Home Politik Politik Identitas Kumat pada Pesta Demokrasi di Tengah Krisis

Politik Identitas Kumat pada Pesta Demokrasi di Tengah Krisis

Jakarta, Gatra.com- Analis Politik Exposit Strategic, Arif Susanto mengatakan bahwa politik identitas atau yang mungkin berpotensi terjadi lagi pada pemilihan umum 2024 mendatang. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti kualitas calon, kualitas program kerja, disinformasi di masyarakat, serta situasi krisis.

"Kalau semuanya terjadi, maka politik kebencian jadi sesuatu yang mungkin terjadi di 2024, karena polarisasi politik belum bergeser dari yang terjadi pada 2014," diskusi yang digelar PARA Syndicate, Kamis (27/10).

Ketika jarak elektoral para calon tipis, maka potensi penggunaan politik identitas akan semakin tinggi. Sama dengan ketika para calon tidak membawa perbedaan program kerja, tidak adanya kekhasan yang signifikan dapat membuat strategi politik identitas dilakukan.

"Kalau tidak ada perbedaan signifikan, saya menutup mata bisa pilih mana saja. Jadi dicari perbedaannya, tidak ada yang ampuh selain identitas karena ya bekerjanya lewat pembeda identitasnya," katanya.

Selain itu, disinformasi dan sentimen primordial juga menjadi faktor yang bisa memicu perpecahan. Perkembangan teknologi dan keberadaan media sosial saat ini dapat membawa dampak destruksi yang lebih masif dengan skala yang lebih besar.

Situasi krisis juga dianggap akan memicu perpecahan. Hal ini berkaitan dengan adanya pencarian kambing hitam atas masalah yang terjadi. "Jika terjadi krisis, jauh lebih mudah menunjuk orang lain sebagai penyebab. Misalnya saat Trump masuk ketika krisis yang disebabkan oleh Obama. Kalau dunia mengalami resesi ekonomi, ada lahan persemaian kebencian yang siap ditanami," katanya.

Senada, Direktur Eksekutif PARA Syndicate, Ari Nurcahyo, menyebut bahwa situasi politik identitas mungkin saja terjadi lagi. Hal ini terjadi dengan adanya peristiwa politik terkini, yakni pernyataan salah satu politikus Partai Nasdem yang menyebut bahwa sosok Anies Baswedan sebagai antitesis Jokowi, serta penunjukkan penanggung jawab (pj) Gubernur DKI Jakarta yang dianggap sebagai sosok antitesis dari Anies Baswedan.

"Sosok Anies dipersepsi sebagai antitesis Jokowi akan mendukung siapa pendukung Jokowi atau Anies. Itu bisa jadi peristiwa pertama yang memicu politik identitas. Penunjukkan pj Gubernur DKI yang tampil sebagai antitesis Anies juga seperti membuka pembukaan," kata dia.

Menurut Ari, hal ini tidak lepas dari dendam dan luka pada pemilu sebelumnya. Kesamaan tokoh yang terlibat serta penggambaran bahwa keduanya bertentangan bisa memicu adanya di masyarakat. Persepsi yang terbentuk di masyarakat ini pada akhirnya bisa memicu permusuhan yang berbahaya dalam masyarakat.

Politik identitas di Indonesia dikonotasikan negatif karena buzzer yang tidak paham apa itu politik identitas. Politik identitas adalah pendekatan politik di mana orang-orang dari ras, kebangsaan, agamajenis kelaminorientasi seksuallatar belakang sosial, kelas sosial, atau faktor pengenal lainnya mengembangkan agenda politik yang didasarkan pada identitas ini. 

Politik identitas sangat terkait dengan gagasan bahwa beberapa kelompok dalam masyarakat tertindas dan dimulai dengan analisis penindasan itu. Istilah ini digunakan terutama untuk menggambarkan gerakan politik di masyarakat barat, yang meliputi nasionalis, multikulturalhak-hak perempuan, hak-hak sipil, dan gerakan LGBT.

Istilah "politik identitas" berasal dari akhir abad kedua puluh meskipun memiliki pendahuluan dalam tulisan-tulisan individu seperti Mary Wollstonecraft dan Frantz Fanon.  Banyak pendukung politik identitas kontemporer mengambil perspektif titik temu, yang menjelaskan berbagai sistem penindasan yang berinteraksi yang dapat mempengaruhi kehidupan mereka dan berasal dari berbagai identitas mereka. 

Menurut banyak orang yang menggambarkan diri mereka sebagai pendukung politik identitas, itu memusatkan pengalaman hidup mereka yang menghadapi penindasan sistemik; tujuannya adalah untuk lebih memahami interaksi penindasan rasial, ekonomi, berbasis jenis kelamin, dan berbasis gender (antara lain) dan untuk memastikan tidak ada satu kelompok pun yang terpengaruh secara tidak proporsional oleh tindakan politik, sekarang dan di masa depan.

394