Home Lingkungan Jatuh Bangun Antisipasi Dampak Perubahan Iklim

Jatuh Bangun Antisipasi Dampak Perubahan Iklim

Jakarta, Gatra.com-Banjir, tanah longsor, suhu panas ektrem, bahkan gelombang tsunami menjadi risiko bencana yang peristiwanya semakin sulit diprediksi. Para ahli dan pengamat iklim menilai seringnya bencana ekologis terjadi karena dampak perubahan iklim.

Itulah mengapa Presiden Joko Widodo dalam acara peringatan HUT Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke-77 di Istana Negara pada Rabu (5/10) lalu menyebut perubahan iklim merupakan tantangan terkini dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan. Meski Indonesia punya modal positif berupa pengakuan dari International Rice Research Institute (IRRI) pada pertengahan Agustus lalu, ia mengaku ada kekhawatiran mengingat iklim tanah air selama dua tahun terakhir cenderung basah.

“Kita sudah mendapat basah lebih dari dua tahun, yang saya takutkan kalau kita mendapatkan kering juga dalam waktu yang sama,” ungkapnya.

Pemerintah memang berupaya meningkatkan target penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada 2030 dari 29 persen menjadi 31,8 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen menjadi 43,2 persen dengan bantuan internasional. Target itu untuk menahan laju peningkatan suhu permukaan bumi dan mengantisipasi dampak perubahan iklim.

Fenomena perubahan iklim bisa memicu kenaikan muka air laut (sea level rise). Dampaknya sangat signifikan, utamanya bagi negara kepulauan seperti Indonesia. Kawasan pesisir jadi area yang paling berat terdampak, karena dihuni sekitar 60 persen penduduk Indonesia.

WALHI mengingatkan, jika pulau-pulau kecil tenggelam mama situasinya bisa lebih buruk, mengancam kedaulatan negara. Menurut Manajer Kampanye Pesisir, Laut dan Pulai-Pulau Kecil Walhi Nasional Parid Ridwanuddin, konsep kedaulatan Indonesia diukur dari pulau-pulau terdepan.

“Kalau tenggelam maka kedaulatan kita akan menyusut,” katanya dalam sebuah diskusi iklim di Jakarta, Senin (3/10).

Baca jugaBerbeda dengan Pemerintah, C20 Sebut Sejumlah Isu Belum ...

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) selaku National Focal Point UNFCCC, meningkatkan ambisi penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) melalui dokumen Enhanced NDC (ENDC) Indonesia. Dokumen itu memutakhirkan kebijakan nasional terkait perubahan iklim. ENDC juga disampaikan guna memenuhi amanat konferensi iklim Glasgow yang meminta setiap negara meningkatkan target NDC sebagai upaya mencegah skenario kenaikan suhu global tidak lebih dari 1,5 derajat celsius. Secara bertahap, target penurunan emisi GRK Indonesia akan sejalan dengan kebijakan jangka panjang menuju net zero emission pada 2060, atau lebih cepat.

Pentingnya Partisipasi Publik

Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Yayasan Madani Berkelanjutan, Kemitraan, WALHI, Yayasan PIKUL, dan IESR menyambut baik target tersebut. Apresiasi bagi pemerintah karena menunjukkan keseriusan. Namun, ada satu hal penting yang terlewat yakni kurang mekanisme partisipasi publik yang bermakna dan inklusif dengan memperhatikan berbagai sektor.

Tujuannya, agar pilihan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di Indonesia berjalan efektif dan tidak berdampak lebih buruk. Utamanya bagi kelompok rentan. Namun sayangnya, berbagai pilihan aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim ternyata sebgian memperburuk kapasitas adaptif ekosistem dan masyarakat. Serta, jika dilakukan membabi buta seringkali mengabaikan dampak sosial dan lingkungan.

Di Kota Kupang, NTT, misalnya, pembangunan infrastruktur penahan gelombang sebagai pilihan aksi perubahan iklim malah mengabaikan kebutuhan nelayan tradisional. Di Kabupaten Malaka, NTT, infrastruktur pencegah banjir justru meningkatkan kerentanan masyarakat terhadap banjir. Di Pekalongan, Jawa Tengah, tanggul yang dibangun untuk menahan air laut justru menghambat aliran nutrisi sehingga mangrove tidak bisa berkembang dengan baik.

Baca jugaKrisis Perubahan Iklim, Bank Nasional di Desak Stop Danai ...

Pulau Obi, Maluku Utara, yang luasnya hanya 2500 km persegi telah dibebani 19 izin pertambangan nikel, yang sebagiannya diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan kendaraan listrik. Pertambangan dan smelter pun masih tergantung pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara yang menghasilkan banyak emisi.

“Subyek utama dari aksi penanggulangan perubahan iklim adalah manusia dan ekosistem yang sebetulnya tidak terpisahkan,” kata Dewi Rizki, Direktur Program Kemitraan.

Koalisi Keadilan Iklim juga menyoroti penguatan ambisi iklim Indonesia di sektor hutan dan lahan (FOLU) serta energi yang saat ini menjadi penyumbang utama pengurangan emisi dalam Enhanced NDC. Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Nadia Hadad mengaku sangat mengapresiasi target pengurangan emisi. Utamanya karena besarnya dana dan kolaborasi multi pihak yang sangat dibutuhkan.

“Namun, ambisi ini dapat lebih ambisius mengingat target Indonesia dalam FOLU Net Sink 2030 jauh lebih besar. Target ini semestinya diadopsi ke dalam NDC selanjutnya,” katanya.

Baca juga Saatnya Lakukan Transisi Energi Bersih | Lingkungan

Diketahui dalam Enhanced NDC, angka deforestasi total periode 2020-2030 dalam upaya sendiri justru meningkat menjadi 359 ribu ha per tahun. Lebih tinggi dibanding deforestaso dalam First NDC Indonesia 2016 dan Updated NDC 2021 sebesar 325 ribu ha. Padahal, Indonesia telah berhasil menurunkan tingkat deforestasi selama 4 tahun berturut-turut.

Di sektor energi, langkah pemerintah layak diapresiasi karena berhasil menurunkan emisi lebih tinggi yakni 44 MtCO2e atau baik 14 persen dari target di Updated NDC. Sayangnya, kenaikan belum selaras dengan upaya yang dibutuhkan untuk memastikan pemenuhan target global menahan kenaikan temperatur dibawah 2 derakat celsius/1,5 derajat celsius.

G20 dan Transisi Energi Berkelanjutan

Dalam diskusi ‘Climate Solutions Forum’ di Jakarta pada 7-8 September 2022 lalu, F20 sebuah lembaga yang didirikan di Jerman itu mencoba merumuskan bagaimana transisi energi kedepan bisa berjalan. Forum G20 mendatang, bisa dijadikan momentum.

F20 sendiri merupakan lembaga yang terdiri atas sekitar 80 yayasan dari lebih 20 negara yang bekerja sama dengan negara-negara G20 untuk mewujudkan tujuan keberlanjutan yang dicanangkan PBB (UN Sustainability Goals) serta Paris Climate Agreement. Lembaga ini didirikan di Hamburg, Jerman pada tahun 2017, bertepatan dengan Presidensi G20 yang dipegang oleh Jerman kala itu. Untuk tahun ini, F20 mengangkat tema “Renewable Energy and Shifting the Trillions: Making the transition to a net zero world a reality”.

“Kita benar-benar tengah berada dalam krisis iklim, di seluruh penjuru dunia. Itu bisa terlihat, bagaimana banjir besar menimpa sejumlah wilayah dunia, seperti Pakistan. Contoh yang amat mengerikan. Kita juga diterpa gelombang panas, kebakaran hutan. Tidak seorang pun dapat mengelak bahwa krisis iklim telah datang.” ujar Ketua F20, Klaus Milke seperti dilaporkan Muhammad Mutaqin dari Gatra.

Baca jugaPerpres Percepatan EBT, Pemerintah Bidik Tiga Jenis ...

Klaus menyebut negara-negara G20 bertanggung jawab atas lebih dari 80% emisi gas rumah kaca global. Maka itu, upaya nyata terhadap perubahan iklim sangat mendesak untuk dilakukan. “KTT G20 harus dianggap sebagai KTT yang amat mendesak untuk melahirkan komitmen dalam menemukan solusi keberlanjutan jangka panjang. Krisis iklim yang sedang berlangsung tidak memungkinkan pertemuan G20 berlangsung tanpa hasil nyata pada lebih banyak aksi iklim.” tegas Klaus.

Seperti yang disepakati tahun lalu di Roma, Klaus menjelaskan, G20 harus membuat jalan menuju nol emisi menjadi kenyataan dalam rangka menjaga tolok ukur pemanasan global di angka 1,5°C.

“Penyerapan dan peningkatan energi terbarukan adalah kunci dalam hal ini. Selanjutnya, percepatan Transisi Energi yang Adil harus dibina oleh kemitraan iklim dan energi dengan semangat tidak meninggalkan siapapun.” jelasnya.

Baca jugaIndef Sebut Kebijakan Satu Peta Berpotensi Percepat ...

Sementara itu, Co-Chair F20, Ilham Habibie menyatakan bahwa F20 hadir sebagai jembatan antara pemangku kepentingan dengan lintas sektor guna mendorong kerja sama dan kepercayaan dalam mengambil tindakan tegas terhadap masalah iklim.

“Di saat ketegangan dan kekakuan geopolitik, kini lebih mendesak dari sebelumnya, masyarakat sipil perlu membangun jembatan antara pemangku kepentingan yang berbeda dan mendorong kerja sama dan kepercayaan lintas sektor untuk mengambil tindakan tegas terhadap perubahan iklim.” tutur Ilham.

Ilham mengatakan bahwa dampak buruk krisis iklim dirasakan secara global dan juga di Indonesia. Dengan demikian, G20 harus mendorong kemitraan transisi energi yang adil dan secara meningkatkan energi terbarukan secara signifikan.

“Saya melihat banyak harapan dan potensi di Indonesia yang harus dipupuk seperti kekuatan inovatif dari start-up, para insinyur yang menerapkan transisi hijau dan suara aktif pemuda yang berjuang untuk masa depan yang aman bagi iklim.” tuturnya.

326