Asosiasi Pimpinan Pengajar Hukum Indonesia (APPTHI), Prof. Dr. Edy Lisdiyono, menyampaikan, saat ini banyak putusan pengadilan yang dinilai janggal dan dipertanyakan banyak pihak.

“Para mahasiswa, masyarakat, penggiat hukum, dosen itu juga berkata, kenapa kok putusan seperti ini? Ada pertanyaan mendasar,” ujarnya.

Baca Juga: Tim Eksaminasi: Beberapa Kelemahan dalam Putusan Kasus Barnabas

Maraknya putusan yang jauh dari rasa keadilan tersebut tidak terlepas dari permainan di peradilan. Buktinya, banyak insan pengadilan, termasuk hakim yang dicokok aparat penegak hukum karena terlibat suap pengurusan perkara.

“Hakim-hakim yang luar biasa, bahkan sebagai benteng keadilan pun runtuh karena ada seorang hakim yang ditangkap oleh penegak hukum,” ujarnya.

Mantan Hakim Agung, Prof. Dr. Gayus Lumbuun, mengatakan, usulan pembentukan Badan Eksaminasi Nasional ini bukal hal baru, karena pada tahun 2016, APPTHI saat kepengurusan Laksanto Utomo pernah mengusulkannya kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Negara.

Menurut Gayus, itu merupakan buntut dari banyak putusan yang dinilai janggal hingga adanya operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap Ketua Pengadilan Tinggi Sulawesi Utara (PT Sulut).

Hiruk pikuk soal hakim ini kembali terulang. Lebih ekstrem lagi, kali ini KPK meng-OTT Hakim Agung Sudrajat Dimyati pada Rabu, 21 September 2022, sehingga Jokowi memerintahkan Menkopolhukam, Mahfud MD, untuk melakukan reformasi hukum.

Persoalannya, lanjut Gayus, bagaimana dengan putusan-putusan bermasalah yang diputus oleh para oknum hakim. “Eksaminasi ini menjadi solusi, melakukan sidang ulang,” ujarnya.

Karena itu, dalam diskusi yang dimoderatori Laksanto Utomo itu, Gayus mendesak Presiden Jokowi mendirikan lembaga baru, misalnya Badan Eksaminasi Nasional sehingga hasilnya sah dan mempunyai kekuatan hukum. Pasalnya, eksaminasi yang saat ini dilakukan berbagai pihak di luar lembaga negara tidak bisa mengubah putusan.

“Entah [nantinya] mekanismenya ini menjadi PK [Peninjauan Kembali] kedua dari MA, Inpres membentuk badan. Ini menjadi satu PK berikutnya, PK melalui eksaminasi itu mungkin saja. Presidenlah yang mengangkat kami hakim-hakim, presiden yang membentuk pengadilan-pengadilan di Indonesia, mengapa presiden tidak mau melangkah?” ujarnya.

Mantan Gubernur Papua, Barnabas Suebu, mengakau bahwa sampai saat ini tidak mengerti apa yang membuatnya dinyatakan bersalah. Sejak ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, ia sudah menanyakan bukti permulaan yang menjadi dasar penetapan status tersebut, termasuk melalui praperadilan.

Baca Juga: Panik Eksaminasi Kasus Chuck, Kejagung Harus Belajar KUHP

“Dalam proses peradilan berbulan-bulan dan seluruh fakta persidangan, baik saksi, surat, petunjuk juga tidak pernah ditemukan bukti tentang kesalahan saya seperti yang dituduhkan oleh penyidik,” ujarnya.

Anehnya, lanjut Barnabnas, pengadilan memutusnya bersalah karena menurut mereka terbukti melakukan tindak pidana secara sah dan meyakinkan. Namun dalam pertimbangan hukumnya yang panjang lebar, majelis hakim tidak pernah menyebut kesalahan dan buktinya.

Lantas, dalam putusan juga tidak uang pengganti. Menurut Barnabas, pengadilan menyatakannya terbukti menyalahgunakan wewenang. Singkat cerita, akhirnya ia pun menjalani pidana penjara sekitar 8 tahun di Lembaga Pemasyarakat (Lapas) Sukamiskin, Bandung.

Putusan tersebut lantas dieksaminasi. Hasilnya, kata Barnabas, putusan mulai dari pengadilan negeri (PN) dan pengadilan tinggi (PT) ditemukan sejumlah kelemahan, baik terhadap fakta maupun penerapan asas-asas hukum pidana formiil dan mateiil, berupa belum dapat dibuktikannya unsur kesalahan terdakwa.

“Saya menjalani proses ini dari awal sampai pulang dari penjara hampir 8 tahun, dan sampai saat ini saya tidak tahu kesalahan saya. Di putusan pengadilan sekali pun tidak disebutkan kesalahan saya,” ujarnya.

Barnabas juga sempat mendapat informasi bahwa pihaknya diminta sejumlah uang. Namun, ia tidak mau menuruti karena tidak melakukan apa yang dituduhkan kepadanya. Menurutnya, sogokan akan melahirkan pertanyaan, mengapa kalau tidak bersalah harus menyogok.

“Saya tidak mau bayar. Saya katakan, putus saja, kalau tidak bersalah, bebaskan saya, kalau saya bersalah, hukum saya. Ini sepintas dari hal yang saya alami sendiri menjadi satu pergumulan yang berat pada masa-masa yang sulit dan berat,” ujarnya.

Terkait perjalanan menghadapi kasus tersebut, Barnabas menuangkannya dalam buku dan akan diluncurkan sekitar akhir tahun ini. Ia juga akan menyerahkan buku tersebut kepada lembaga Hak Asasi Manusia (HAM) internasional.

Sedangkan terkait anehnya putusan, ia mengharapkan Lembaga Eksaminasi Nasional yang digagas Laksanto Utomo dkk dan diluncurkan, diharapkan membawa kembali hukum Indonesia ke arah yang dikehendaki oleh hukum, demi tegaknya hukum, kebenaran, keadilan demi masa depan bangsa Indonesia.

Guru Besar Hukum Universitas Borobudur, Prof. Dr. Faisal Santiago, membenarkan bahwa pernah bersama Laksanto Utomo menemui Jokowi di Istana Negara. Salah satu usulan APTHI kala itu, agar membentuk Lembaga Eksaminasi Nasional.

Baca Juga: Universitas Airlangga akan Eksaminasi Putusan Perkara Baiq Nuril

“Presiden sangat setuju. Sekarang banyak putusan-putusan yang ada di tengah masyarakat ini tidak mencerminkan rasa keadilan,” ujarnya.

Selepas itu, pihaknya sempat menemui Watimpres dan Menkopolhukam kala itu, Wiranto. Menurutnya, mereka setuju untuk mendirikan lembaga eksaminasi. “Kita harus membentuk lembaga eksaminasi ini adalah untuk sebuah quality control [putusan],” katanya.

Namun, kata Faisal, sampai saat ini tidak ada kelanjutan sehingga pihaknya mendirikan Lembaga Eksaminasi Nasional karena banyaknya putusan yang tidak memberikan keadilan.

“Kita bukan sebagai pesaing, tetapi bagaimana kita mengoreksi prilaku-prilaku hakim dari pengadilan negeri, pengadilan tinggi sampai Mahkamah Agung,” ujarnya.

327